Rabu, 21 Desember 2016

12 Hours

12 Hours

(a story by Rendi Febrian)



(First “Times Saga”)
12 Hours
Trivial Story By. Rendi Febrian
“Gue jera deh jadi Bot!” seru Bas sambil memegang bokongnya. “Anus gue udah tiga hari ini masih nyeri gara-gara abis diobrak-abrik sama Delon a.k.a si big dick!”
Bas. Atau Bastian adalah salah satu sahabatku. Raut wajahnya yang masih sangat-sangat imut menggelembung secara kekanak-kanakan. Tangan kanannya mengelus-ngelus bokongnya dengan gerakan cepat. Rambutnya yang biasanya tergerai rapi kini mencuat kemana-mana. Matanya yang biasa cemerlang kini dihiasi dengan kantung hitam jelek dan mengerikan. Bibirnya yang merah agak kehitaman sering berkedut seperti orang yang sedang menahan rasa sakit.
“Selama gue jadi Bot, gue nggak pernah tuh se-alay lo!” Dev menopang dagunya dengan gaya sarkastis. “Gue malah seneng sama yang kontolnya gede. Buat anus gue puas!” Dev menaikan kedua alisnya dengan gaya menantang.
Dev. Atau Devin adalah salah satu sahabatku juga. Cara bicaranya yang blak-blakkan membuatku sangat senang bisa mengenalnya. Bahkan dari semua omongannya yang kadang dipenuhi dengan kata-kata kotor, dia masih bisa menjadi orang bijak. Menengahi pertengkaran yang kadang aku dan Bas sering lakukan. Pertengkaran yang menurutku sangat tidak penting dan membuang-buang waktu serta umurku.
Mengenal mereka berdua menurutku adalah sebuah anugerah. Aku tidak pernah lupa bagaimana aku dan mereka berdua bisa menjalin persahabatan seperti sekarang ini. Menjalin ikatan yang bahkan kami bertiga tidak tahu bagaimana bisa sebuah tali tak kasat mata menyatukan kami. Membuat kami satu. Walaupun kami kadang tidak pernah mempunyai satu pendapat yang sama, hanya saja terkadang perbedaan pendapat itulah yang akhirnya membuat kami memutuskan untuk menjadi orang yang lebih baik dan belajar dari apa yang kami punyai sekarang.
Aku pertama kali bertemu dengan Bas. Dulu, saat pertama aku datang ke kampus ini, aku dan dia hanyalah dua orang manusia dengan tingkatan cuek paling tinggi yang tak akan pernah seimbang. Dia duduk di sebelah bangku-ku ketika kami sedang melakukan tes tulis untuk masuk ke kampus idamanku ini. Dia mencoba melirik ke arahku dan menatap kertas jawabanku. Aku saja tidak yakin dengan jawabanku sendiri. Meskipun begitu, aku bukanlah orang yang pelit berbagi. Aku malah mempermudah Bas untuk mencontek kertas jawabanku.
Alhasil, aku dan dia masuk ke fakultas yang sama. Mungkin dia sadar dia harus berterima kasih padaku karena telah memberikan dia contekan. Dan dia benar-benar melakukan tindakan dan ucapan; “thanks contekannya” terhadapku. Lalu tak berselang beberapa puluh menit kemudian, kami berdua mulai berkenalan dan mempersiapkan alat-alat yang harus kami bawa untuk ospek besok harinya. Walaupun Bas bodoh di mata pelajaran—dia yang bilang itu sendiri padaku, bukan aku yang meng-asumsikan begitu, jadi jangan berburuk sangka—tetapi dia sangat cerdas dalam menebak semua benda yang kakak-kakak senior itu perintahkan pada kami untuk dibawa besok pada saat ospek.
Nah, pada hari pertama ospek kami dikumpulkan di tengah lapangan dengan matahari yang sedang menjulang tinggi di atas langit. Panas, dandanan kami yang seperti orang gila, belum diberikan makanan atau minuman sama sekali, dan yang paling parah adalah… kami tidak boleh pergi dari lapangan ini sampai kulit kami menghitam sempurna. Ospek hari pertama adalah hal paling spektakuler dalam hidupku. Terlebih lagi dengan datangnya ospek hari kedua yang sangat-sangat dasyat spektakulernya.
Di ospek yang ketiga inilah aku bertemu dengan Dev. Pertama kali aku melihat wajahnya, aku hanya bisa tertegun dan terpana. Dia tampan dengan rambut hitam mengkilap sempurna. Senyuman yang terkesan misterius dan mempunyai wajah yang sangat tegas. Tetapi kriteria itu semua hilang ketika dia mulai mengoceh di telingaku tentang tak bergunanya ospek di setiap kampus. Ditambah saat dia melawan semua perintah dari kakak senior kami. Yah, jadinya hampir sepanjang hari itulah dia selalu kena hukuman.
Rasa sukaku terhadapnya—sebagai teman baru, tidak lebih—agak berkurang karena sifatnya yang terlalu berlebihan. Tetapi aku kembali menyukainya ketika dia menolongku menjawab pertanyaan retoris dari salah satu kakak senior kami yang paling killer. Apalagi saat hari sudah menjelang sore dan kegiatan ospek yang akan kami lakukan adalah game. Kami disuruh menceburkan diri di dalam kolam lumpur dan mencari koin. Satu koin untuk masing-masing orang. Dan kami hanya diberikan waktu selama dua puluh detik untuk mencarinya. Aku dan Bas yang sudah sangat frustasi karena belum juga menemukan koin. Kami berdua sudah pasrah akan nasib kami yang akan dibantai habis-habisan oleh kakak-kakak senior. Tetapi itu tidak terjadi karena Dev memberikan kami koin yang dia temukan. Yang ternyata terselip di bagian garis bokongnya.
Semenjak itulah aku, Bas dan Dev menjadi teman dekat. Terlebih lagi kami adalah orang yang terbuka pada satu sama lain. Aku tidak terlalu sih sebenarnya. Tetapi merekalah yang mengajariku untuk saling terbuka dan jujur di persahabatan yang kami bertiga baru bangun itu. Entah darimana datangnya perasaan itu, akulah pertama kali yang mengutarakan ke mereka kalau aku adalah seorang Gay.
“Lo gay?” mulut Bas ternganga lebar seraya bertanya.
“Iya,” sergahku dengan nada defensif.
Dev bertepuk tangan kecil dan memukul pundak-ku pelan. “Kalo gitu kita sama.”
Kini aku tahu perasaan Bas dengan ekspresi mulut ternganganya. Yang sekarang nganga-an mulutnya malah makin melebar. Untung saja mulutku tak ternganga selebar Bas. “Lo gay juga emang?” tanyaku kemudian.
“Iya,” Dev mengangguk. “Gue Bot. Kalo lo apaan?”
“Gue Top.”
Wait, wait,” tukas Bas, yang baru kusadari kalau dia ada di antara kami. “Jadi, kalian berdua…” dia menunjuk Dev dan aku secara bergantian, “gay.”
“Iya.” Dev menatap Bas dengan tatapan jengkel. “Sekali lagi lo nanya, gue tabok muka lo!”
Bas malah tertawa kecil. “Nggak, nggak,” dia menggoyangkan kedua tangannya dengan gaya jenaka. “Gue kira, diantara kita bertiga, cuma gue aja yg beda sendiri disini.”
“Maksud lo apa?” tanya Dev, keningnya berkerut samar.
Bas tersenyum penuh teka-teki. “Gue seneng punya temen, eh ralat deh, sahabat kayak kalian. Yang orientasi seksualnya sama kayak gue.”
Dev dan aku saling melirik, bingung. “Maksud lo, lo juga gay gitu?” Aku menatap wajah Bas yang masih dihiasi senyuman.
Jawaban yang Bas berikan hanya anggukan kepalanya.
Shit!” seru Dev dengan nada tinggi. “Maksud gue, wow!” Dia menatap Bas dan aku secara bergantian. Alisnya yang hitam suram itu naik-turun seraya dia menatap kami. “Wah, ini tandanya kita dipertemukan oleh takdir.  Takdir paling nggak masuk akal dan paling keren yang pernah terjadi di hidup gue.”
Bas dan aku hanya tertawa kecil sambil menghisap jus kami. “Terus lo apa? Bot ato Top?” tanyaku ke arah Bas.
“Gue,” dia menunjuk dirinya sendiri. “Kalo gue Vers. Walopun gue belum pernah sama sekali jadi Bot. Tapi menurut gue sih, jadi Bot nggak masalah juga. Asal rasanya bener-bener enak.” Bas tersenyum simpul. “Tapi kayaknya rasanya sakit deh.”
“Nggak juga kok,” sahut Dev cepat. “Well, pertamanya sih memang sakit. Sakit banget malahan. Tapi, habis itu rasanya enak kok. Kayak ada tangan yang lagi gelitikin lubang anus lo.” Dev menerawang sebentar. Membayangkan dirinya yang mungkin kala itu sedang menikmati anusnya disodok-sodok.
“Lo yakin?” tanya Bas penasaran. “I mean, anus lo nggak bakalan pernah sama lagikan kalo habis disodomi gitu. Terus-terus, lo nggak sembelit apa? Lubang anus lo kan di obrak-abrik sama penis. Yang gue yakin penis mantan-mantan lo pada besar semua.”
Dev menatap Bas dengan raut wajah mengernyit. “Nggak semuanya juga kok mantan-mantan gue kontolnya gede.” Dev menatap wajahku yang cemas. Takut orang-orang yang ada di kantin kampus ini mendengarkan apa yang sedang kami bicarakan. Jadi dia merubah tempo suaranya ke bisikan. “Contohnya nih ya, si Fikri. Badannya oke. Mukanya macho. Tatapannya buat jantung lo deg-deg-an. Tapi, pas gue sama dia mau ML. Gosh! Kontolnya itu kayak jari telunjuk gue gedenya.” Dev menunjukan jari telunjuknya yang agak kurus. “Gue kirain tuh kontol belum bangun. Eh, nggak taunya memang cuman segitu aja besar kontolnya.” Dev membuat raut wajah memelas. Yang membuat Bas dan aku terkikik seperti orang gila. “Apalagi nih ya, pas dia nusukin kontolnya itu ke anus gue. Ick, nggak ada rasanya sama sekali. Kayak tusuk gigi lagi gelitikin lubang anus lo. Dan rasanya sama sekali nggak nikmat. Bahkan pas dia nusuk anus gue, rasa sakit yang biasanya muncul, nihil sama sekali. Makanya gue jera deh sama yang kontolnya kecil. Nggak bisa buat gue puas.”
Aku dan Bas tertawa nyaring. Membuat beberapa pasang mata melihat ke arah kami. “Lo nggak ngerasa malu gitu cerita hal yang kayak begituan sama kita?” tanyaku ke Dev. “Maksud gue, itukan hal pribadi.”
“Nggaklah. Gue biasa aja lagi sama hal-hal yang kayak gitu.” Dev tersenyum kecil. “Lagian, itukan pengalaman. Bukan hal pribadi. Hal pribadi itu ya, menyangkut tentang keluarga dan diri kita sendiri. Tapi tenang aja. Gue orangnya terbuka kok. Soalnya, kalo nggak gitu gue nggak bakalan bisa jadi diri gue sendiri.”
Rasa kagumku muncul tiba-tiba pada sosok Dev. Inilah alasan mengapa aku begitu nyaman bisa bersahabat dengannya. “Kalo gitu, gue harus kayak lo juga.”
Bas ikut mengangguk. “Gue juga deh.”
Semenjak hari itulah kami akhirnya menjadi tiga sekawan. Lambat laun aku akhirnya mengetahui banyak tentang mereka. Kehidupan mereka sebelum ini. Kehidupan mereka sebelum bertemu denganku. Cinta pertama mereka. Hubungan rumit mereka dengan pacar—yang sekarang menjadi mantan—mereka. Hal-hal yang seperti itulah yang sering kami bicarakan dan kami bahas. Lalu, kesenangan kami akhirnya runtuh ketika kami harus jujur tentang kehidupan keluarga yang kami bertiga punyai.
Bas sudah tidak punya Ayah sejak dia duduk di bangku SMP. Ibunya sering keluar kota untuk mengurusi semua kantor-kantor peninggalan Ayahnya. Bas tak pernah sama sekali dilirik oleh Ibunya. Bahkan saat mereka makan malam di meja yang sama, Ibunya tak pernah menggubris semua perkataan dan pertanyaan yang Bas berikan. Seakan-akan Bas tidak ada di sana. Semula, Bas berkata padaku dan Dev, dia dan Ibunya dulu sangat dekat. Tetapi itu semua runtuh ketika pacar Ibunya mendekati Bas. Ibunya tahu kalau Bas seorang gay. Dia tidak masalah tentang hal itu, walau Ibunya sempat menjerit-jerit frustasi. Hanya saja, Bas tidak sadar cowok berumur dua puluh sembilan tahun yang dikencaninya adalah pacar Ibunya. Dan ketika Ibunya mengetahui semua hal itu, Ibunya tak pernah sama lagi terhadapnya. Benar-benar tak pernah sama lagi.
Lalu Dev. Dia agak urung menceritakan tentang keluarganya karena katanya itu adalah hal pribadi. Tetapi aku dan Bas sudah menceritakan tentang keluarga kami padanya. Dan, selama dua puluh menit yang panjang aku dan Bas menunggu Dev bicara. Akhirnya dia membuka suaranya juga.
Sejak dari SMA, dia sudah kehilangan kedua orang tuanya. Dia tinggal dengan Tante dan Omnya. Yang biasa dia panggil dengan sebutan Mama dan Papa. Kedua orang tua Dev meninggal karena hal konyol sebenarnya. Saat Dev memberitahuku dan Bas tentang hal itu, aku hampir saja tertawa. Untung saja aku bisa menahannya. Baiklah, kedua orang tua Dev meninggal karena di sambar oleh petir. Ya, ya, ya. Aku tahu itu konyol. Hanya saja itu memang benar adanya. Dev tidak memberitahu tentang bagaimana kedua orang tuanya bisa tersambar petir. Itu disebabkan karena Bas yang tertawa sangat nyaring. Mungkin dia sakit hati. Akupun kalau jadi Dev, pasti akan sangat sakit hati.
Tante Bella dan Om Jun—kerabat yang mengasuh Dev—mengatakan padaku dan Bas bahwa saat pemakaman kedua orang tua Dev. Dev tidak menangis sama sekali. Bahkan saat selesai pemakaman dia pergi jalan-jalan dan menghabiskan semua uang tabungannya. Lalu saat semua orang sedang memanjatkan doa untuk kedua orang tuanya, dia malah menyetel TV dan menonton OVJ. Dia tertawa seperti orang yang sedang tak punya duka sama sekali.
Sampai sekarang Dev tidak pernah menangis. Dia selalu ceria. Tertawa dan membuat banyak lelucon tentang hal-hal kecil. Semua orang yang berada di fakultasku, menyukai dia. Hanya saja, aku dan Bas bisa melihat pupil matanya yang lelah. Yang ingin menangis tetapi tidak tahu bagaimana caranya untuk mengeluarkan air mata. Dan semenjak itulah aku dan Bas harus menjaga hati Dev. Setajam apapun mulutnya. Segila apapun tingkahnya. Tetapi aku tahu hatinya sangat rapuh.
Aku sendiri sebenarnya mempunyai masalah dengan keluargaku. Sampai sekarang aku membiarkan saja hal itu diketahui oleh kedua sahabatku. Mereka memberikan semua perhatian yang mereka punya terhadapku. Seperti aku yang selalu berusaha kuat untuk selalu bisa memberikan apapun ke mereka selama aku mampu. Maka daripada itulah persahabatan kami bisa terjalin akur sampai sekarang. Kami saling mengisi kekosongan kami. Mempertahankan apa yang bisa kami bertiga pertahankan. Dan mencintai kekurangan yang kami punyai di persabatan dan kehidupan kami ini.
“Luk!” panggil suara berat itu. “Hallo, Luk!” aku tersentak kaget dan mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku melihat Bas yang sedang menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku. Aku akhirnya kembali ke waktu sekarang. “Lo dengerin nggak apa yang gue tanyain ke elo barusan?” tanya Bas sedikit agak kesal.
Sorry, sorry,” aku membenarkan cara duduk-ku dan menatap Bas. “Emang lo tadi nanya apaan?”
Bas memutar bola matanya. “Udah gue duga lo nggak nge-dengerin apa yang gue tanya.” Bas menunjukan jam tangannya padaku. “Lo nggak narik jam segini?”
Aku menyipitkan mataku. Shit! Sudah jam setengah tujuh maghrib. “Kalo gitu gue pergi dulu, guys!” aku menarik tas selempangku dan berjalan cepat menuju ke arah pintu keluar warnet ini, warnet dimana tempat biasa aku dan kedua sahabatku kumpul.
“Hati-hati yo!” seru Bas dan Dev secara bersamaan.
Aku membalikan badanku dan tersenyum lebar ke arah mereka. Lalu aku mengangguk dan menghilang cepat dari warnet ini untuk pergi bekerja.
***
07.12 PM
Aku mengelap kaca spion mobil biru muda ini dengar gerakan cepat. Pangkalan yang biasanya rame ini, sekarang sepi melompong. Pak Ujang dan Pak Darmo sudah dapat penumpang. Sedangkan aku baru dua kali mendapatkan penumpang. Taksi biru muda berlogo Blue Bird Group ini sudah mengkilap sebenarnya daritadi. Tetapi aku sengaja mengelap-ngelapnya agar ada yang kukerjakan.
Ya. Aku bekerja sebagai tukang taksi. Saat pertama kali aku datang ke pusat Blue Bird Group untuk menaruh lamaran pekerjaanku, si Bos itu langsung memanggilku untuk interview. Sebenarnya Blue Bird Group tidak bisa menerima pekerja yang umurnya di bawah 25 tahun. Tetapi karena saat itu keadaan sedang mendesak disitu dan si bos—dia cewek lho ya—sangat suka dengan personality diriku, dia lalu menerimaku. Dan… voilá! Jadilah aku disini. Sudah bekerja di Blue Bird Group selama hampir satu tahun dengan penghasilan yang menurutku cukup.
Terkadang, ketika aku hanya mendapatkan beberapa penumpang saja, Bas dan Dev pasti akan menelponku dan menyuruhku untuk mendatangi rumah mereka. Lalu mereka berdua menyuruhku untuk mengelilingi Jakarta. Aku dibayar oleh mereka. Untuk membantuku memperbanyak penghasilanku kalau aku kekurangan hari itu. Mereka berdua selalu menolongku dan aku sampai sekarang masih sangat bingung balas budi apa yang harus kuberikan kepada mereka.
Aku mencintai mereka berdua. Bukan! Bukan mencintai dalam artian aku ingin memiliki mereka. Tetapi aku mencintai mereka seperti saudara. Bas dan Dev sudah kuanggap dua adik-ku yang paling berharga. Selain itu, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Aku hanya punya Nenek dan Kakek yang tinggal berkilo-kilo meter dari tempatku sekarang. Dan aku juga yakin kalau Bas dan Dev mencintaiku sebagai saudara mereka.
Terkadang aneh ya! Aku dulu mempunyai teman stright, dan aku sangat-sangat menyukainya. Jatuh cinta padanya malahan. Tetapi aku sadar, dia tidak akan mungkin mencintaiku. Jadi aku langsung menyerah saat itu juga. Dan sekarang, ketika aku mempunyai sahabat yang gay dan bertipe Bot serta Vers, aku malah tidak jatuh cinta ke mereka. Mungkin naluriku sebagai gay memang selalu ingin mempunyai pacar stright. Yang kutahu itu tidak akan mungkin. Lagipula semua orang yang pernah dekat denganku adalah gay atau bisek. Dan hubungan kami biasanya hanya akan sebatas garis lurus yang akhirnya akan putus.
07.33 PM
“Bisa ke jalan xxx nggak mas?” aku berbalik cepat saat mendengar suara serak itu bertanya.
Wajahnya agak sembap—walaupun sebenarnya tak benar-benar kelihatan karena cahaya yang remang. Tangannya menyelimuti badannya yang tak terbungkus jaket. Malam ini memang agak sedikit dingin. Mungkin karena sekarang lagi musim hujan. “Bisa,” aku mengangguk dan membuka-kan cowok itu pintu.
Dia masuk dengan luwes. Saat aku ingin menutup pintu itu, dia yang malah duluan menutupnya. Dari gerak-geriknya aku tahu kalau dia sedang dalam keadaan yang tidak baik. Aku menghembuskan nafasku dan mempersiapkan diriku dengan penumpang galau itu.
Saat aku sudah berada di depen kemudi, aku langsung men-starternya. Bunyi mesin mobil menggeram lembut. Aku memegang ujung tuas perseneling, siap-siap meninggalkan pangkalan ini. Lalu menghadapi penumpang yang galau habis.
Taksi ini kujalankan hanya 40 km. Semburat cahaya-cahaya lampu yang menghiasi pinggiran jalan menyeruak masuk ke dalam taksi yang sedang kubawa ini. Dengan gerakan sembunyi-sembunyi, aku menolehkan mataku ke arah kaca spion yang ada di atas kepalaku. Untuk melihat dengan jelas penumpang galau yang sedang kubawa ini. Dan ketika akhirnya mataku sudah bisa berinteraksi dengan wajahnya, aku seperti tersedak biji durian. Cowok galau yang ada di bangku belakang itu pernah kulihat sebelumnya.
Aku tidak mungkin lupa dengan garis matanya yang bisa membuat mataku tercengang itu. Tetapi kali ini beda, aku tidak melihat cowok yang sama seperti yang kulihat dulu. Sekarang dia terlihat sangat murung. Tidak se-ceria seperti aku melihatnya tempo lalu.
“Kayaknya saya pernah lihat kamu deh,” kataku membuka percakapan. Merubah bahasa bicaraku ke lebih sopan.
Cowok itu mengangkat kepalanya yang dia tidurkan di jendela. “Oh, ya?” suaranya jemu. Dia menyipitkan matanya dan menatapku melalui kaca spion. “Ya. Kayaknya kita pernah ketemu.” Lalu dia kembali menidurkan kepalanya di jendela lagi.
Lalu aku menutup mulutku dan kembali fokus ke jalan. Sepertinya dia memang lagi galau. Aku tidak perlu bicara lagi dengannya. Toh, takutnya kalau nanti aku mengajaknya bicara lagi, dia malah akan mengabaikanku. Atau yang lebih parah. Menyuruhku diam dan dia minta turun. Padahal sebentar lagi akan sampai. Kalau misalnya dia minta turun, aku yakin dia tidak akan mau membayar. Enak saja! Aku butuh uang sekarang.
Akhirnya tujuan cowok galau itu sudah sampai. “Mas, udah sampe nih.” Aku membalikan badanku dan menghapkan wajahku ke arahnya.
Tiba-tiba nafasku tercekat ketika melihat wajahnya yang begitu rupawan. Semua kenangan saat aku pertama kali melihatnya langsung menyeruak masuk ke dalam otak-ku. Ya. Aku masih sangat ingat dengan tingkahnya saat aku memperhatikannya. Aku dan dia bertemu di The Embassy saat itu. Aku sangat tertegun dengan pola wajah dan gerak-geriknya. Seakan-akan dia adalah orang yang membuat bumi berhenti berputar. Di setiap kesempatan pada saat itu, aku selalu meliriknya. Ketika aku ingin kembali meliiriknya, dia melirikku. Lalu ketika aku mengutuskan untuk berkenalan dengannya, tiba-tiba ada seorang cowok yang menghampirinya dan memegang tangannya. Niatku langsung hancur kala itu juga.
Cowok itu menatap keluar jendela dan menatap wajahku. Mulutnya menekuk kecil. Antara tersenyum dan berdecak. “Kalo gitu jalanin lagi deh mobilnya.”
Aku mengerutkan keningku. “Tapi kita udah nyampe.”
“Jalanin aja. Bawa gue keliling kemana-mana. Tenang aja! Gue bakalan bayar lo.”
10.33 PM
Sudah tiga jam aku dan dia keliling kota Jakarta. Aku melirik ke arah cowok itu. Dia masih menaruh kepalanya di jendela. Matanya menerawang entah kemana.
“Solarnya udah nih mas,” aku menoleh cepat dan membayar tukang SPBU itu.
Ketika aku sudah berada di dalam taksi, aku menolehkan kepalaku cepat ke arahnya. “Kita udah tiga jam keliling nggak jelas. Selanjutnya mau kemana lagi?” tanyaku ke cowok itu.
Untuk beberapa detik, dia tidak menjawab. Matanya malah menatapku tajam. Seperti dia akhirnya sadar dari sesuatu. “Kayaknya gue udah pernah ketemu lo deh.”
Aku menghembuskan nafas lelah. Memangnya aku tadi bilang apa. “Ya. Bukannya tadi kita udah bahas ya.”
Cowok itu langsung terduduk tegap. “Oh, ya?” dia mengerutkan keningnya. “Ahhh…” dia mendesah. “Sorry, gue lagi ada banyak pikiran tadi.” Lalu dia memanjat bangku yang ada disebelahku dengan gerakan cepat. Belum saja aku mengedipkan mataku, dia sudah duduk di sebelahku. “Kita seumuran kan?”
Aku mengangguk.
“Nama gue Evan,” dia menyorongkan tangannya padaku. Aku melirik sedikit ke arah jalan, takut nanti aku malah menabrak, lalu melirik lagi ke arah dia. Aku melepaskan tangan kananku dari kemudi dan menerima uluran tangannya.
“Gue Luk.” Aku merasakan getaran aneh di hatiku ketika ujung mataku menangkap seberkas senyum di bibirnya.
“Lux?” ujarnya aneh. Dia melepaskan uluran tangan kami. “Lux kayak nama sabun itu ya?”
Aku terkekeh kecil. “Bukan Lux. Tapi Luk. Pakek huruf K. Nama panjang gue sebenernya Lukas. Tapi temen-temen gue manggil Luk.”
“Ohh…” mulut cowok itu berbentuk O besar. “Nice one.”
“Yeah. Lo juga punya nama yang bagus lho.” Aku tersenyum ke arahnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali. Kenapa? Apa senyumanku mengerikan? Baru kali ini aku melihat ada orang yang mengerjap sebegitu anehnya ketika melihat senyumanku.
Namun dia cepat-cepat mengendalikan dirinya. “Selain itu lo juga suka ngelirik-ngelirik gue kan?” ujarnya dengan sebuah senyuman simpul yang manis. Membuat jantungku berdentum keras secara tiba-tiba.
“Masa sih?” aku pura-pura ngeles. “Emang kapan gue ngelakuin hal itu?” tanyaku sambil melirik sebentar ke arahnya.
“Pas di The Embassy.” Ternyata Evan mempunyai ingatan yang kuat.
Aku tertawa kecil. “Oke-oke.” Aku menatapnya agak lama. “Gue ngaku deh.”
Evan ikut tertawa bersamaku. “Gue juga ikut ngelirik lo kok waktu itu,” ucapnya malu-malu. Wajahnya tiba-tiba bersemu merah. “Dan gue agak merasa bersalah sama Gio—“ dia tiba-tiba memberhentikan ucapannya.
Gio. Bentar dulu. Itukan sepupu Bas. Orang yang jadi pemeran utama dalam acara di The Embssy waktu itu. Bas memaksaku untuk menemaninya di acara itu. Acara yang sampai sekarang temanya aku belum tahu dan aku memang tidak ingin mencari tahu. “Gio. Cowok yang megang tangan lo itu ya?” tanyaku kemudian. Menghentikan taksi ini karena mobil yang ada di depan juga ikut berhenti.
“Lo tau darimana dia megang tangan gue?” seru Evan agak kaget.
“Pas gue mau nyoba buat kenalan sama lo,” kataku.
Evan membuang muka. “Padahal cuman sekali itu aja dia megang tangan gue di acara itu. Kok lo bisa ngeliat momen itu ya?”
“Nggak tau,” kataku sambil menatap wajahnya. “Tapi gara-gara hal itu gue urung kenalan sama lo.”
“Lo mau kenalan sama gue?” tanyanya, kedua alisnya terangkat tinggi. “For whatAre you gay?” nada suaranya yang menuntut mengingatkanku dengan suara sahabatku, Waldy, saat di SMA dulu. Saat dia bertanya hal yang sama karena aku setiap hari mengiriminya SMS. Yang isinya seperti seorang pacar yang melarang ini-itu. Makanya Waldy bertanya hal itu padaku. Apakah aku gay? Apakah aku gay? Ick. Tentu saja aku gay. Dan aku bangga akan hal itu.
“Ya…” aku menelengkan kepalaku. “Lo jugakan?”
Evan hanya mengangguk sebagai jawaban.
Baru saja aku ingin membuka mulutku, tiba-tiba mobil yang ada di belakangku meng-klakson. Aku terlonjak kaget dan menatap ke belakang. Menatap mobil sialan itu. Aku mendengus dan mulai ingin menjalankan mobil. Tetapi aku langsung menginjak rem, ketika tahu mobil yang ada di depanku ternyata tidak jalan sama sekali. Bahkan mobil yang ada di sebelah kiri dan kananku juga sama. Berarti hanya ada satu kesimpulan. Sekarang lagi macet. Anjrit!
“Kayaknya kita kejebak macet,” tutur Evan disebelahku. “Belok ke kiri nggak bisa. Belok ke kanan juga nggak bisa. Mundur apalagi.”
Benar apa yang dibilang Evan. Aku dan dia benar-benar terjebak macet sekarang. Untung saja aku tidak ada jadwal kuliah besok. “Gue cek dulu ke depan. Apa yang nyebabin dia macet.”
Rambut Evan yang berwarna hitam dan agak bergelombang itu, bergerak-gerak kecil seraya dia mengangguk. Aku membuka pintu taksiku ini. Saat kepalaku sudah menyembul keluar dari taksi, wangi asap mobil yang sangat mencekat masuk ke dalam rongga hidungku. Astaga, keadaan diluar sini benar-benar kacau.
Aku berjalan cepat untuk mencari polisi yang bertanggung jawab dengan kemacetan ini. Namun aku belum menemukannya juga. Padahal aku sudah berjalan sekitar 150 meteran. Dimana sih polisi itu kalau sedang dibutuhkan seperti sekarang ini. Kalau dia tidak diharapkan, dia akan muncul dan menilang. Sekarang saat dibutuhkan begini malah tidak ada.
Setelah aku yakin, kalau aku sudah berjalan sekitar 200 meter. Barulah aku menemukan sosok dua polisi dengan badan gempal yang sepertinya sangat mengerikan jika di tindih badan sebesar itu. “Pak!” aku memanggil salah satu polisi gempal itu. Yang wajahnya tanpa kumis menoleh ke arahku. Lalu dia berjalan mendekat.
“Ada apa mas?” tanyanya. Suaranya tidak sebesar perutnya.
“Macet ini gara-gara apa ya?” tanyaku sambil menunjuk daerah yang macet ini.
“Macet ini gara-gara ada mobil Pertamina yang bawa bensin tadi terguling. Semua bensin yang ada di tangkinya, berceceran di jalan. Jadi jalan yang di depan ditutup. Takutnya nanti kalau ada yang melewati jalan itu, malah ada api yang tersulut. Jadi lebih baik jalannya di tutup aja dulu.”
“Kalo mundur nggak bisa ya Pak?” tanyaku. Aku tidak mau menhabiskan waktu di tempat ini. Walaupun aku tidak ada jadwal kuliah besok, tetapi aku mau menghabiskan waktuku di rumah. Mana macet ini panjang sekali lagi.
“Nggak bisa,” katanya sambil menggeleng. Jalan di belakang sudah dipadatin oleh mobil-mobil juga.”
Great! Aku benar-benar terjebak macet sekarang. “Sekitar berapa lama ya Pak macet ini selesai?” tanyaku dengan nada memelas. Aku benar-benar tidak mau berada di kemacetan ini. Ck. Seharusnuya tadi aku memperhatikan jalan. Bukan asyik ngobrol dengan Evan. Ini deh akibatnya kalau terlalu antusias dengan satu hal. Aku pasti akan lupa semua hal lainnya.
“Sampe pagi mungkin mas. Soalnya minyak yang kececeran di jalan itu lagi dicoba buat di ambil sama orang-orang Pertamina. Biar mereka nggak rugi, katanya. Tapi yah itu, kayaknya agak lama deh ngambilnya. Kan tau sendiri gimana susahnya ngambil minyak-minyak itu. Perkiraan saya sih sampe pagi” cerocos pak Polisi itu.
Sampai pagi! Sialan! Tapi apa yang bisa aku lakukan. Tidak ada. “Makasih atas infonya pak,” aku mengangguk hormat lalu meninggalkan polisi itu dengan langkah panjang.
12.33 AM
Sudah dua jam aku dan Evan terjebak macet ini. Tak ada satu mobilpun yang bisa bergerak. Bahkan hanya 1 CM pun tidak. Mana bensin mobil ini sebentar lagi akan habis. Aku tidak mematikannya daritadi. Tentu saja tidak. Kalau aku matikan, bisa-bisa aku dan Evan mati kepanasan di dalam mobil ini. Kalau kami membuka kaca mobil, yang ada malah kami akan mati akibat terlalu banyak menghisap toksin dari asap-asap mobil yang ada diluar.
Skak mat!” seru Evan dengan nada bangga. Kudanya yang berwarna putih itu akhirnya bisa mengalahkan pion rajaku dengan telak. Aku meringis tidak senang. Biasanya dalam permainan catur ini, akulah yang menang. Sekarang aku baru yang namanya merasakan kekalahan di permainan ini. Dan rasanya sangat menyebalkan. Damn!
“Lo hebat juga ya,” ujarku sembari membereskan pion-pion yang berantakan. “Baru kali ini lho gue yang namanya kalah main catur.”
Evan tersenyum simpul. “Oh, ya?” Evan menaikan kedua alisnya. Wajahnya yang rupawan menjadi sangat lucu. “Kalo gue, baru kali ini yang namanya menang main catur.”
No way!” tukasku dengan nada tidak percaya. Dia bermain catur sudah seperti atlet catur profesional. Tidak mungkin baru kali ini dia memenangkannya.
Yes way!” tukasnya balik. “Gue selalu kalah ngelawan kakak gue. Lo harus main catur sama dia. Hanya dalam waktu dua menit—satu menit deh—dia bisa ngalahin lo. Sedangkan gue, harus ngabisin hampir dua jam buat ngalahin lo.”
“Wah, jadi pengen ketemu sama kakak lo deh. Terus nantangin dia main. Masa gue bisa dikalahin hanya dalam waktu satu menit. Nggak mungkin banget lah.” Aku menaruh kotak catur itu ke dasbor mobil.
“Nih orang kalo dibilangin nggak percaya amat ya!” Evan menggerutu sambil tertawa. Di sela-sela tawanya, perutnya yang bisa kutafsir dalam golongan menggoda itu berbunyi dengan nada yang sangat jelek. Dia lalu mengernyitkan wajahnya dan malu-malu menatapku.
“Lo laper?” tanyaku, mencoba menahan tawa.
Wajah Evan makin memerah. “Iya. Gue belum ada makan dari kemaren.”
Kali ini aku yang mengernyitkan wajah. “Lo serius?”
Evan hanya mengangguk. Kemudian dia membuang wajahnya keluar jendela. Semburat merah ranum yang menurutku sangat menggelikan menjalari seluruh wajahnya lalu naik ke daun telinganya. Bibirnya yang penuh itu menekuk kecil. Mencoba untuk tidak menanggapi perkataanku. Mungkin dia malu kalau bicara nanti, perutnya akan berbunyi lagi.
“Lo mau makan apa?” tanyaku. Aku mengalihkan tatapanku keluar jendela. Mencari warung makan pinggir jalan yang mungkin masih buka. Lalu mataku menangkap beberapa sosok penjual Tahu tek-tek di pinggir jalan. Yang sedang mempromosikan dagangan mereka. Mencoba peruntungan melalui kemacetan ini. “Lo suka Tahu tek-tek nggak?”
Evan kembali menatap wajahku. “Makanan apapun yang sekarang ada di depan mata gue saat ini, gue pasti mau” katanya cepat dengan nada pasti. Perutnnya kembali berbunyi. Kali ini lebih panjang dan lebih memaksa.
Sekarang aku tidak bisa menahan tawaku. Langsung saja aku tertawa dengan mulut ternganga lebar mendengar bunyi perutnya tadi. Evan menatapku sejenak lalu memukul lenganku dengan kepalan tangannya yang lumayan besar. Selain itu, rasanya juga sangat lumayan sakit. Aku menepis beberapa kali pukulannya. Mulutku masih saja tertawa. Kemudian tanganku tiba-tiba mencengkram tangannya. Lalu semuanya terjadi dengan begitu janggal. Seperti ada orang yang menghentikan adegan ini untuk sementara waktu. Aku dan Evan saling menatap mata masing-masing. Deru nafas kami yang tak teraturlah satu-satunya bunyi yang kami dengar. Senyumanku langsung memudar ketika melihat bola matanya yang membulat sempurna. Aku seakan-akan terhipnotis akan dirinya.
Saat aku ingin memegang wajahnya dengan tanganku yang satu lagi, tiba-tiba perut Evan kembali berbunyi. Kali ini lebih memaksa dari sebelumnya. Dengan gelagapan aku dan Evan saling melepaskan tangan.
“Kalo gitu gue pergi beli dulu,” ucapku, memecahkan keheningan.
Baru saja aku ingin beranjak, tiba-tiba Evan menahan  seragam taksiku. “Ini uangnya,” dia menyerahkan aku selembar lima puluh ribu.
“Nggak usah. Pakek uang aku aja,” kataku menolak uangnya.
“Lho kok gitu,” seru Evan bingung. “Lo aneh deh. Nih pakek uang ini aja. Masa lo beliin gue makan pakek uang lo sendiri. Nggak masuk akal banget. Lo kerjakan buat cari uang. Masa uang hasil keringet lo, lo malah pakek buat beliin gue makan. Gue nggak mau ah!”
Aku tersenyum kecil ke arah Evan. “Nggak apa-apa kok. Pakek uang gue aja. Lo simpen aja uang lo buat bayar biaya lo naik taksi gue. Tuh lihat di argo,” aku menunjuk harga argo yang berkedip-kedip mengganggu. “Udah hampir satu juta lo harus bayar biaya taksi ini.”
Evan mengibaskan tangannya. “Gue bawa banyak uang kok. Yah, kira-kira ada empat juta lah. Jadi nggak masalah mau berapa harga biaya taksi ini.” Evan kembali menyorongkan uang lima puluh ribunya itu padaku. “Gue nggak mau tau. Lo harus beli makan pakek uang ini. Dan sekalian juga buat makan lo.” Aku ingin memotong ucapannya, tetapi dia menaruh tangannya di depan wajahku. Tidak mau melanjutkan perdebatan ini. “Gue udah laper. Please! Turutin apa yang gue mau.”
Aku hanya mengangguk dan mengambil uang yang disorongkan oleh Evan kepadaku. Dengan gerakan luwes, aku membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Kali ini aku tidak mencium bau asap dari mobil-mobil lagi. Aku menutup pintu mobil lalu memperhatikan sekitar. Bisa kulihat sudah banyak orang yang mematikan mesin mobil mereka. Well, kalau begitu aku juga harus melakukan hal yang sama.
01.33 AM
“Gue nggak ngerti deh kenapa makanan ini namanya Tahu tek-tek,” ujar Evan sambil membungkus kembali Tahu tek-teknya yang sudah ludes termakan olehnya. “Kenapa namanya nggak Tahu ting-ting atau Tahu tralala-trilili.”
Aku tertawa mendengar gurauan yang Evan lontarkan barusan. “Namanya Tahu tek-tek, gara-gara penjualnya mukulin pentungan ke bambu yang ada disebelah gerobaknya. Kan bunyinya tek-tek. Makanya namanya tek-tek. Bukan ting-ting ato tralala-trilili.”
Kami berdua sekarang sedang berada di atas taksi biruku ini. Menikmati hawa malam yang dingin. Sebenarnya untuk menghemat bensin, makanya kami keluar. Lalu dengan inisiatif yang cemerlang, Evan membentangkan selimut yang kutaruh di dalam dasbor di atas mobil ini. Jadinya seperti aku dan Evan sedang piknik di tengah jalanan yang sedang macet.
Aku menaruh bungkus bekas Tahu tek-tek itu ke dalam kresek lalu menaruhnya di samping mobilku. Nanti pagi saja baru aku memcari tempat sampah untuk membuangnya. Karena masih ada hal yang lebih penting daripada mencari tempat sampah di jam sekarang.
Evan tiba-tiba membaringkan badannya dan menghadapkan wajahnya ke langit malam yang gelap. Matanya kembali menerawang. “Lo liat deh,” tangan kirinya terangkat ke udara. “Malem ini bulannya terang banget.”
Aku ikut berbaring disebelahnya dan melihat bulan yang bulat sempurna. Serta sangat terang benderang. Banyak bintang yang menghiasi pinggiran bulan tersebut. “Gue bingung deh, sebenernya buat apa sih bintang-bintang itu? Kalo bulan bisa seterang inikan, kita nggak butuh hal-hal yang bisa buat bumi makin terang lagi.”
Tawa renyah keluar dari sela-sela tenggorokan Evan. “Bintang-bintang itu bukan buat nerangin bumi kita kok.”
“Masa sih?” aku mengerutkan keningku. “Terus buat apa bintang-bintang itu?”
Aku bisa melihat senyuman tertampil di wajah Evan saat ini. “Bintang-bintang itu ada bukan buat bumi. Tapi buat nemenin bulan. Biar bulan nggak kesepian. Biar bulan tau, kalo saat malem tiba, dia nggak akan pernah sendiri di atas langit.”
Nafasku terasa tercekat saat mendengar Evan berkata begitu. Nada suaranya yang lembut membuatku mabuk. Mabuk dalam artian yang baik, tentu saja. “Gue nggak pernah tau kalo asumsi yang sebenernya ternyata itu. Gue kirain bintang hanya buat hiasannya bulan aja.”
Evan mengalihkan wajahnya ke arahku. “Nggak ada yang namanya hiasan Luk,” ucap Evan perlahan. Matanya menelusuri bulu mataku. “Yang ada adalah saling melengkapi. Untuk satu sama lain. Nggak ada hal yang di alam semesta ini pantes hidup sendiri. Mereka selalu diberikan pasangan masing-masing. Agar mereka bahagia dan tak pernah merasa sendiri.”
“Kalo lo, lo udah nemu pasangan bahagia untuk hidup lo?” tanyaku, ikut menatap bulu matanya yang panjang dan lebat.
“Mungkin sebentar lagi gue bakalan punya,” dia tersenyum secara misterius. Matanya yang hitam itu kembali menengok ke atas langit.
Tanganku yang berada di samping tangan Evan akhirnya mau bergerak juga. Dengan gerakan hati-hati, aku memegang tangan kanan Evan yang dingin dengan tangan kiriku. Lalu, saat dia menatap wajahku dan aku menatap wajahnya. Kami tahu kalau kami ditakdirkan untuk bahagia. Untuk melengkapi hidup kami satu sama lain.
04.33 AM
Aku terbangun ketika angin subuh mulai memasuki seluruh sendi dan tulangku. Tangan kiriku masih terpaut dengan tangan kanan nan hangat Evan. Aku menekankan pelipis mataku dengan tanganku yang bebas. Deru nafasku yang letih terdengar begitu menyedihkan ketika aku mencoba untuk kembali tidur. Aku kembali membuka mataku dan mencoba untuk menatap wajah Evan yang tak pernah membuatku bosan.
Tetapi dia tidak memejamkan matanya. Sekarang ini matanya terbuka lebar. Menerawang lagi. Selama satu menit aku melihat tatapan Evan yang teruju ke langit, aku tahu ada hal yang dia sembunyikan. Ada hal yang memang membuatnya galau. Yang dia coba sembunyikan terhadapku. Seseorang yang baru dikenalnya pada pukul 07.33 PM tadi. Hanya saja, aku tidak merasa begitu. Aku seperti sudah mengenalnya pada waktu yang lalu. Entahlah! Mungkin di zaman dulu, aku dan dia memang pernah saling mengenal.
“Lo nggak tidur?” tanyaku dengan suara serak. Aku berdeham pelan untuk menghilangkan suara serak yang menghampiriku.
Evan agak sedikit terkejut saat mendengar suaraku. Tatapan menerawangnya langsung buyar seketika. “Gue kebangun,” katanya simpel.
Tangan kirinya mencoba untuk memeluk dirinya karena hawa subuh yang dingin. Aku cepat-cepat bangkit dari bebaringku. Lalu melepaskan tangan kami yang terpaut. Dengan gerakan cepat, aku mulai membuka seragam Blue Bird-ku yang lumayan tebal. Agar dia bisa mengenakannya untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan.
“Lo mau ngapain?” tanya Evan cepat, seraya ikut bangkit dari bebaringnya.
“Lo kedinginan kan?” tanyaku, tanganku baru dikancing yang ketiga. “Gue pinjemin lo seragam gue ini. Biar lo nggak kedinginan lagi.”
Evan menaruh tangannya di atas tanganku, yang saat ini sedang sibuk membuka kancing terakhir. “Nggak usah,” ujarnya dengan nada lembut namun tegas. “Gue nggak kedinginan kok.”
Aku masih kukuh untuk membuka seragamku. Namun Evan kembali mengancingkannya. “Gue tau kok kalo lo kedinginan. Masa nolong lo aja gue nggak boleh?”
“Udah gue bilang gue nggak kedinginan.” Evan akhirnya selesai mengancingkan kembali semua kancing bajuku. “Gue malah nggak ngerasa dingin ato panas sekarang.”
“Gue liat kok lo tadi nyoba buat meluk diri lo sendiri. Nyoba buat ngilangin rasa dinginkan?”
Evan terkekeh pelan. “Nggak kok,” katanya, kepalanya menggeleng pelan. Dia membuang wajahnya ke arah lain. Lalu dia menekuk kakinya ke depan dadanya. “Gue cuman lagi mikiran masalah gue aja.”
“Mikirin masalah lo?” aku merapatkan duduk-ku ke dekatnya.
“Jangan bilang lo nggak pernah punya masalah!” Evan menatapku dengan tatapan serius.
Aku terkekeh pelan. “Gue selalu punya masalah malahan.”
Evan kembali terkekeh. Tetapi hanya sebentar. Matanya kini tertuju entah kemana. Tatapan menerawangnya serasa sangat menyedihkan menurutku. Dia galau karena masalahnya. Bahkan aku saja sering galau karena masalahku. Tetapi aku selalu bisa menyelesaikan masalahku. Yang biasanya akan dibantu oleh Bas dan Dev. Sekarang aku mengerti apa maksud dari perkataan Evan tentang saling melengkapi dan saling membuat bahagia. Ya. Kini aku tahu, Bas dan Dev bagaikan bintang-bintang yang menemaniku agar aku tidak sendiri di dunia ini.
“Lo bisa cerita ke gue masalah lo, kalo lo nggak keberatan.” Aku berkata pelan ke Evan. “Siapa tau gue bisa nge-bantu lo.”
Mata Evan melirik-ku sebentar. Lalu dia menghembuskan nafas. “Gue biasanya nggak pernah ceritain masalah gue ke orang lain. Dan mungkin karena itulah akhirnya masalah gue numpuk dan malah buat gue kena masalah yang lebih berat.” Evan memeluk kedua kakinya dengan erat. “Mungkin ini saatnya buat gue untuk percaya sama masukan orang lain.” Evan menatapku dan merapatkan dirinya padaku.
Aku memeluk pelan pundak Evan. Membiarkannya tidur di atas pundak-ku. Wajahnya yang temaram sangat rupawan ketika sinar bulan menimpa selak-beluk pola mukanya.
“Gio,” dia menyebutkan nama itu dengan nada pahit, “pacar paling sempurna yang pernah gue punya. Semua orang nggak ada yang tau tentang hubungan kami ini. Dia juga nggak berani buat coming out ke keluarganya ato ke temen-temen deketnya. Takut kalo popularitasnya sebagai model bakalan hancur karena ini. Tapi gue nggak bisa terus nyimpen rahasia itu. Jadi, gue mutusin buat coming out ke keluarga gue tantang hal ini. Papi dan Mami gue kaget banget pas denger orientasi seksual gue. Mereka maki-maki gue kayak gue ini sampah. Dan lo liat ini…” dia memiringkan pipinya yang sebelah kiri, yang terdapat beberapa goesan panjang yang hampir memudar. “Bekas cakaran dari Papi gue. Dia bahkan ngeludahin muka gue.” Suara Evan sangat-sangat suram. “Tapi akhirnya mereka tenang dan mulai nyoba untuk nerima gue apa adanya. Tapi, tetep aja gue ngerasa hubungan gue sama kedua orang tua gue nggak pernah sama lagi. Walopun bibir mereka tersenyum, tapi setiap kali mereka ngeliat gue, mereka kayak sedang ngeliat sampah busuk yang harusnya dibuang.”
Evan memasukan kepalnya ke leherku. Deru nafasnya yang tercekat membuat jantungku ikut mencelos sakit. “Terus pas gue ngasih tau hal ini ke Gio, dia malah ikut maki-maki gue. Dia bilang kalo gue ngelakuin hal paling bodoh. Yang mungkin bisa ngancurin hidupnya juga. Habis itu dia putusin gue kayak gue ini barang yang sudah nggak berguna lagi.” Kini aku bisa merasakan isakan pelan Evan di leherku. “Dan sekarang gue udah nggak punya apa-apa yang bisa gue pertahanin. Kedua orang tua gue udah benci sama gue. Pacar yang paling gue sayang ninggalin gue sendiri di masalah ini. Gue bener-bener jatuh ketimpa tangga pula-kan?” ujarnya dengan nada getir menyakitkan.
Aku mengeratkan pelukan tanganku ke pundaknya. Mencoba menenangkannya. “Lo cuman jatuh Van, dan percaya sama gue. Itu pasti cuman sementara” ucapku mencoba menghiburnya. “Gue yakin ada seseorang yang bakalan ngebantu lo buat bangun lagi dari kejatuhan lo ini.”
Evan menggadahkan lehernya ke arah wajahku. “Lo yakin?” tanyanya di sela-sela isakannya.
“Gue yakin,” aku mengangguk pasti. Memberika dia senyumanku yang paling manis.
Dengan cepat, wajah Evan berubah menjadi sedikit agak tenang. “Lo mau tau nggak hal yang buat gue suka dari lo?”
“Apa?” tanyaku.
“Senyum lo.” Dia mengangkat tangannya lalu menaruhnya di bibirku. “Lo punya senyum yang paling ikhlas yang pernah gue liat.”
Aku kembali tersenyum. “Lo mau denger nggak cerita hidup gue? Siapa tau bisa ngurangin beban masalah lo.”
Evan hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Pas gue lulus SMA dulu, gue coming out ke orang tua gue tentang orientasi seksual gue.” Evan memindahkan kepalanya menjauh. Agar bisa menatapku lebih intens. “Terus lo tau apa reaksi yang mereka tunjukin ke gue?” Evan hanya menggeleng atas pertanyaanku. “Mereka melotot terus ngebuang muka. Ngejauhin gue kayak gue ini virus.” Aku masih sangat ingat raut wajah kedua orang tuaku saat itu. Dan ketika aku mengingatnya, tiba-tiba hatiku sangat sakit. “Setelah itu, pas gue baru pulang dari nyari tempat kuliah. Kedua orang tua gue udah nggak ada di rumah lagi. Barang-barang sudah nggak ada. Ya. Mereka pergi Van. Ninggalin gue sendiri di dunia ini. Dan sampai sekarang gue nggak tau dimana kedua orang tua gue. Untung aja masih ada Nenek dan Kakek gue yang bisa bantu gue untuk masuk kuliah dulu.”
Evan menatapku dengan tatapan sedih. Air matanya kembali mengalir. Aku mengangkat tanganku dan menghapus air matanya. “Tapi itu semua udah nggak penting lagi Van. Bahkan gue udah nggak inget muka kedua orang tua gue” ujarku sambil tersenyum. “Lagian gue udah nggak pernah sendiri lagi semenjak gue kenal Bas dan Dev. Kedua sahabat gue yang paling gue sayang. Terlebih lagi lo nggak bakalan pernah sendiri lagi sekarang. Karena gue bakalan selalu ada buat jadi pelengkap hidup lo.”
06.33 AM
Silauan matahari menyeruak masuk ke dalam mataku. Tangan kiriku serasa sangat kaku ketika tahu kalau beberapa jam tadi kepala Evan memakainya sebagai pengganti bantal. Dia sudah duduk disampingku dan menatap lurus ke arah langit berwarna jingga kemerahan. Punggungnya yang lumayan lebar tertampil pertama kali di mataku ketka aku mengerjap-ngerjapkan mata. Dia duduk di posisi yang sama seperti tadi subuh. Yaitu kedua kaki di tekuk dan kedua tangan melingkarinya.
Dengan gerakan malas, aku bangkit dan mencoba untuk menatap wajah Evan. Lalu disanalah wajahnya dia. Putih bersih dengan beberapa garis menyenangkan yang terbentuk dibawah bibirnya. Ditambah dengan tatapan matanya yang kali ini sudah tidak menerawang lagi. aku tersenyum kecil melihat perubahan besar yang terjadi dengannya.
“Pagi,” sapaku lembut sambil memegang pundaknya.
Evan memutar badannya dan menatapku dengan bola mata yang penuh keceriaan. “Pagi,” sapanya balik. Tangannya terangkat tinggi, menunjuk ke arah langit jingga. “Kamu liat deh! Sunrise.”
Aku melihat matahari yang muncul dengan malu-malu di balik awan putih. Sinarnya yang kian lama makin terang menerangi mataku. Aku nggak tau kalo dari sini viewnya bisa sebagus sekarang ini. Aku kirain ngeliat sunrise lebih bagusan kalo diliat dari pantai.” Bibirku mengulas sebuah senyuman. Mungkin karena akhirnya Evan sudah mulai menggunakan kata sopan sebagai ganti dirinya. Dan aku juga harus melakukan hal yang sama.
Sunrise bisa kamu liat dimana-mana. Di sini. Diatap rumahmu. Pokoknya dimana-manalah.”
Aku tertawa kecil dan mengangguk ke arahnya. Kemudian aku dan Evan menghabiskan dua puluh menit dalam diam. Untuk menikmati pemandangan yang terbentang di hadapan kami. Setelah matahari sudah tinggi di atas langit, aku membuka suara “kamu mau sarapan?”
“Boleh,” ujarnya seraya merogoh saku celananya.
“Kali ini biar aku yang beliin.” Aku meloncat cepat dari atas taksi dan berlari kecil melewati beberapa mobil yang kini sudah bisa jalan. Teriakan Evan memanggil namaku terdengar nyaring ketika aku sudah di pinggir jalan. Aku hanya bisa tersenyum senang akan hal ini.
Aku membeli dua kopi siap seduh dan dua bakpao yang orang jual di pinggir jalan ini. Lalu setelah aku selesai bertransaksi dengan penjualnya, aku membalikan badanku cepat untuk kembali ke Evan. Entah kenapa aku merasa ada hal yang baru di dalam diriku. Seakan-akan ada yang tumbuh di hatiku. Cintakah? Entahlah. Mungkin saja.
Ketika aku sampai di taksiku, Evan sudah berada di dalamnya. Dengan susah payah aku membuka pintu taksi itu. Akhirnya pintu itu terbuka dan aku langsung masuk dengan gerakan cepat. Evan mengerutkan keningnya ketika melihat kedua tanganku memegang kopi dan bakpao. Suara perutnya yang nakal kembali berbunyi.
Aku terkekeh pelan dan memberikan dia kopi serta bakpao yang ada di tanganku. Dia menyambutnya cepat. Lalu menyeruput kopi dengan berantakan. Membuatku makin terkekeh. Dia melirik-ku dengan tatapan tajam. “Berapa semuanya/” tanya Evan, suaranya tidak begitu jelas karna sedang terisi bakpao.
“Nggak usah,” aku menyeruput kopiku. “Ini murah kok. Anggep aja kamu dapet hadiah.”
Evan menelan bakpaonya dengan susah payah. “Tapi aku ngerasa nggak enak sama kamu.”
“Udahlah Van,” sergahku cepat. “Mendingan sekarang kamu makan aja tuh bakpao sampe habis.”
Untung saja Evan menurut dan menghabiskan bakpao itu sampai tak bersisa. Aku dan dia membuka percakapan dengan pembicaraan-pembicaraan ringan. Dia bertanya padaku apakah aku merindukan orang tuaku apa tidak. Apakah aku akan mencari mereka. Dan jawaban yang aku berikan hanya satu kosa kata pasti yang absolut. Yaitu: tidak. Lalu pembicaraan kembali berubah. Sampai akhirnya mobil yang didepanku jalan dan melaju pelan. Aku menstarter taksiku ini lalu membawanya pergi dari tempat bersejarah ini. Tempat aku dan Evan menhabiskan waktu kami semalaman.
“Rumah kamu dimana?” tanyaku kemudian.
“Di xxx” ujarnya, memberitahukan alamat tempat dia tinggal.
Dengan cepat, aku menjalankan taksiku ketika aku sudah masuk ke jalanan yang sudah mulai jarang ada kendaraan lain. Tetapi sebenarnya bukan itu yang membuuatku menjalankan mobil ini dengan cepat. Tetapi karena aku tahu kalau aku melambatkan taksi ini, aku malah akan makin sulit untuk melepaskan Evan. Sejujurnya, aku masih ingin dia di sampingku sekarang. Tetapi aku tahu, dimana ada pertemuan, disitu juga ada perpisahan.
07.33 AM
“Stop disini!” perintah Evan segera. Dengan gerakan tiba-tiba, aku langsung menginjak rem.
“Lho, ini masih di daerah yyy. Kamu bilang rumahmu di xxx.” Aku mengerutkan keningku ke arahnya.
Evan menatapku sejenak dan menggeleng. “Itu bukan alamat rumahku. Aku cuman ingin kamu ke jalan itu agar perjalanan kita agak lama. Tapi karena kamu ngebut daritadi. Jadi lebih baik kita pisah disini aja. Dan ini biaya yang harus aku bayarkan.” Dia menaruh segopok uang di atas argo harga. Lalu dia membuka pintu taksi dengan gerakan yang sangat-sangat cepat. Reflek aku membuka pintu juga dan berjalan cepat untuk menyusul Evan yang kini sudah memasuki gang kecil.
“Tunggu Van!” aku berteriak keras. Evan tiba-tiba memberhentikan langkahnya. Dia berbalik dan menatapku lekat saat aku sudah dihadapannya. “Aku boleh minta nomor HP kamu nggak?” tanyaku penuh harap.
Evan tersenyum masygul. “Itu nggak perlu kayaknya Luk. Kita berdua baru kenal 12 jam yang lalu. Kita mungkin hanya ada untuk saling melengkapi tapi nggak saling memiliki. Aku belum siap buat jatuh cinta lagi Luk. Maaf.”
Aku menaruh kedua tanganku di pundaknya. “Walopun kita baru kenal 12 jam yang lalu, tapi aku yakin aku udah jatuh cinta sama kamu. Dan aku juga yakin kamu juga jatuh cinta sama aku. Aku ngerti dengan perasaan kamu yang masih takut buat buka perasaan kamu. Tapi seperti yang kamu bilang. Nggak ada di alam semesta ini yang hidup sendiri. Dan aku yakin kita berdua di takdirin buat saling melengkapi.”
Evan tersenyum masygul kembali. “Aku tahu Luk,” dia menaruh tangannya di atas tanganku. “Tapi biarin ini berjalan dengan apa adanya aja dulu. Kalau kita memang jodoh Luk, pasti kita bakalan ketemu lagi. Tapi kalo kita memang nggak jodoh. Ya sudah. Kita nggak bisa ngelawan hal itukan.”
“Kenapa kita nggak jalanin ini aja sekarang?” tanyaku tergesa.
“Karena itu janggal Luk,” ujar Evan. “Kita baru kenalan 12 jam yang lalu. Mungkin ini hanya perasaan sesaat kita aja. Makanya kita tunggu aja dulu. Kalo suatu saat kita ketemu lagi dan perasaan ini masih ada di hati kita masing-masing. Berarti kita memang ditakdirin untuk sama-sama.”
Dengan berat hati aku mengangguk ke Evan. Menyetujui ucapannya. Mungkin dia benar. Kalau selama 12 jam kebersamaan kami ini, hanya perasaan saling melengkapi tetapi bukan memiliki. Tetapi aku tidak tahu kenapa aku merasakan lebih dari itu. Namun dia mau ini berjalan alami. Apakah suatu saat nanti, saat kami bertemu lagi, perasaan ini masih ada atau tidak di diri kami masing-masing. Yang aku yakin pasti masih ada di dalam diriku.
Aku baru saja melepaskan tanganku dari pundaknya ketika tiba-tiba dia memajukan badannya dan menaruh bibirnya di bibirku. Aku tidak tahu apakah ini ciuman perpisahan atau ciuman tanda kami harus menemukan satu sama lain suatu saat nanti. Hanya saja, aku tidak peduli tentang kedua hal itu. Yang kupedulikan adalah, aku harus membalas ciuman hangat dan memabukan ini. Rasa kopi yang tertinggal di lidahnya menyeruak masuk ke dalam mulutku ketika aku menyambut lidahnya dengan lidahku. Saat aku mau memeluk tubuhnya, tiba-tiba dia menarik diri.
Kami bertatapan dengan canggung. Aku langsung memegang wajahnya untuk menciumnya lagi tetapi dia menahan tubuhku dengan tangannya. “Ciuman kedua kita nanti,” katanya perlahan. “Bakalan kita lakuin kalo kita ketemu suatu saat nanti. Dan kalau perasaan ini masih ada di hati kita masing-masing.”
Dia berjalan mundur dengan gerakan pelan. Matanya yang hitam menatapku dengan tatapan sendu dan selamat tinggal. Dia mengangkat tangannya tanda salam pisah. Aku membalas lambaian tangan itu sampai akhirnya siluet tubuhnya sudah tak terlihat lagi di ujung mataku.
***
1 Tahun Kemudian
“Masalahnya ya, nyepong kontolnya dia itu kayak lagi makan lolipop versi super besar!” ujar Dev dengan nada sinis. “Makanya gue putus sama dia. Jadi jangan nanya-nanya terus kenapa gue sama Ello putus. Kalo sekali lagi lo nanya, gue gampar muka lo.”
Bas hanya menjulurkan lidahnya dan kembali membaca buku. Aku hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabatku. “Oh, iya Luk” seru Bas, dia kembali mengangkat kepalanya dari buku. “Sudah setahun ini lo nggak punya pacar. Tuh penis nggak basi apa ya?”
Aku mendengus getir. “Gue lagi nyari seseorang,” kataku dengan cepat. Tiba-tiba wajah Evan yang penuh dengan senyuman menyeruak masuk ke dalam otak-ku.
“Pasti si Evan?” sahut Dev dengan nada tak percaya. “Gawd! Emang lo masih cinta sama dia?”
Kutolehkan kepalaku ke arah Dev, yang duduk disebelahku. “Iya.”
Dev dan Bas menggeleng-gelengkan kepala takjub. “Lo ngeri ya. Padahal udah setahun masih aja cinta sama tuh orang. Mana lo kenal dia cuman dalam waktu 12 jam aja lagi. ckckck.” Bas berdecak dengan jenaka. Aku hanya menaikkan pundakku.
Benar. Aku masih mencintai Evan. Aku tahu kami kenal hanya dalam waktu 12 jam. Tetapi itu semua merubah hatiku. Membuatku jatuh cinta. Selama ini, aku terus berusaha mencari sosok Evan. Aku bertekad ingin menemuinya dan mengatakan kepadanya kalau aku masih-masih sangat mencintainya. Tetapi sayang aku tak pernah berjumpa dengannya lagi.
Aku berdiri pelan dan mendorong kursi yang kududuki ini. Lalu aku melangkahkan kakiku menuju ke rak-rak buku yang berisi tentang filosofi. Aku saat ini sedang berada di perpustakaan nasional yang ada di Kota Jakarta. Aku, Bas dan Dev sedang mencari bahan untuk tugas kuliah kami. Makanya kami berada disini sekarang.
Mataku menangkap satu sosok buku yang sepertinya sangat menarik. Aku cepat-cepat mengulurkan tanganku untuk mengambil buku itu. Saat buku yang tidak terlalu tebal itu sudah berada di tanganku dan aku ingin menariknya. Tiba-tiba ada seseorang juga yang ikut menariknya dari seberang rak sana. Well, akulah yang pertama kali melihat buku ini. Jadi, buku ini harus aku yang membacanya. Lalu aku kembali menarik buku itu. Tetapi masih saja orang yang disebelah sana ikut menariknya. Aksi tarik-tarikan kami berlangsung selama dua menit yang panjang. Karena aku lelah dan sudah tidak peduli lagi tentang buku itu, jadi aku mengalah dan membiarkan orang yang diseberang sana yang mendapatkannya.
Setelah buku itu ditarik oleh orang yang diseberang sana, celah yang tadi tak ada di rak buku itu kini ada. Aku menyipitkan mataku untuk melihat siapa orang yang sudah melakukan aksi tarik-tarikan buku denganku. Saat mataku dan matanya saling bertabrakan, jantungku serasa berhenti berdetak. Dimanapun aku berada, aku tidak akan pernah dengan tatapan mata itu. Tatapan yang selama setahun ini membuatku merindu. Tatapan Evan.
“Evan?” panggilku seperti mantra.
“Lukas?” ujarnya seperti bernyanyi.
Dengan gerakan cepat dan takut kehilangan, aku langsung berlari cepat untuk menuju ke tempat dia berdiri. Tak lebih dari sepuluh detik, aku sudah berada di dekatnya. Di sosoknya yang masih sama seperti setahun yang lalu.
“Kayaknya kita jodoh ya,” Evan berkata sambil tersenyum lebar. Dia menarik tanganku dan menggenggamnya. “Tapi aku nggak tau apa kamu masih punya perasaan sama aku ato nggak.” Evan menatap mataku yang tak mampu berkedip. “Kalo aku, nggak tau kenapa. Sampe sekarang masih nyimpen perasaan buat kamu. Kamu udah kayak lalat yang selalu hinggap di otak-ku.”
Kekehan kecil meluncur dari mulutku. Aku menaruh tanganku ke pipinya. Lalu aku menarik wajahnya mendekat padaku. Bibirnya yang terkuak sedikit itu langsung kulumat dengan perasaan rindu yang benar-benar bergelora di dalam diriku. Dan ketika ciuman kedua kami ini selesai, aku tahu akhirnya Evan mengerti dengan perasaanku. Perasaan yang masih sama seperti setahun yang lalu.
“Aku masih cinta kamu,” katanya dengan nada sendu bahagia.
Aku menjauhkan wajahku darinya sedikit dan tersenyum semanis mungkin. “Kalo perasaan itu nggak ada di antara kita. Saat ini nggak mungkin kita bakalan bisa ketemu kayak gini,” aku memeluknya dengan erat. Lalu berbisik pelan dan menenangkan ke telinganya. “Aku juga masih cinta sama kamu.”
Dan ketika Evan membalas pelukanku, semua penantianku dan cintaku untuknya selama setahun ini sangat manis rasanya. 12 jam kami waktu itu, kini akan digantikan dengan kalimat ‘selamanya’.
-THE END-
Share:

0 komentar: