Rabu, 09 Desember 2020

Pengalamanku melawan penyakit skizofrenia

Hai gays. Kalian pernah denger gak tentang skizofrenia? Itu adalah penyakit dimana kamu ga bisa ngenalin dirimu sendiri. Kamu gabisa ngebedain mana yang nyata dan mana yang enggak. Mana mimpi mana yang asli. Yang bisa kalian lakukan hanyalah berserah diri. Mohon ampun pada yang kuasa.Penyakit ini udah kambuh beberapa kali. Mungkin karena beban arti nama yang terlalu berat. Tapi mau gimana lagi. Mungkin udah takdir dari yang maha kuasa. Intinya harus tetap sabar, kuat dan tabah. Karena, hidup udah ada yang mengatur.

Rabu, 21 Desember 2016

7200 Hours

7200 Minutes

Trivial Story By. Rendi Febrian


Entah kenapa ketika aku duduk diantara Luk dan Evan malam ini, aku benar-benar merasa sendiri. Benar-benar merasa kesepian. Seperti tak ada satu orangpun yang berdiri di belakang hatiku. Aku makin merasa sendiri ketika aku melihat cara Luk menatap Evan. Dan juga sebaliknya. Di mata mereka, terdapat sesuatu yang sangat kuketahui artinya. Cinta.
Tentu saja itu cinta! Bayangkan saja, mereka berdua saling menunggu dan mencoba saling menemukan selama setahun lamanya. Menanti apakah suatu saat nanti hati mereka masih akan mempunyai perasaan yang sama. Dan… lihat mereka sekarang! Ternyata perasaan yang mereka punya masih sama. Aku saja bingung bagaimana kedua makhluk—eh, manusia—itu masih mempunyai hati yang sama-sama kokohnya untuk menyimpan cinta. I mean, di luar sana banyak makhluk—manusia maksudku—yang bisa mereka cintai. Tetapi tidak! Mereka saling menunggu. Dan sekarang… mereka sudah bisa menikmati hasil tungguan mereka.
“Sorry gue telat!” seru seseorang dari sebelah kananku. Wangi parfum maskulin andalannya menyeruak masuk ke dalam hidungku. “Kalian udah mesen makanan blom?” tanyanya ketika dia sudah duduk. Lalu tangannya yang panjang terulur mengambil menu.
“Blom Dev,” jawabku dengan desisan kesal. “Kita masih nungguin lo. Lo darimana aja sih?”
Dev menurunkan menu yang sedang dibacanya ke depan dadanya yang naik turun. “Tadi lagi ngurusin masalah. Yang menurut gue harus dituntasin malem ini. Dan ternyata ngurusin masalah ini cukup ruwet juga. Makanya makan waktu yang lama.”
Luk menatapku alih-alih menatap Dev. “Bas,” ujarnya pelan menyebut namaku, “lo yakin nggak kalo masalah yang kunyuk satu ini punya menyangkut tentang cowok.”
“Pastinya,” seruku dramatis. “Emangnya masalah apalagi yang bakalan nimpa dia kalo bukan menyangkut tentang cowok. Dan gue penasaran inti permasalahannya dengan cowok ini apaan?” Aku menengok cepat ke arah Dev yang mengernyit tidak senang. Dia memang tidak terlalu suka membicarakan cowok-cowok yang didekatinya. Inipun kalau beneran cowok yang dia dekati. Bisa jadi ini hanya cowok one night stand-nya lagi.
Dev yang menjadi pusat perhatianku, Luk dan Evan hanya membuang muka ke dalam menu. Matanya yang hitam cerah menelusuri tulisan yang ada di dalam menu itu dengan tidak fokus. Salah satu kelemahan Dev adalah ditatap sebegitu intensnya. Apalagi kalau sudah Luk yang menatapnya. Aku saja tidak akan tahan kalau ditatap oleh Luk. Matanya itu begitu tajam dan penuh ke-ingin tahuan yang kuat. Membuat bulu kuduk-ku meremang dengan sempurna.
“Oke-oke!” seru Dev kemudian. Menatapku dan Luk secara bergantian. “Kalian berdua bisa nggak stop ngeliatin gue! Risih tau nggak!” Dev melipat tangannya di dadanya. Kalau dia sudah bertingkah seperti ini, tandanya dia akan siap-siap menceritakan masalahnya. Walaupun dia akan diam beberapa menit sebelum membuka suara.
“Kalo lo nggak mau cerita, nggak apa-apa kok.” aku menengok cepat ke arah Evan yang sedang tersenyum lebar ke arah Dev. Wajahnya yang menurutku sangat-sangat berwibawa tidak pernah meninggalkan yang namanya senyuman. Ketika pertama kali Luk mengenalkan Evan kepadaku dan Dev, kami sempat mengira Evan ini adik kandung Luk. Wajah mereka berdua hampir mirip. Yah, itu sih menurutku dan Dev.
“Mereka berdua bakalan tetep nyuruh gue cerita kok Van,” tutur Dev sambil melirik ke arahku dan Luk dengan sengit. “Lagian, mereka berdua memang selalu pengen tau urusan yang gue punya.”
“Ya iyalah kita pengen tau. Kan kayak lo bilang. Urusan lo, urusan gue juga. Kita kan sahabat.” aku mengulang cepat kata-kata yang pernah Dev lontarkan padaku dulu.
“Bentar deh,” seru Dev jengkel. “Kayaknya dulu gue bilang bukan kayak gitu. Tapi kayak gini; masalah lo, masalah gue juga. Bukan urusan lo, urusan gue juga. Dasar tukang memputar balikan fakta!”
Aku mengibaskan tanganku di depan wajah Dev yang penuh dengan kesinisan. “Sama aja kali! Walopun itu misalnya memang beda, lo harus terbuka sama gue dan Luk. Kan kayak yang lo bilang. Kita harus terbuka satu sama lain. Dan selama ini, gue dan Luk selalu terbuka sama lo.”
Wajah Dev mengerut jelek. Ketampanan yang dia punya langsung memudar seketika itu juga. “Ugh!” dengusnya gusar. “Kalian berdua itu ya, memang paling bisa yang namanya nyudutin orang lain. Seharusnya kalian berdua nerima piala Oscar atas kebolehan kalian ini.”
Luk memutar bola matanya. “Nggak usah banyak bla bla bla deh. Langsung aja ceritain apa yang buat lo telat dateng ke sini!”
“Oke!” seru Dev makin gusar. “Ini masalah gue sama si Velix. Ingetkan cowok yang turunan Arab itu?” tanya Dev ke arahku dan Luk. Dengan cepat aku dan Luk mengangguk mengiyakan. “Gue mutusin dia tadi. Terus dia nggak terima gue putusin. Dan drama ala sinetron-pun dimulai. Dia belagak banting-banting barang sama ngancem bakalan bunuh diri kalo gue ninggalin dia. Such a pity stupid gay guy. Tentu aja gue ninggalin dia. Emang dia pikir gue peduli gitu dia mau bunuh diri apa kagak.”
Luk dan aku saling berpandangan. Si Velix ini memang benar-benar kelihatan sangat mencintai Dev. Semua yang Dev mau langsung dikasih sama Velix. Bahkan hidup Dev yang terbilang mewah, makin mewah ketika dia berhubungan dengan si Velix ini. “Emang lo mutusin dia gara-gara apa?” tanyaku cepat.
“Gue bosen,” ujar Dev singkat sambil melirik-ku dengan lirikan absolut tak terbantahkan.
“Lo bosen??” seruku dengan nada tidak percaya. “Bukannya lo sama Velix ini baru pacaran selama dua minggu ya? Kok bisa sih Dev?”
“Sebenernya dua minggu satu hari.” Dev memberitahuku “Alasan lain juga ada sih sebenernya. Tapi kayaknya kalian nggak mau denger deh sekarang. Ntar aja pas kita udah keluar dari restoran ini. Ato pas kita udah nggak deket-deket sama makanan.”
“Gue paling nggak suka dibuat penasaran! Lo tau itu kan!” kataku mengingatkannya. Lagian memangnya se-mengerikan apa sih alasan lainnya yang Dev punya itu. Terkadang Dev memang suka melebih-lebihkan sesuatu. Terkadang sifatnya yang satu itu memang sangat mengganggu.
Dev melirik ke arah Luk dan Evan. Memperingatkan mereka juga apakah mau mendengar apa yang akan dia katakan. Untung saja jawaban yang Luk dan Evan berikan sangat memuaskan. Mereka mengangkat pundak mereka secara bersamaan. Menyuruh Dev untuk menceritakan alasan lain dia memutuskan hubungannya dengan Velix. “Kalian lho ya yang nyuruh gue buat buka mulut. Jadi gue nggak bakalan tanggung jawab kalo kalian nggak nafsu makan!” Dev menatap kami dengan tatapan menantang. Bibirnya sedikit terbuka ketika memberitahu kami, “Alesan lainnya itu karna gue nggak suka sama bulu kemaluannya.”
Wajahku langsung mengerut bingung. I mean, Dev sebenarnya membicarakan tentang apaan sih. Bulu kemaluan apaan. “Gue nggak ngerti deh,” kataku sambil mengalihkan tatapanku ke Luk dan Evan. Raut wajah mereka juga sama tak mengertinya sepertiku. “Coba lo jelasin secara spesifik apa maksud lo tentang bulu kemaluannya!”
Dev mendengus keras. Kedua tangannya menopang dagu. “Ick,” dia berdecak pelan, “Maksud gue itu, si Velix ini bulu kemaluannya banyak banget. Pas pertama kali gue ngeliat tuh bulu kemaluannya dia, gawd! Gue hampir aja mau gantung diri tuh di bulu-bulunya dia. Kalian bayangin aja, bulu kemaluannya dia itu udah kayak hutan. Lebat banget deh! Ihhh… serem!” Dev menggoyang-goyangkan badanya dengan sok bersikap jijik.
Mulutku ternganga tidak percaya. “Lo putusin dia karna bulu kemaluan dia yang lebat?”
“Please Bas! Nggak usah pakek nada suara kaget gitu napa!” Dev menatapku dengan mata disipitkan. “Lagian lo enak bilang kayak gini sekarang. Kan bukan lo yang ngejalanin hubungan sama dia. Tapi gue. Coba aja lo liat sendiri bulu kemaluannya dia. Pasti lo bakalan ngerasa kayak Papa Zingga deh.”
“Papa Zingga?” Siapa lagi nih orang.
Mata Dev yang hitam menatapku lagi. “Iya. Papa Zingga. Itu lho, ketua suku yang jaga hutan Amazon.” Dev mendeskripsikan dengan sangat baik. “Jadi, selama gue pacaran sama nih orang, gue selalu ngerasa kayak Papa Zingga yang harus berhadapan dengan hutan Amazon versi bulu kemaluan. Tapi masih mendingan hutan Amazon, ular Phyton yang ada di hutan itu nggak ganas-ganas amat. Nah, sedangkan ular Phytonnya si Velix ini ganas banget. Pokoknya ya, lo bener-bener tersiksa deh. Suer!”
Suara tawa Luk dan Evan terdengar ke telingaku. Hanya aku saja yang merasa tidak ngeh dengan cerita yang dibicarakan oleh Dev. Maksudku, aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di dalam otak Dev. “Gue bingung tau nggak sama lo Dev” aku menunjuk Dev dengan tangan yang sedikit agak bergetar kesal. “Lo kok suka banget putusin cowok-cowok lo karna mereka nggak sempurna di atas ranjang. Maksud gue, seharusnya lo cintai mereka apa adanya, bukan karena lo suka apa nggaknya sama tekhnik nge-sex mereka. Ato anatomi tubuh mereka.”
“Bas, listen…” ujar Dev pelan-pelan. “Gue udah nyoba buat cinta sama mereka. Tapi hasilnya gue nggak pernah bisa ngelakuin hal itu.”
“Karna lo nggak pernah berusaha Dev!” seruku naik pitam. Aku juga tidak tahu kenapa aku malah marah-marah sekarang. “Lo selalu mutusin mereka dengan apa yang selalu jadi kekurangan mereka. Lo nggak pernah lihat kelebihan mereka. Lo selalu aja nge-hina mereka karna hal-hal nggak masuk akal. Kayak… tititnya kecil-lah. Goyangannya di atas ranjang nggak serulah. Badannya bau-lah. Ciumannya nggak hot-lah. Semuanya pokoknya. Apakah di hidup lo kalo lo ngejalanin hubungan harus selalu beriringan sama sex huh?”
Dev menatapku dengan tatapan terpana. Mungkin baru mendengar nada suaraku yang seperti ini. Luk dan Evan yang duduk di depanku juga sama terkejutnya. “Selama ini lo nggak pernah protes dengan apa yang gue lakuin Bas.” tutur Dev kemudian setelah kagetnya menghilang.
“Itu dulu Dev. Sekarang gue bosen ngeliat lo betingkah kayak pelacur laki-laki yang kayak sekarang lo lakuin ini! So, stop it!”
Aku bisa merasakan Luk dan Evan menegang di kursi mereka. Mataku dan mata Dev bertemu dengan sengit. Tatapan Dev yang kosong sangat menjengkelkanku. “Bas, lo mendingan diem deh sekarang.” perintah Luk dengan nada teguhnya.
“Gue nggak mau Luk!” aku mengalihkan tatapanku ke Luk. “Apa lo seneng ngeliat sahabat lo jadi kayak gini!? Suka ngancurin hidupnya sendiri dengan cara gonta-ganti pasangan. Kalo gue Luk, gue nggak seneng dan gue mau dia berubah!”
“Tapi omongan lo kasar Bas!” seru Luk menggertak.
“Masalahnya Luk, kalo orang satu ini nggak dikasaih omongan kayak gitu, dia nggak akan pernah bangun dari hidupnya yang berantakan ini!”
Aku mengalihkan tatapanku ke Dev. Mulutnya terkuak menjadi sebuah senyuman mengejek. “Pelacur laki-laki, hah?” serunya dengan nada antara geli, sedih dan marah. “Lo tau nggak, pelacur laki-laki habis di fuck, dia bakalan dibayar. Sedangkan gue nggak. Dan gue selalu nge-gunain perasaan gue untuk mikir dulu sebelum bener-bener ngelakuinnya. Jadi apa gue masih kayak pelacur laki-laki sekarang?”
Suara Dev yang menantang membuat darahku naik ke atas kepala. “Yah, mungkin udah nggak lagi Dev. Lo bukan pelacur laki-laki lagi sekarang.” Aku menatap wajah Dev lekat-lekat. “Tapi lo orang yang ngebuat kaum gay jadi sekumpulan manusia yang haus sex. Orang yang kayak lo-lah yang nge-buat reputasi para gay dipandang sebelah mata.”
“Bas!” bentak Luk keras. Tangannya menggebrak meja dengan kasar. Evan yang duduk di sebelah Luk mencoba untuk menenangkannya. “Stop kalian berdua! Omongan kayak gini nggak pantes kita bicarain sekarang!”
Aku mendengus dan membuang muka. Untuk beberapa menit kemudian, aku mendengar suara tawa Dev yang seperti biasanya. Sekarang apa lagi yang lucu menurutnya? “Gue ngerti kalo lo peduli banget sama gue Bas,” ujar Dev masih dalam tawanya. “Tapi tenang aja. Gue bisa jaga diri kok. Dan tenang aja, gue bakalan hati-hati buat nggak ngejatuhin harga diri para gay yang ada di luar sana, atopun yang ada di meja ini sekarang. Gue masih punya otak kok buat digunain.”
Tatapanku beralih lagi ke Dev. Wajahnya yang benar-benar tampan menampilkan sebuah senyuman. “Gue cuman khawatir aja kalo lo ntar kena penyakit kelamin Dev.” Mungkin itu benar. Aku tidak mau melihat salah satu sahabat yang paling kucintai menderita sebuah penyakit yang sampai sekarang obatnya belum ditemukan. “Lo suka banget gonta-ganti pasangan. Dan lo wajib nge-sex sama mereka. Hal itu bener-bener buat gue kalut tau nggak? Gue nggak mau kehilangan sahabat gue.”
Dev menatapku dengan senyuman yang makin melebar. “Tenang aja Bas, gue selalu main aman kok.”
“Main aman dengan apaan?” hardik-ku
“Kondom apa kabar tuh!?” serunya dengan tawa yang membahana. Dan entah kenapa, aku, Luk, Evan dan Dev larut dalam tawa kami masing-masing. Yang semula terjadi perdebatan sengit di atas meja ini, sekarang sudah mencair dengan tawa yang kami buat. Aku tidak tahu kenapa aku sangat suka marah-marah akhir-akhir ini. Memang sudah dua bulan ini aku belum check up ke Dokter pribadiku. Well, malam ini aku akan pergi menemuinya kalau begitu.
“Tapi, please pertimbangin apa yang gue omongin tadi,” kataku ke arah Dev. “Berhenti gonta-ganti pasangan Dev. Cari orang yang bisa lo cintai dan dia bisa cintai lo. Kayak dua orang yang ada di depan kita ini.” Aku menunjuk Luk dan Evan dengan daguku yang lancip.
“Sebenernya Bas,” Dev berujar pelan, “gue selalu nyari pasangan yang memang cocok buat gue. Tapi nggak pernah ketemu. Mungkin karna mereka memang bukan jodoh gue. Tapi suatu saat nanti gue yakin kok jodoh gue bakalan dateng. Mungkin sekarang jodoh gue lagi kejebak macet ato lagi eek dan tai-nya nggak bisa keluar. Makanya dia telat nemuin gue.”
Aku tersenyum lebar. Luk dan Evan tertawa kecil didepanku. “Kalo gitu sama kayak jodoh gue. Tapi, siapapun jodoh gue kelak, dia harus tau kalo gue cinta sama dia.”
Lalu kami berempat kembali dalam tawa yang membahana. Entah kenapa, perasaan sendiri yang tadi kurasakan kini sirna sudah. Selama masih ada sahabat-sahabat yang baik dan cerewet seperti mereka, aku tidak akan pernah meminta lebih dari Tuhan. Aku sudah diberikan hadiah paling indah yang pernah kudapatkan di hidupku, yaitu mempunyai sahabat yang sangat pengertian dan bisa membimbingku dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Guys, sebenernya gue kumpulin kalian di sini karna gue mau ngasih tau sesuatu,” ujar Luk setelah tawanya berhenti. Matanya yang tajam menelusuriku dan Dev secara bergantian. Mulutnya yang terbingkai senyuman berkedut senang.
“Gue boleh nebak nggak?” sahut Dev cepat. Luk mengangguk tanda membolehkan. “Pasti lo mau ngasih tau gue dan Bas kalo Evan hamil-kan?”
Tawa renyah langsung keluar dari mulutku. Luk dan Evan menatap Dev tajam. Yang di tatap hanya meringis dan membuat tangannya menjadi angka dua sebagai tanda damai. “Bukan lah!” sembur Luk dengan nada geli. “Ini tentang gue yang diangkat jadi kepala staff di Blue Bird Group.”
Tawaku dan tawa Dev tercekat seketika itu juga. “Lo diangkat jadi kepala staff?” Luk mengangguk-angguk antusias. Dev yang duduk di sebelahku bergoyang-goyang senang di kursinya. “Lo nggak bakalan jadi tukang taksi lagi berarti?” Luk kembali mengangguk. Lalu semuanya terjadi begitu saja. Kami bertiga langsung berteriak senang mendengar berita ini. Berarti salah satu sahabatku akhirnya mempunyai hidup yang lebih baik sekarang. “Gue ikut seneng buat lo Luk.”
Saat tangan kami bertiga terpaut menjadi satu, aku tahu. Inilah rumahku yang sebenarnya. Inilah hidupku yang sesungguhnya. Tanpa mereka berdua, aku bukanlah orang yang berguna. Ketika aku dengan mereka pertama kali bertemu dulu, aku sadar kalau itu adalah hari yang paling membuatku beruntung di hidupku. Walaupun kadang kami berdebat karena hal-hal yang tidak masuk akal, tapi kami bertiga yakin kalau kami tidak akan bisa hidup tanpa persahabatan ini, tanpa persahabatan yang kami bangun dari nol sampai sekarang. Bahkan aku tidak akan pernah bisa membayangkan hidupku tanpa mereka. Karena aku tahu hidupku tidak akan pernah sebahagia ini tanpa mereka di dalamnya.
***
Dari dulu aku paling tidak suka dengan yang namanya suasana di Rumah Sakit. Bau obat-obatan yang menyeruak di udara. Bau darah yang entah darimana datangnya. Baju-baju berwarna putih Perawat atau Dokter yang mengingatkanku dengan kain kafan Ayahku. Wajah cemas manusia-manusia yang menunggu di depan pintu UGD. Ataupun suasana ribut yang membuat polusi suara di sekitarku. Entahlah. Atau hanya aku yang selalu merasa begitu kalau di Rumah Sakit. Jantungku selalu berdegup kencang tak beraturan. Aku benar-benar ingin segera pulang dan tidur di kamarku yang nyaman.
“Bastian Hasiholan,” panggil seseorang. Aku mengangkat kepalaku dan melihat asisten dokter pribadiku meneleng-nelengkan kepalanya untuk mencariku. Aku cepat-cepat mengangkat tanganku dan berjalan cepat menuju ke ruangan dokter pribadiku.
Ruangan dokter pribadiku masih terlihat sama seperti terakhir kali aku mengunjunginya. Wangi pengharum ruangan beraroma Lilac menyebar di udara dengan begitu sempurna. Karpet merah terang yang terpasang di bawah meja kerjanya masih terlihat sama suramnya seperti waktu itu. Cahaya lampu berwana putih yang menerangi ruangan ini juga masih sangat menyilaukan mataku. Ditambah dengan wangi cairan pembersih lantai yang menusuk hidungku. Aku tidak tahu kenapa dokter pribadiku sangat tahan di dalam ruangannya ini.
“Nak Bastian Hasiholan, silahkan duduk!” perintah dokter pribadiku itu dengan suara khasnya. Nama dokter pribadiku adalah dr. Diatmika. Pertama kali aku bertemu dengannya adalah ketika dia mengurusi Ayahku. Lalu tak berapa lama setelah Ayahku meninggal dunia, aku mulai dekat dengan dokter ini. Bukan dekat dalam artian yang aneh. Walaupun sebenarnya dia masih muda. Kalau tidak salah umurnya sekarang masih tiga puluh satu tahun. Tetapi tunggu! Itu masih tergolong muda apa tidak ya?
Dengan gerakan hati-hati aku menduduki kursi berlengan yang ada di depan meja kerjanya. Jam weker yang entah untuk apa dia taruh di atas mejanya itu berbunyi dengan nada mengganggu, membuat jantungku makin berdegup tidak beraturan. Apalagi ketika dr. Diatmika menatap wajahku dengan alis yang terpaut tinggi. Lalu matanya yang berbingkai kacamata itu berpindah dariku ke komputernya. Matanya menelusuri layar komputer dengan gerakan lambat-laun. Ia memahami sesuatu yang ada didalam layar komputernya itu.
“Dari hasil foto rontgen yang barusan nak Bastian lakukan tadi, saya bisa menyimpulkan bahwa kanker tulang yang nak Bastian derita sudah mulai menjalari bagian tulang rawan dan tulang muda nak Bastian.” Mata dr. Diatmika masih terus menatap layar komputer. “Penyempitan di antara sumsum tulang punggung dan di daerah yang ada di sekitarnya juga sudah terbentuk. Penggumpalan darah di saraf tulang nak Bastian juga sudah mulai memburuk.” Kali ini mata dr. Diatmika menatapku. “Kalau bisa saya asumsikan, kanker tulang nak Bastian sudah berada di level 5.”
Nafasku langsung tercekat ketika mendengar berita menyeramkan itu. “Bukannya kemarin saya masih di level 1 ya dok? Kenapa sekarang saya sudah berada di level 5? Padahal saya sudah meminum semua obat yang dokter sarankan waktu itu.”
“Obat-obatan hanya untuk menahan penjalaran berlebih dari kanker itu sendiri. Level nak Bastian bisa naik se-drastis ini karena ada kesalahan dari susunan saraf yang ingin membentuk pertahanan di daerah tulang tersebut. Ini juga bisa disebabkan karena kesalahan waktu nak Bastian berbaring atau tidur. Tulang-tulang itu mungkin menekuk dan membuat saraf yang ada disekitarnya menyempit atau tersumbat.”
Aku mendesah dengan susah payah. Mataku masih melotot saking kagetnya. “Tetapi saya tidak pernah merasakan ada sakit yang menjalari tulang punggung saya kok dok.”
“Kanker tulang yang ada derita dinamakan Ewing Sarkoma. Kanker yang sama persis seperti yang di derita oleh Ayah nak Bastian. Gejalanya memang bukan seperti kanker-kanker lainnya, tetapi gejalanya seperti: cepat haus, cepat lelah, mata suka tidak fokus, serta emosi yang tidak stabil. Terkadang juga membuat nak Bastian cepat marah akan sesuatu.”
Mungkin inilah alasanku sangat mudah marah dari seminggu yang lalu. Penyakit kanker tulang sialan yang menghinggapiku ini sudah membuatku menjadi manusia dengan tingkatan emosi paling tinggi. Sekarang-pun aku sangat marah dengan dr. Diatmika karena hanya memberikan aku obat untuk menahan penjalaran kanker tulang yang kudapati dari mutasi gen Ayah. Kenapa dr. Diatmika tidak memberikan aku obat penyembuhnya saja?
“Saya tau saat ini nak Bastian pasti sedang marah dengan saya,” pintar juga dokter satu ini. “Tetapi itu tidak akan mengubah apapun.” Dokter itu berdiri dari kursinya dan berjalan mengambil sesuatu yang ada di dalam rak tinggi yang bertengger di belakang badannya. Tak sampai tiga puluh detik, dia sudah kembali lagi ke kursinya dengan sebuah map berwarna merah di tangannya. Dengan gerakan luwes, dia membuka map itu dan membacanya sebentar. “Ini adalah hasil pemeriksaan yang saya lakukan terhadap Ayah nak Bastian dulu.” Dia memperlihatkanku foto tulang hitam-putih yang bentuknya sangat tidak biasa. “Dan ini foto pemeriksaan yang nak Bastian lakukan tadi.” Mataku berpindah ke layar komputer si dokter. Dan di foto itu, bentuk tulangku sangat mirip seperti tulang Ayahku. Itu tandanya aku juga akan mati sebentar lagi.
Bukan berarti aku mau mati, tetapi melihat kondisi Ayahku dulu yang begitu tersiksa dan mencoba kuat di depanku dan di depan Mama, membuatku sangat yakin kalau dia akan pergi meninggalkanku. Dan benar saja, ayah meninggal sehari setelah ulang tahunku yang ke-16. Kado paling buruk yang pernah kudapatkan dari Ayahku. Ditambah ketika aku berumur ke-19 tahun, aku didiagnosa oleh dokter Diatmika kalau aku juga terkena penyakit kanker tulang sialan ini. Kanker ini bisa menyerangku karena mutasi gen yang diberikan oleh Ayah di dalam tubuhku. Dan sekarang aku akan mati. Aku saja masih bingung dengan apa artinya kata itu. Kata mati. Apakah aku akan baik-baik saja setelah aku mati nanti? Entahlah. Hanya saja sekarang aku tidak memikirkan hal itu. Tetapi memikirkan perasaan kedua sahabatku.
“Nak Bastian” aku tersentak kaget saat mendengar panggilan keras dari dr. Diatmika. “Nak Bastian dengar apa yang saya katakan tadi?” Matanya menelusuri mimik wajahku yang saat ini, aku sangat yakin sedang meringis ketakutan. Siapa yang tidak takut mati? Walaupun semua manusia akhirnya mati, aku tidak mau mati dengan cara ini.
“Maaf dok,” aku merubah cepat mimik wajahku menjadi datar. Mencoba tenang. “Dokter bilang apa tadi?”
Dr. Diatmika menutup map merah yang ada di depan badannya. Lalu menatapku dengan tatapan serius yang menusuk mata. “Mulai besok nak Bastian sudah harus ikut kemoterapi dan beberapa metode penyembuhan lainnya. Mungkin nak Bastian akan dikemoterapi selama lima hari. Lalu di hari ke-enam nak Bastian akan melakukan operasi pengangkatan kanker tulang yang nak Bastian derita. Mau tidak mau, nak Bastian harus melakukan saran yang saya berikan ini.”
“Lalu apakah saya akan sembuh dok?” tanyaku agak sarkastis. “Apakah akan ada gunanya saya ikut kemoterapi dan metode penyembuhan yang dokter sarankan ini? Dan apabila saya di operasi nanti, apakah akan berhasil dok?” Rentetan pertanyaan itu di-iringi dengan nada kemarahanku. Astaga! Seharusnya aku lebih bisa mengendalikan emosiku. Aku benar-benar seperti pasien kanker tulang sungguhan sekarang.
“Kemoterapi dan metode penyembuhan yang akan nak Bastian lakukan nanti adalah untuk menstabilkan tubuh nak Bastian sebelum dioperasi. Apabila nak Bastian mengikuti kemoterapi ini, saya yakin kalau operasi nak Bastian akan berhasil.” dr. Diatmika memberitahuku dengan nada bersabar seorang dokter.
Sekarang aku benar-benar merasa seperti orang brengsek jika terus-terusan marah. Aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. “Sekitar berapa persen operasi yang akan saya lakukan nanti berhasil dok?”
“Jika nak Bastian tidak ikut kemoterapi dan tidak melakukan operasi, saya akan memberitahu nak Bastian kalau hidup nak Bastian sekitar dua minggu lagi.” Jantungku rasanya berhenti sebentar ketika mendengar berita ini. “Jika nak Bastian tidak ikut kemoterapi dan langsung melakukan operasi, tingkatan berhasilnya hanya 20%.” Jantungku makin mencelos mendengar berita ini. “Tapi jika nak Bastian mengikuti kemoterapi dan melakukan operasi sesuai dengan prosedur, tingkatan keberhasilnya berkisar 45%.” Dan sekarang jantungku benar-benar berhenti.
45%. Apa yang ada dipikiran dokter satu ini? Itu tetap saja angka yang rendah untuk bisa selamat dari kanker ini. Rasa marahku naik kembali ke kepala. “Dokter bego ato gimana sih!?” seruku sambil memukul mejanya. Membuat beberapa pulpennya melayang ke udara. “45% adalah angka yang kecil untuk selamat dok! Bagaimana mungkin saya bisa selamat jika hanya memperoleh tingkatan keberhasilan sebesar itu!”
“Masalahnya nak Bastian, kanker tulang yang sudah menyerang tubuh nak Bastian ini adalah kanker stadium akhir, makanya tingkatan keberhasilannya hanya setinggi itu. Tetapi saya percaya dan yakin kalau nak Bastian akan selamat dari ini,” suara dokter itu mencoba menenangkanku. “Besok nak Bastian datang saja ke ruangan kemoterapi yang ada di lantai 3 di rumah sakit ini. Segala sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkan nak Bastian dari penyakit ini, mungkin harus nak Bastian lakukan. Saya yakin nak Bastian akan sembuh.”
Setelah aku mendengar dokter itu berkata dengan nada tenang dan datarnya, aku mengangguk cepat untuk segera berpamitan pulang. Aku berdiri dengan lekas, sampai-sampai kursi yang kududuki tadi hampir terjungkal jatuh. Dengan gerakan buru-buru, aku berjalan ke arah pintu dan membuka grendelnya dengan perasaan getir. Lalu ketika aku berbalik untuk mengangguk sekali lagi ke dokter pribadiku itu, aku menangkap raut wajah cemasnya, yang akhirnya membawaku ke perkiraan: aku tetap saja akan mati. Ya! Aku akan mati.
***
1440 Minutes (Day 1)
Aku mempercepat langkahku ketika aku sudah keluar dari lift. Mencari ruangan dimana aku harus menaruh barang-barangku. Ya. Aku memutuskan untuk ikut kemoterapi ini dan tinggal di salah satu ruangan perawatan kanker. Agar hidupku lebih terjamin… Itu sih kata dr. Diatmika. Dan, yah, setelah melihat wajah cemasnya kemarin malam, aku sudah memutuskan untuk mengikuti saja semua yang dokter pribadiku itu perintahkan. Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan? Tidak ada.
Mataku menelusuri setiap ruangan yang ada di lorong ini. Bentuk kamarnya yang terlihat suram mengingatkanku dengan bentuk kamar Ayahku setelah dia meninggal. Apalagi dengan pintu-pintu besi yang terlihat seperti pintu-pintu untuk orang yang sakit jiwa. Apakah aku sakit jiwa? Gawd! Tidak. Aku hanya manusia dengan penyakit kanker tulang yang sudah berada di stadium akhir. Dan hidupku akan berakhir selama enam hari lagi.
“Lagi cari kamar nomor berapa?” tanya sesorang di belakangku, membuatku terlonjak kaget. Aku paling tidak bisa dibuat kaget seperti tadi. Membuatku tidak bisa bernafas dengan baik.
Aku membalikan badanku dengan gerakan perlahan. Ketika badanku sudah benar-benar berhadapan dengan orang itu, barulah aku bisa menelitinya dengan jelas. Cowok yang sedang menatapku ini menggunakan baju funky yang agak kebesaran untuk ukurannya. Suara musik yang sedang dia dengarkan melalui headseat terdengar sampai telingaku. Kepalanya ditutupi semacam topi wol untuk musim dingin. Tangannya yang terlihat kokoh ditaruhnya di dalam saku celananya. Matanya yang cokelat bening menatapku dengan tatapan… sayu. Dan aku tidak tahu kenapa, aku sangat suka melihat matanya itu.
“Hallooo!” panggilnya dengan suara alto yang panjang. “Gue lagi ngomong sama lo.”
Dengan gerakan malu-malu aku mengerjapkan mataku. Aku membuat sebuah senyuman simpul di bibirku. “Kamar nomor 13.” Lihat! Nomor kamarku saja sudah angka sial. 13. Gawd! Daridulu aku paling benci yang namanya angka 13. Walaupun aku juga tidak tahu kenapa aku membenci angka itu.
Cowok itu—yang mungkin seumuran denganku—mengangkat tangannya dan menunjuk ke belakang tubuhku. “Dari sini lo lurus sedikit terus lo belok ke kanan. Kamar nomor 13 pas di ujung lorong itu.” Dia menurunkan tangannya dan tersenyum.
Aku membalas senyumannya dan mengucapkan terima kasih secara instan, yang dijawab olehnya hanya dengan anggukan. Ketika dia membalikan badannya, entah kenapa mataku terus-terusan ingin melihat punggungnya yang mulai menjauh. Seakan-akan ada magnet di punggungnya yang membuat mataku hanya fokus di sana. Seakan-akan dialah poros dari mataku. Atau yang sebenarnya, seluruh dirinya itulah yang menjadi poros untuk diriku. Entahlah!
Kamar nomor 13 yang akan menjadi tempatku untuk tinggal selama lima hari ke depan nanti, bentuknya benar-benar sangat suram. Lebih suram daripada kamar yang lain. Bulu kuduk-ku langsung meremang cepat. Bahkan ketika aku membuka grendel pintu itu, bunyi decitannya sangat-sangat seram. Mirip suara yang ada di film-film horor. Ditambah ketika pintu itu sudah terbuka lebar dan tiba-tiba menampilkan sebuah sosok dalam balutan kain berwarna putih. Aku hampir saja berteriak, tetapi urung ketika tahu sosok itu hanyalah dokter pribadiku. Dr. Diatmika sialan.
“Nak Bastian,” serunya riang. “Saya kira nak Bastian tidak akan datang.” Aku berjalan cepat mengitarinya dan menaruh tasku yang berisi baju dan peralatan lainnya di dalam lemari yang ada di kamar itu. Untung saja kamar ini tidak jelek. Ada satu buah TV 14 Inch dan satu buah kulkas. Serta ranjang yang menurutku agak mewah.
“Tentu aja saya dateng dok,” kataku sembari duduk di atas ranjang. “Saya-kan mau sembuh.” Kayak itu mungkin saja. Terkadang aku juga ragu apakah aku akan sembuh dari penyakit kanker tulang anjrit ini apa tidak. Walaupun aku mencoba untuk optimis, tetapi aku selalu merasa ada malaikat pencabut nyawa yang sedang berdiri di belakangku. Menungguku untuk menghembuskan nafas terakhir.
“Saya suka sifat optimis nak Bastian,” dr. Diatmika berjalan pelan menuju ke arah TV 14 Inch yang bertengger di dekat jendela. Ketika tangannya menggapai sesuatu, aku baru sadar kalau meja yang menopang TV itu adalah sebuah lemari. “Nah, ini baju yang nak Bastian harus gunakan untuk kemoterapi.”
Dr. Diatmika mengangkat baju khusus pasien yang bentuknya sangat besar. Apakah aku harus menggunakan baju itu nanti? Astaga! Aku benar-benar mirip seperti orang penyakitan sekarang. “Oke dok,” aku meraih baju itu. “Kapan saya bisa kemoterapi?”
“Dua puluh menit lagi.” Dokter Diatmika berjalan pelan menuju ke pintu. “Saya akan menunggu nak Bastian diluar. Kalau nak Bastian sudah selesai menggunakan baju itu, kita berdua akan pergi ke ruangan kemoterapinya.”
Jawaban yang kuberikan hanya sebuah anggukan, sebelum dia pergi meninggalkanku sendirian di ruangan menyeramkan ini.
30 Minutes
Ruangan kemoterapi yang kumasuki ini baunya sangat-sangat bau obat. Ditambah banyak perawat dan dokter yang berdiri di setiap pasien. Bahkan semua pasien-pasien itu terlihat sangat kelelahan. Apalagi dengan kepala mereka yang polos. Atau yang biasa kusebut botak. Apakah aku juga akan botak nanti? Sepertinya begitu. Semua orang yang terkena penyakit kanker, apalagi sudah stadium akhir, kepalanya pasti akan botak. Bagus! Berarti rambutku dalam waktu dekat ini akan rontok. Lalu aku akan botak.
“Ayo nak Bastian,” ajak dokter Diatmika pelan. Aku mengikuti langkahnya yang panjang dari belakang tubuhnya yang lebar. Tak berapa lama kemudian, kami berhenti di sebuah arena yang sangat mirip tempat orang menari. Apakah dia akan menyuruhku menari? Yikes! “Nah, pertama-tama, gerakan menstabilkan pergelangan sendi kaki dan sendi lengan.” Dr. Diiatmika menaruh buku catatannya di atas meja bundar kecil yang ada di ujung arena ini. Ketika dia kembali, dia mengangkat lengannya sedikit dan menjinjitkan kakinya. Seperti orang yang sedang menari balet. “Begitu gerakannya.” Dia memposisikan dirinya ke semula.
Aku mengernyit seketika. Gerakan membosankan apa itu tadi? Tidak mungkin aku mau melakukannya. “Kita nggak boleh pakek gerakan lain ya dok?” tanyaku kilat. “Maksud saya, kenapa nggak pakek gerakan shuffle aja? Gerakan itu juga bisa membuat sendi kaki dan lengan jadi stabil lho.” Aku tersenyum kecil ke dr. Diatmika yang menatapku agak bingung.
“Shuffle?” ujarnya tidak tahu. Wah, dokter satu ini benar-benar katro.
“Iya, shuffle,” tuturku sambil mengeluarkan BlackBerryku dari dalam kantung pakaian khusus pasien ini yang sangat menyedihkan bentuknya di dalam tuubuhku. “Kayak gini nih,” aku membuka playlist musik-ku lalu mencari lagu Party Rock Anthem-nya LMFAO. Kusetel lagu itu dengan volume keras. Lalu setelah musiknya berganti ke intro, aku langsung meng-shufflekan kakiku dan menggoyang-goyangkan lenganku. “Kayak gini dok,” seruku di sela-sela gerakan shuffle-ku ini. “Oh, yeah baby!” teriakku dengan nada ceria.
Aku bisa melihat senyuman lebar terpampang jelas di wajah dr. Diatmika. Aku juga mendengar beberapa pasien serta perawat dan dokter lainnya cekikikan melihat tingkahku ini. Aku menengok cepat ke arah mereka, dan semua pasien kanker yang ada di ruangan ini mengikuti gayaku. Menikmati musik yang ber-la la la ria dengan gerakan shuffle buatan mereka sendiri. Aku hanya tertawa kecil melihat semua orang-orang ini.
Intro akhirnya berhenti, menyisakan suara-suara nyanyian saja. Dengan berakhirnya intro, aku memberhentikan shuffle-ku. “Gimana dok?” tanyaku ke dr. Diatmika yang masih tersenyum. “Gerakan itu lebih keren-kan?”
“Keren,” katanya sembari mengancungiku jempolnya. “Kalo gitu kita pindah ke arena kedua.” Dr. Diatmika kembali mengajak-ku ke sebuah arena yang terdapat sebuah ranjang panjang tanpa kasur di atasnya. “Di arena ini, saya ingin nak Bastian melakukan gaya Trendelenburg.”
Wajahku kembali mengernyit dengan sempurna. Apa lagi itu gaya Trendelenburg. “Gaya apaan itu dok?” tanyaku sembari menatap ranjang yang bagian atasnya dia turunkan sedikit.
Setelah ranjang itu selesai dia kotak-katik. Barulah dia menatapku. “Memangnya nak Bastian tidak tau apa itu gaya Trendelenburg?”
Rasanya aku ingin berteriak di telinga dr. Diatmika. Selain katro, dia agak oon ternyata. “Nggak dok,” aku menggeleng agak kesal. “Yang saya tau cuman gaya-gaya ini. Kayak gaya 69. Gaya blowjob. Doggy style. Gaya kuda-kudaan. Yah, cuman itu aja dok. Selain itu saya nggak tau gaya apa lagi yang ada di dunia ini.”
Dr. Diatmika tertawa kecil. Bahkan semua orang yang ada di ruangan ini juga ikut tertawa. Memangnya ada yang lucu ya? “Gaya Trendelenburg bukan gaya untuk sex nak Bastian,” beritahu dr. Diatmika. Tapi, siapa juga yang bilang gaya Trendelenburg itu gaya buat sex.
“Trendelenburg itu gaya dimana posisi kaki lebih tinggi daripada kepala.” Suara itu lagi. Aku berbalik cepat dan mendapati cowok itu lagi. Tapi kali ini dia berbeda. Yang semula dia menggunakan baju funky, kini sekarang dia menggunakan baju khusus pasien yang sama sepertiku. Di tangannya terdapat gelang berwarna merah. Selain itu, kepalanya sudah tidak ditutupi topi wol lagi. Kini aku bisa melihat dengan jelas kepalanya yang polos tak berambut.
“Benar. Terima kasih nak Dika.” Namanya Dika. Aku tersenyum ke arahnya dan dia membalas senyumanku. Daridulu aku paling tidak suka melihat orang dengan kepala botak. Mengingatkanku dengan film tuyul ketika aku kecil dulu. Tetapi asumsiku berubah ketika melihat wajah Dika yang begitu—apa ya istilah yang digunakan Dev untuk menjulukiku—oh, iya—unyu. Wajahnya yang putih polos agak pucat memang sangat unyu. Atau imut.
“Sama-sama dok,” lalu dia berbalik dan mulai mengikuti dokter pribadinya. Langkahnya agak sedikit mengengkang ketika berjalan. Kuperhatikan lekat-lekat badannya yang sangat rapuh. Apakah dia pasien kanker juga apa bukan? Bodoh! Tentu saja dia pasien kanker juga. Kalau dia bukan pasien kanker, buat apa dia berada di sini.
Suara dr. Diatmika mengagetkanku. Tanpa meminta persetujuanku dulu, dia sudah membaringkanku di atas ranjang panjang tak berkasur itu. Kepalaku memang lebih rendah daripada kakiku saat aku berbaring di atas ranjang tersebut. Namun, rasanya memang benar-bennar sangat nyaman. Seakan-akan ada yang mengalir ke dalam otak-ku. Tulang punggungku juga terasa sangat ringan dan agak sedikit lebih rileks. Aku tidak tahu kalau gaya ini bisa menimbulkan sensasi sebaik ini.
“Gaya ini buat melancarkan darah ke otak ya dok?” aku bertanya pelan ke dr. Diatmika, yang berdiri tepat di atas kepalaku.
Suara dr. Diatmika agak sedikit kagum ketika menjawab. “Iya. Nak Bastian cepat mengerti ternyata.” Dari suaranya yang kagum itu, aku bisa menyiratkan kalau dia ragu aku bisa menebak apa kegunaan dari gaya ini. Enak saja! Dia kira aku tidak punya otak apa.
450 Minutes
Sekarang seluruh sendiku agak sedikit nyeri dan juga sedikit agak enakan dibawa jalan atau berdiri. Gerakan yang diajarkan oleh dr. Diatmika padaku sangat-sangat aneh. Meskipun ada beberapa gerakan yang masuk akal. Semua pasien kanker yang ada di ruangan ini terlihat sangat lelah dan sangat… tersiksa. Seperti pantulan mata Ayahku waktu itu. Lagipula bagaimana mungkin kami tidak tersiksa. Gerakan yang kadang dianjurkan oleh dokter-dokter dan perawat yang ada disini sangat sulit untuk dilakukan. Apalagi kami harus melakukannya setiap hari. Sebelum kami melakukan operasi yang juga belum tentu bisa menyelamatkan nyawa kami dari penyakit menyebalkan ini.
“Pssstttt,” suara desisan kecil itu memanggilku. “Bastian,” panggilnya ketika aku tidak menggubris desisannya tadi.
Aku mengenal suara itu. Dialah orang yang memberitahuku dimana ruanganku dan apa arti dari gaya Trendelenburg. Dika. Aku memutar kepalaku untuk mencari sosoknya yang tak lebih tinggi dariku. Untuk waktu beberapa menit, barulah aku menemukan dia. Sedang duduk di atas dua kayu penyangga untuk kami latihan berjalan dengan lurus. Dia tersenyum lebar ke arahku ketika aku melihat bola matanya yang terlihat sangat cokelat. Dengan gerakan super lambat, aku berdiri dan berjalan menghampirinya.
Ketika aku sudah berada disampingnya, dia meloncat pelan dari atas dua kayu penyangga yang dia duduki tadi. “Ikut gue yuk!” ajaknya sambil menelengkan kepala. Kuputar cepat kepalaku untuk melihat apakah aman untuk meninggalkan tempat ini. “Kita lagi jam istirahat kok,” ujar Dika memberitahuku. “Kita boleh keluar sampai habis maghrib.”
Dika langsung saja berjalan melewatiku. Dengan gerakan sama cepatnya, aku mengikuti dia yang membimbing jalan di depan. Aku tidak tahu dia akan mengajak-ku kemana. Yang aku tahu, dia membawaku ke tempat dimana ada tangga daruratnya. Lalu menyuruhku untuk menuruni tangga tersebut. Toh, aku juga tidak punya kerjaan lain lagi. Jadi aku menuruti saja apa yang Dika mau. Lagipula setiap kali Dika memperintahkan ini-itu padaku, entah kenapa aku tidak bisa bilang tidak kepadanya.
Perjalanan tak jelas kami berakhir di ujung Rumah Sakit yang sudah tak terpakai lagi. Dika membuka sedikit pintu yang menuju ke halaman belakang. Saat pintu itu sudah terbuka lebar, aku bisa mencium bau apak dari kayu lapuk dan juga bau tanah yang lembap karena tak pernah di-injak manusia. Dika berjalan pelan melewati kayu-kayu lapuk tersebut. Memilih langkah yang jitu untuk menginjak tanah lembap itu. Setelah dia berada di ujung dinding besar yang dirambati oleh tanaman jalar, dia mendorong susuatu di dinding itu. Yang menghasilkan bunyi geseran lempeng batu-bata. Ketika aku baru saja mengerjapkan mataku, barulah aku sadar kalau di dinding itu ada pintu yang terbuat dari batu-bata.
“Ayo!” ajak Dika. Suaranya yang agak parau menggema disekitarku. Saat aku mengalihkan tatapanku ke arahnya, dia sudah hilang dibalik dinding besar tersebut. Dengan langkah yang sedikit agak gontai, aku berjalan cepat untuk menyusulnya.
Pertama kali yang kulihat dari tempat yang ada di hadapanku ini adalah rumput panjang berwarna hijau yang mengelilingi setiap sudut tanah. Barulah kemudian aku mencium wangi bunga-bungaan. Dan baru beberapa menit kemudian aku sadar kalau tempat ini adalah taman bunga yang sangat indah. Di taman ini, terdapat banyak jenis bunga, yang aku saja tidak tahu kalau ada bunga berbentuk aneh-aneh seperti yang ada di depan mataku saat ini.
“Bastian!” panggil Dika pelan. Aku mengalihkan tatapanku dari bunga Poppy yang berwarna merah terang itu ke arah Dika. “Duduk sini!” ajaknya ke kursi panjang yang hanya bisa di-isi oleh dua orang.
Kuhembuskan nafasku sedikit sebelum bergabung dengannya di kursi itu. Wajah Dika yang dipenuhi senyuman membuatku sedikit agak terpana. Saat di ruangan kemoterapi tadi, wajahnya tidak sesumringah ini. “Lo kok keliatan seneng banget?” tanyaku saat aku sudah duduk di sebelahnya.
Wajah Dika yang hanya beberapa puluh sentimeter dariku menampilkan sebuah senyuman. “Cuman tempat ini yang bisa buat gue bahagia. Yang buat gue lupa tentang penyakit kanker yang gue derita. Tempat inilah yang selama ini selalu nemenin gue kalo gue nggak punya temen buat diajak ngobrol. Dan hanya tempat inilah yang buat gue tenang.”
“Oh, ya?” ucapku sembari menatap ujung hidungnya yang mancung. “Memangnya selama ini lo nggak ada temen yang bisa diajak ngobrol?”
“Ada sih sebenernya.” Dika menatap bunga yang berada dibawah kakinya. “Handi. Dia punya yang kanker sama kayak gue. Kalo nggak salah dia seumuran sama lo juga. Tapi Handi orangnya agak pendiem. Makanya lo nggak ngeliat dia tadi.” Dika kembali menatapku. “Lagian, baru tadi itu lho suasana di ruangan kemo bisa jadi semeriah tadi. Lo bener-bener bisa buat pasien-pasien di situ ketawa. Apalagi pas lo nari tadi. Suer deh! Lo kayak orang ayan.” Dika tertawa kecil mendengar ucapannya sendiri. Tawa renyah yang dia keluarkan dari mulutnya membuat bulu kuduk-ku merinding. Namun dalam artian yang baik kali ini.
“Memangnya ruangan itu nggak pernah semeriah tadi ya?” tanyaku setelah Dika memberhentikan tawa renyahnya.
“Belum pernah selama dua bulan gue di sini.” Dika meraba-raba sesuatu dibalik kursi yang sedang kami duduki ini. Setelah beberapa menit kemudian, barulah aku sadar yang ditarik oleh Dika ada sebuah kertas karton berukuran sedang.
Kupandangi lekat-lekat kertas yang Dika pegang dengan tangan gemetar itu. “Kertas apaan tuh?” tanyaku sembari mengambil kertas itu dari tangan Dika. Dia membolehkanku mengambilnya tanpa se-izinnya dulu. Tetapi toh aku memang terkadang suka melakukan tindakan kurang ajar itu. Sudah kebiasaan. Aku harus merubah sifatku yang satu itu. Faktor karena aku akan mati sebentar lagi.
Hanya saja, aku tidak membuka lipatan kertas itu. Hanya menatapnya dan mengernyit. Dika yang makin merapat duduk di sebelahku mengambilnya lagi. Lalu dengan sentakan pelan, kertas itu terbuka dan memperlihatkanku sebuah tulisan-tulisan besar yang ada didalamnya. “Ini daftar yang mau gue lakuin sebelum gue operasi lima hari lagi.” Dika membaca tulisan yang ada di dalam kertas itu dengan gaya meneliti. “Gue pengen ngelakuin semua tindakan ini sebelum gue meninggal.”
Aku menggeser sedikit kepalaku untuk bisa melihat dengan jelas apa saja isi daftar yang telah dibuat olehnya. “Hari pertama… ngeliat taman bunga untuk terakhir kalinya.” Aku menatap wajahnya. Dan dia tersenyum kecil. “Hari kedua… berenang di pantai.” Dika makin tersenyum kecil ketika aku kembali menatapnya. “Hari ketiga… main kembang api dan petasan.” Kali ini wajah Dika mengernyit saat aku menatapnya. Aku hanya bisa terkekeh melihat daftar konyolnya ini. “Hari ke-empat… nari dibawah hujan.” Yang satu inilah yang membuatku makin bingung dengan daftarnya. “Nari dibawah hujan?” ujarku ke Dika.
“Iya. Gue selalu penasaran gimana rasanya mandi hujan. Apalagi joget-joget di bawah guyuran air hujan.” Dika melamunkan sesuatu di kepalanya. “Papa sama Mama gue selalu ngelarang gue buat mandi hujan. Mereka takut kalo penyakit gue ini makin parah. Tapi lihat sekarang! Penyakit gue udah parah kan?”
“Emang lo kena kanker apaan?” Sebenarnya aku ingin bertanya itu padanya dari tadi. Tapi aku takut dia akan tersinggung. Tetapi mumpung dia membahasnya, aku akan menggunakan kesempatan ini.
“Kanker otak stadium akhir.” beritahu Dika singkat padaku. Meskipun dia memberitahuku sesingkat itu, aku tahu kalau sebenarnya penyakit kanker yang dia derita ini pasti akan membuatnya meninggal. Sama seperti kanker yang kuderita ini.
Aku membuat wajah ber-empati kepadanya. Lalu aku menurunkan kembali kepalaku untuk membaca daftar terakhir yang ada di kertasnya itu. “Hari kelima… merasakan kebahagiaan.” Daftarnya yang terakhir ini sukses membuat wajahku mengerut samar. “Maksudnya dengan merasakan kebahagiaan itu apa Dik?”
Dika tersenyum kecil lagi ke arahku. “Iya. Gue pengen banget bener-bener ngerasa bahagia hidup di dunia ini sebelum gue meninggal.”
“Emang lo nggak pernah merasa bahagia Dik?”
“Pernah. Tapi bukan bener-bener ngerasain bahagia yang sebenernya.” Kami lalu diam beberapa puluh menit. Sampai akhirnya bunyi adzan Maghrib berkumandang. “Hari pertama yang di daftar itu udah gue lakuin. Ngeliat taman bunga ini untuk terakhir kalinya.” Suara Dika yang parau menyadarkanku, kalau selama ini dia sangat kesepian. Sama sepertiku sebelum bertemu dengan Luk dan Dev.
Ketika aku melihat kembali daftar yang dibuat oleh Dika. Sebuah gagasan ide mencuat dari kepalaku. “Lo ngebolehin gue nggak ikut buat nge-wujudin semua perintah yang ada di kertas ini? Sebelum kita berdua sama-sama bakalan meninggal.”
Wajah Dika yang menatapku secara tiba-tiba itu sangat terlihat kaget. Tetapi kemudian dia tersenyum lebar ke arahku. Yang menandakan kalau dia mengizinkan aku ikut untuk memwujudkan daftar keinginannya sebelum dia meninggal. Dan juga sebelum aku meninggal. Atau yang lebih tepatnya; sebelum kami berdua meninggal.
***
1440 Minutes (Day 2)
Dika mengajariku untuk optimis dan berusaha untuk tetap hidup. Sedangkan dia tidak melakukan kedua tindakan yang dia ajarkan padaku itu. Alasannya adalah karena kanker yang dia derita sudah tidak bisa terselamatkan lagi. Sedangkan kanker yang aku punya masih bisa diselamatkan. Walaupun nada suara Dika tidak begitu yakin ketika dia mengatakannya. Di hari kedua ini aku sudah bisa berinteraksi dengan semua pasien-pasien kanker yang ada di ruangan kemoterapi ini. Mereka semua berusaha sekuat mungkin untuk bisa tetap hidup. Jadi sekarang aku bisa melihat kalau yang tidak optimis di antara semua pasien ini adalah aku dan Dika. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Banyak orang yang berusaha untuk tetap hidup. Tetapi aku malah ingin membuang nyawaku begitu saja.
***
Semilir angin menerbangkan rambutku. Dika yang berdiri di sebelahku sedang menatap pantai dengan raut wajah kagum. Padahal pantai di ancol ini sangat jelek. Airnya yang cokelat kelam itu membuatku tidak selera untuk berenang di dalamnya. Tetapi aku tidak mau membuat Dika kecewa. Entah kenapa aku tidak sanggup melakukannya. Seperti ada tulang besar yang berada di hatiku jika aku membuatnya kecewa. Tulang itu akan menusuk semua saraf di hatiku. Yang malah akan membuatku ikut sakit hati dan kecewa. Aku juga tidak tahu kenapa aku merasa begitu. Hanya saja ada sesuatu tentang Dika yang membuatku merasa agak sedikit… janggal.
Suara tawa sekumpulan cowok yang duduk tak jauh dari tempatku berdiri, membuatku ingat tentang Luk dan Dev. Yang sekarang pasti sangat khwatir tentang keadaanku. Mereka berdua tahu aku mengidap sebuah penyakit. Tetapi mereka tidak pernah tahu kalau penyakit yang aku derita adalah kanker tulang. Yang mereka tahu aku hanya mengidap penyakit. Bahkan Dev bilang kalau penyakit yang aku idap adalah hyper sex. Yang malah sesungguhnya itu penyakitnya sendiri. Ketika aku mengingat kedua wajah sahabatku yang konyol itu, aku tersenyum lebar. Rasa-rasanya aku ingin menangis. Dan sekarang aku merasa harus berusaha untuk tetap hidup untuk mereka berdua. Karena kedua sahabatku itu adalah hartaku. Sahabat yang bisa membuatku tersenyum walau hatiku sedang terluka.
“Lo kenapa Bas?” tanya Dika pelan mengagetkanku. “Lo nggak apa-apa kan? Lo nggak kesambet setan jembatan ancol kan?” ujarnya antara takut dan geli.
Aku menengok cepat ke arah Dika dan menggeleng. “Gue cuman keinget sama kedua sahabat gue. Mereka nggak tau kalo gue lagi sekarat. Dan gue juga nggak pengen mereka tau. Tapi, gue pengen ngomong sama mereka. Sayangnya gue takut kalo ntar gue malah buat mereka kuatir. Gue nggak mau mereka kuatir tentang gue. Gue… nggak suka ngeliat mereka kayak gitu.” Aku menatap matahari sore. “Gue juga pengen minta maaf sama Dev karna gue udah ngatain dia pelacur laki-laki waktu itu. Walopun waktu itu dia cuman melototin mata gue, gue tau dia sakit hati. Dan bodohnya lagi, sifat keras kepala gue tentang anti minta maaf masih besarang di hati gue sampe sekarang.”
Sekarang aku benar-benar merasa seperti orang paling brengsek yang ada di dunia ini. Ya! Aku adalah orang yang paling anti untuk minta maaf. Bahkan dengan Mamaku sendiri saja aku tidak pernah minta maaf. Karena aku sudah mengambil pacarnya yang bajingan itu. Seharusnya, setelah aku tahu cowok itu adalah pacar Mamaku, aku semestinya segera meminta maaf. Tetapi aku malah diam saja dan memandang wajah Mamaku seperti orang asing. Itulah alasan mengapa aku dan dia tidak pernah menjadi satu keluarga lagi.
Luk dan Dev yang sangat percaya bahwa aku adalah orang yang baik, membuatku makin merasa kalau aku tidak pantas hidup dengan judul itu di dalamnya. Seharusnya aku menerima judul ‘lelaki brengsek paling menjijikan’ didalam hidupku ini. Tetapi tidak! Kedua sahabatku selalu merasa aku adalah orang paling baik dan paling pengertian.
“Minta maaf memang sulit,” tutur Dika di sebelahku. “Tapi terkadang minta maaf bisa menutaskan masalah. Yang bakalan buat hidup lo lebih berarti. Yang buat hidup lo nggak akan pernah sia-sia di dunia ini.” Dika meraih tanganku ke dalam genggamannya. Membuat jantungku berdesir seketika. Rasanya aku ingin memeluk tubuhnya. Tetapi tidak bisa. Aku takut kalau aku dan dia menjadi bahan tontonan nanti.
Belum saja aku ingin membalas genggaman tangannya, dia tiba-tiba sudah menarik tanganku. Mengajakku berlari untuk menyongsong pantai yang ada di hadapan kami berdua. Untung saja aku tidak membawa HP dan dompetku. Kalau tidak, aku yakin kedua barang itu akan basah kuyup seperti baju dan seluruh tubuhku ini. Dika yang sedang mengepak-ngepak-kan badannya untuk mencoba berenang, malah seperti katak yang mau tenggelam. Aku terkekeh pelan melihat tingkahnya itu. Dia melirik ke arahku dengan tatapan sengit. Lalu mencibirku berang. Aku tahu dia tidak bisa berenang. Makanya dengan jahil aku menariknya ke tengah pantai. Dia meronta-ronta dalam pelukanku. Tetapi rontaannya berhenti ketika aku memegang kedua tangannya dan menyuruhnya untuk mengepak-kan kakinya, agar dia bisa berenang. Dan selama satu jam kami berenang di pantai berair cokelat kelam ini, akhirnya Dika bisa berenang dengan baik, walaupun belum terlalu lancar. Tetapi aku senang dia bisa menikmati keinginannya yang kedua ini.
Saat aku dan Dika keluar dari air, matahari sudah mau tenggelam. Kami duduk di atas pasir yang sama cokelatnya seperti air pantai tersebut. Tangan Dika yang hangat tiba-tiba memegang tanganku. Menggenggamnya agak erat. Matanya yang agak berkemilauan menatap semburat cahaya matahari yang berwarna jingga. Dengan gerakan superlambat, aku membalas genggaman tangannya. Setelah tangan kami berdua sudah terpaut menjadi satu, Dika menatap wajahku dan berbisik pelan ke telingaku. “Lo mau nggak cium gue?” Aku memundurkan kepalaku sedikit karena kaget. Tetapi kagetku hilang ketika melihat keseriusan di wajahnya. Lalu semuanya terjadi begitu saja. Saat matahari tenggelam di ujung cakrawala, bibir kami berdua bertemu. Terpaut menjadi sebuah ciuman singkat yang hangat.
***
1440 Minutes (Day 3)
Di hari ketiga aku berada di Rumah Sakit ini, aku sekarang benar-benar banyak belajar. Empat orang yang di operasi tadi sore, tiga orang selamat dan satu tidak. Suasana suram melingkupi ruangan kemoterapi saat kami mendengar berita ini. Ibu Nurlina, salah satu wanita yang paling ke-ibuan yang pernah kutemuilah yang ternyata meninggal. Kanker payudara dan kanker serviks yang dideritanya ternyata sudah menyerang semua organ vitalnya. Semua orang yang ada di ruangan ini berdoa untuk Ibu Nurlina. Berharap dia bahagia dengan Tuhan di atas sana.
Kami digiring masuk ke kamar masing-masing oleh perawat. Dika yang berjalan di sebelahku masih sesengukan sedih. Karena Ibu Nurlina dan dia masuk ke ruangan kemoterapi itu pada saat yang bersamaan. Ibu Nurlina sudah dianggap Mama oleh Dika. Dan sekarang dia kehilangan sosok Ibu di sini. Akupun juga merasa begitu. Anak-anak Ibu Nurlina tadi sempat mampir ke ruangan kemo dan memberikan kami pelukan selamat tinggal. Hal itulah yang membuat mataku terbuka akan hubungan anak dan Ibu. Ya! Aku harus minta maaf dengan Mamaku malam ini. Aku ingin dia tahu kalau aku merasa bersalah karena pernah menjahatinya. Dan dia juga harus tahu kalau aku mencintainya.
Setelah aku sudah masuk ke dalam kamarku, aku langsung mencari BlackBerry-ku. Untuk menelpon Mamaku. Ketika aku sudah menemukan BB-ku, LED-nya nyala dengan sangat terang. Setelah kubuka, ada 25 panggilan tak terjawab. Dan 18 sms masuk. Saat aku membukanya ternyata dari Luk dan Dev yang menanyaiku aku ada dimana. Lalu sms mereka berubah menjadi sumpah serapah karena aku tak kunjung membalas sms mereka. Atau menelpon mereka balik. Aku tahu aku memang brengsek. Tapi kalau aku memberitahu mereka aku sedang dalam tahap kemoterapi, aku yakin mereka akan sangat-sangat khawatir lebih dari yang mereka rasakan sekarang. Aku tidak mau itu terjadi. Jadi aku kembali mengabaikan segala bentuk perhatian mereka saat ini.
Pada nada yang ketujuh, Mamaku baru mengangkat telponku. Suara penolakannya yang seperti biasa membuatku bergidik. “Halo…” ujarnya agak dingin. “Ada apa Tian? Mama lagi sibuk sekarang. Kalau Mama udah nggak sibuk, baru kamu telpon mama lagi. Atau ntar Mamanya yang nelpon kamu.”
Karena aku tahu Mamaku akan selalu menghindariku dan aku juga tahu dia tidak akan menelponku balik. Aku cepat-cepat menyahut. “Tian cuman mau ngomong bentar sama Mama,” ujarku dengan nada putus asa. “Tian mohon!”
Mamaku mendesah getir disebrang sana. “Emang Tian mau ngomong apa? Buruan ya! Mama masih banyak kerjaan nih.”
“Tian cuman kangen sama Mama,” aku bisa mendengar suara nafas Mamaku yang tercekat. “Tian mau minta maaf atas semua yang udah Tian lakuin ke Mama. Tian sadar, Tian bukan anak yang bisa Mama banggain. Tian sadar Mama benci sama Tian. Tapi Ma, Tian bener-bener kangen sama hubungan kita yang dulu. Tian kangen sama Mama. Dan di atas semua itu, Tian cuman mau ngasih tau Mama kalo Mama adalah wanita satu-satunya yang Tian cintai.”
Untuk beberapa menit yang panjang, tak ada sahutan dari Mamaku. Aku hanya mendengar suara isakannya. “Oh, sayang,” seru Mamaku kemudian. “Mama juga minta maaf. Karena sudah nggak peduli sama Tian. Karena sudah menjauhi Tian. Mama juga kangen sama kamu sayang. Mama juga cinta sama dedek kecil Mama.” Mamaku mendesah penuh kepedihan. Air mataku juga ikut keluar. “Tian ada dimana? Mama pengen ketemu kamu. Pengen peluk kamu.”
Mamaku tidak mengetahui tentang aku yang mengidap penyakit Kanker tulang ini. Aku juga tidak pernah berniat untuk memberitahunya. Tetapi karena keinginanku untuk bertemu dengannya juga sangat besar, aku akan berkata jujur. “Tian lagi ada di rumah sakit sekarang.”
“Di rumah sakit?” ujar Mamaku bingung. “Emang siapa yang sakit? Tian?”
Aku menghembuskan nafas sebentar. “Tian yang sakit Ma. Tian lagi kemoterapi di rumah sakit xxx. Kanker tulang yang menyerang Tian sudah berada di stadium akhir.”
“Apa maksud Tian dengan kanker tulang?” seru Mamaku dengan nada getirnya.
“Iya. Kanker tulang yang menyerang Ayah dulu, sekarang nyerang Tian juga. Tian sekarang lagi kemoterapi sebelum melakukan tindakan operasi.”
Mamaku kembali terdiam di sana. “Jadi… Tian juga kena kanker ini,” tangisan Mamaku membahana diseberang sana. “Tunggu Mama! Besok Mama pasti udah disamping Tian. Mama lagi ada di Kalimantan sekarang.”
“Oke Ma,” kataku lembut.
“Kalo gitu Tian sekarang istirahat,” suruh Mamaku dengan nada Ibunya. “Tian harus sembuh dari penyakit ini.” Dan sekarang aku sudah punya tiga orang yang akan menjadi patokanku untuk terus berusaha hidup. Luk, Dev, dan Mamaku.
“Oke Ma,” kataku lagi. Lalu Mamaku menutup telpon dengan segera. Perasaan hampa yang selalu hinggap di relung hatiku kini digantikan perasaan lega yang luar biasa. Akhirnya hubunganku dengan Mamaku kembali seperti semula. Dan aku tahu orang yang sudah membuatku merasa begitu lega seperti sekarang ini. Dika.
Baru saja aku menaruh BB-ku didalam tasku, ketukan di pintu terdengar. Aku berjalan cepat menuju pintu kamarku dan membukanya. Orang yang baru saja kubicarakan di dalam hatiku kini sudah berdiri dengan senyuman lebar di hadapanku. Tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya dan mendekapnya erat. Suara seperti orang tercekik terdengar dari tenggorokannya. Dia meronta sebentar di dalam pelukanku, sebelum akhirnya dia membalasnya dengan sangat penuh kasih sayang.
“Makasih buat segalanya. Sekarang hubungan gue sama Mama udah baik-baik aja,” aku melepaskan pelukanku dan menatap wajahnya yang cemerlang.
Dia membalas perkataanku tadi hanya dengan anggukan. Lalu tiba-tiba dia menunjukkan sesuatu padaku. Dua bungkus kembang api dan satu bungkus petasan. Aku dan dia nyengir secara bersamaan. Malam ini kami akan memenuhi keinginan kami yang ketiga. Keinginan yang menurutku sangat tidak masuk akal. Tetapi tetap saja aku ingin melakukan keinginan ini. Entah siapa yang memulainya, tangan kami berdua langsung bersatu menjadi satu.
92 Minutes
Kembang api yang memeriahkan langit malam mengundang banyak mata di bawah kami. Iya. Aku dan Dika memainkan kembang api kami di atas atap Rumah Sakit ini. Warna dari kembang api yang kami nyalakan sangat menakjubkan. Mata Dika sampai tak bisa meninggalkan segala bentuk dari kembang api yang meletup di atas langit malam. Bahkan cahaya kembang api yang sangat terang itu sampai bisa menyilaukan kepalanya yang botak. Dengan gerakan kilat, aku memegang kepalanya dan menggosok-gosoknya. Dia mengalihkan matanya dari langit ke wajahku.
“Kepala lo bercahaya,” ujarku sambil tersenyum lebar.
Dia tertawa kecil dan memukul lenganku pelan. “Botak itu seksi tau nggak!” cibirnya dengan nada sok pura-pura tersinggung. “Terus nih ya, kepala lo juga agak ringanan. Kayak semua beban yang lo punya ke angkat semua.” Dia menatapku sebentar lalu melingkarkan tangannya ke pinggangku. Memeluk-ku dengan malu-malu.
Tetapi aku tidak malu untuk memeluknya. Jadi aku mendekapnya dalam pelukanku. Mencium semua aroma tubuhnya ke dalam hidungku. Lalu menyimpannya di dalam otak-ku. Agar semua kenangan tentang Dika tidak akan pernah pupus dari ingatanku.
***
1440 Minutes (Day 4)
Ketika mataku terbuka, aku bisa merasakan ada seseorang yang mengusap-ngusap pucuk kepalaku. Saat mataku akhirnya terbuka sempurna, barulah aku tahu itu siapa. Mamaku. Setelah Mamaku tahu aku sudah benar-benar bangun, dia langsung memelukku dengan penuh haru. Dengan cepat aku membalas pelukan dari Mamaku. Rasa kasih sayang antara anak dan Ibu yang sudah lama hilang di antara kami kini datang kembali. Mamaku menangis dan selalu menangis ketika dia berbicara tentang aku harus berusaha untuk sembuh.
“Kepala kamu kenapa botak gini Tian?” tanya Mamaku seraya memegang kepalaku.
Aku meringis dan baru menyadari kalau tadi malam, setelah acara kembang apiku dengan Dika selesai. Aku menyuruh salah satu perawat jaga untuk memangkas habis rambutku. Dan benar saja apa yang dibilang oleh Dika. Kepalaku terasa lebih ringan sekarang. Semua beban yang ada di pundakku juga rasanya terangkat ke udara. “Biar kompakan sama pasien kanker yang lainnya Ma” ujarku berbohong. Aku tahu bohong itu dosa, tetapi toh tak ada gunanya juga aku berkata jujur tentang hal ini. “Baguskan Ma?”
Mamaku meneliti wajahku sebentar. “Bagus kok. Masih kayak Tian si dedek kecil Mama.” Mamaku memelukku sekali lagi. Sebelum akhirnya dia berpamitan untuk pergi kerja. Ketika Mamaku sudah keluar dari kamarku. Gelombang antara anak dan Ibu masih bersarang di ruangan ini. Aku tersenyum kecil untuk kejadian yang barusan terjadi antara kami.
290 Minutes
“Rambut lo kemana?” itulah yang pertama kali ditanyakan oleh Dika saat pertama kali aku menyapanya. Matanya yang cokelat cemerlang itu membulat besar.
“Gue potong. Gimana penampilan gue? Udah mirip kayak lo apa nggak?”
Bukan jawaban yang kudapatkan dari mulut Dika. Tetapi pelukan. Dia memelukku dengan begitu erat. Suara tangisan pelan keluar dari mulutnya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menangis seperti ini. “Makasih.” Itulah kalimat yang dia lontarkan padaku sebelum dia kembali menangis dalam diam.
397 Minutes
Sudah jam sepuluh malam tetapi langit tak kunjung hujan jua. Kami menanti hujan hari ini. Untuk memenuhi keinginan kami yang ke-empat. Tetapi sayang, hari ini ternyata cuaca sangat cerah. Bahkan sangat panas.
“Kalo hujan nggak muncul-muncul juga, mungkin kita joget-joget di bawah pancuran aja,” ujar Dika yang sedang duduk di sebelahku. Saat ini kami sudah berada di atas atap rumah sakit ini lagi. “Tapi kayakanya rasanya nggak sama ya.” Aku bisa mendengar nada kecewa dalam suaranya.
Aku mengelus-ngelus pundak Dika. Mencoba menenangkannya. “Walopun hujan hari ini nggak turun, gue seneng kok bisa ngabisin waktu sama lo.” Dika menatapku sejenak sebelum kembali hanyut dalam lamunannya.
“Bas, boleh gue nanya sesuatu nggak?” tanya Dika perlahan.
“Silahkan.” suruhku lembut.
“Apa reaksi yang Mama lo tunjukin ke elo pas lo ngaku gay ke dia?” tanyanya. Membuatku kaget. Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu. “Kalo reaksi Mama dan Papa gue waktu gue ngaku gay, mereka biasa aja. Mungkin mereka udah tau kalo gue memang nggak normal. Lagian juga, kembaran Papa gue—Om Farid—dia gay. Jadi, Papa gue biasa aja tentang hal itu. Walopun dia rada-rada kecewa sama gue.”
Aku menatap wajah Dika untuk beberapa menit sebelum menjawab. “Naluri gay kita memang kuat ya.” Aku berkata pelan. “Kalo bukan karna naluri gay kita ini, pasti kita berdua nggak bakalan ketemu dan bisa sedeket ini sekarang.” Aku bisa merasakan kepala Dika yang mengangguk-angguk kecil di pundak-ku. “Reaksi yang Mama gue tunjukin pas gue ngaku gay ke dia adalah… jejeritan kayak orang gila. Walopun habis itu dia tenang dan nyuruh gue buat nyumbangin sperma gue ke insitut bayi tabung.”
Tawa renyah meluncur pelan dari mulut Dika. “Insitut bayi tabung?” ujarnya agak mengantuk. “Jadi lo disuruh nyumbangin sperma lo buat nge-bantu cewek-cewek yang ada di dunia ini yang nggak bisa hamil melalui rahim mereka? Ato cewek-cewek yang nggak mau punya suami tapi pengen punya anak?”
Jawaban yang kuberikan hanya anggukan kepalaku. Yang setelah itu dibalas oleh Dika dengan dengkuran pelan dari hidungnya.
90 Minutes
Tetesan air yang menerpa wajahku, membangunkanku dari tidur duduk-ku ini. Dika yang menyandarkan kepalanya di pundak-ku masih tertidur dengan pulas. Rintikan hujan yang semula hanya beberapa saja, kini sudah mulai menderas. Aku menggoyankan badan Dika sedikit, untuk membangunkannya. “Dika,” panggilku lembut di telinganya. Dia mendesah kecil seraya mengucek matanya. Ketika mata cokelatnya itu menatapku, aku menjulurkan tanganku dan menunjuk langit. “Akhirnya hujan juga!” seruku dengan nada seceria mungkin.
Tiba-tiba Dika berdiri dan berjalan cepat menuju ke arah atap yang paling tinggi. Dia menatap tetesan hujan yang mulai mengguyur dengan derasnya, dengan tatapan terpana dan bahagia. Ketika aku sudah berdiri di sampingnya, dia tertawa kecil. Lalu rintikan gerimispun berubah menjadi hujan deras dengan tetesan air yang lebih besar. Dika makin tertawa nyaring dan menggoyang-goyangkan badannya. Menari dengan gaya yang entah apa namanya. Aku hanya bisa ikut tertawa dengannya dan mulai ikut bergoyang bersamanya. Menikmati air hujan yang membasahi kami berdua. Lalu tak berapa lama kemudian, aku dan dia menyatukan tubuh kami menjadi sebuah pelukan. Aliran hangat keluar dari tubuhnya dan menjalar ke dalam tubuhku. Malam itu, kami menghabiskan waktu dibawah guyuran hujan. Serta dengan hangat tubuh kami yang menyatu saling melengkapi satu sama lain.
***
1440 Minutes (Day 5; Last Day)
Saat aku sudah berganti baju untuk pergi ke Planetarium yang ada di Ancol, aku dikagetkan dengan sosok Dika dalam balutan baju kasual yang menawan. Serta dengan rambut shaggy yang membuatnya makin imut. Bagaimana bisa rambutnya dapat tumbuh secepat dan selebat itu? Apakah dengan sekali guyuran hujan rambut Dika bisa tumbuh lagi secepat itu? Tidak mungkin. Benar-benar tidak mungkin.
“Rambut lo kok cepet banget tumbuhnya,” kataku memperhatikan wajah Dika yang mengerut bingung. Dia menutup pintu kamarnya dan menatapku dengan seksama.
“Siapa ya?” tanyanya dengan suara yang agak cempreng. Ini bukan suara Dika. Aku bisa tahu karena aku sudah merekam semua suara Dika di kepalaku.
Baru saja aku ingin membuka suaraku, tiba-tiba pintu kamar Dika berderit terbuka. “Diki, ini HP kamu ketinggalan,” itu baru suara Dika. Dan benar saja. Itu memang Dika. Dika-ku. Dengan kepala botak dan senyuman khasnya. “Oh, hai Bas!” sapanya setelah dia melihat wajahku. Aku tersenyum kecil ke arahnya dan menganggguk. “Oh, iya. Kenalin ini Diki. Kembaran gue.”
Aku tertegun. Kembaran. Jadi ini kembaran Dika. Pantesan mirip. “Hai,” ujarku sambil menyorongkan tangan. “Gue Bas.”
Cowok yang namanya Diki ini menyambut tanganku. “Gue Diki,” kami saling tersenyum. Walaupun dia kembaran Dika, tapi senyuman mereka tidak mirip. Aku lebih suka melihat senyuman Dika daripada Diki. “Siapamu ini Ka?” tanya Diki ke Dika.
Mata Dika yang cokelat menatapku sejenak. “Pacar gue,” kata Dika dengan senyuman lebar. Mulutku hampir saja ternganga ketika mendengar dia berkata begitu. Untung saja aku orang yang mudah mengendalikan diri.
Diki menatapku kembali dan tersenyum. Yang kubalas dengan senyumanku juga. Dia lalu mengangkat tangannya lalu berjalan menjauh. Meninggalkanku dan Dika hanya berdua saja. Ketika sosok Diki sudah tak terlihat, barulah aku menengok ke arah Dika yang hanya menampilkan cengiran lebarnya yang khas. Aku juga ikut menyengir dengannya. Entah kenapa, aku senang dia berkata begitu tadi.
136 Minutes
“Lo kok PD banget ya bilang ke Diki kalo gue pacar lo,” kataku saat kami sudah berada di Planetarium. Menatap semua tata surya buatan yang ada di atas kepala kami.
“PD-lah,” ujarnya sambil menarik lengan kemejaku. “Bentar lagikan lo bakalan nembak gue.” Terlalu PD. Tetapi aku malah senang dia bertingkah seperti itu. Aku benar-benar memang merasakan sesuatu tentang dirinya. “Walopun kita baru kenal selama lima hari. Ato baru 7200 menit. Gue yakin kok lo nyimpen perasaan buat gue. Meskipun gue nggak bisa baca pikiran orang. Tapi gue bisa nge-baca tanda yang lo kasih.”
Aku tertawa kecil dan memeluk pinggangnya saat kami berada di ruangan yang hanya diterangi oleh bintang-bintang buatan. “Oke,” ucapku pelan di telinganya. “Gue mau lo jadi pacar gue. Tapi ada satu syarat!”
Dika menatapku dengan matanya yang indah itu. “Apa?”
“Lo harus berusaha untuk hidup juga kayak gue. Kita harus sama-sama berusaha buat hidup Dik,” kataku menempelkan tanganku di lehernya. “Gue… gue nggak mau hidup tanpa lo Dik. Gue… gue sayang lo Dik. Kayak yang lo bilang. Walopun kita baru kenalan selama lima hari. Ato 7200 menit, gue juga ngerasa ada yang tumbuh di hati gue tentang lo. Dan gue yakin itu rasa sayang.”
Tiba-tiba ada cairan hangat yang mengalir di tanganku. Air mata Dika. “Gue bakalan berusaha,” ujarnya dengan suara tercekat. “Gue bakalan berusaha buat bisa tetep hidup untuk lo Bas. Karna gue juga sayang sama lo.” Dan aku tidak tahu kenapa, perkataan yang dilontarkan oleh Dika barusan masih mengandung keraguan. Sama seperti diriku yang juga ikut ragu apakah dia bisa selamat apa tidak. Saat aku bertanya pada dr. Leo, dokter pribadi Dika. Tingkatan keberhasilan Dika hanya 12%. Yang membuatku sangat takut buat kehilangannya.
254 Minutes
Dika yang menaruh kepalanya di atas kepalaku terlihat gusar malam ini. Kamarnya yang biasanya cerah dan meyenangkan, kini terlihat muram dan menakutkan. Aku tahu apa yang ada dipikiran Dika. Yaitu hari esok. Dimana aku dan dia akan meregang nyawa di ruang operasi. Menanti apakah nyawa kami akan baik-baik saja atau akan pergi meninggalkan dunia ini. Nafas Dika yang perlahan-lahan itu membuat jantungku merengkuh dalam sakit. Entah kenapa, aku juga tidak begitu yakin apakah aku bisa hidup atau tidak. Padahal dua hari yang lalu aku sudah mulai optimis. Tapi sekarang rasa optimis itu sudah sirna kembali. Yang digantikan dengan kecemasan dan rasa kalut yang berlebihan.
“Gimana keinginannya yang kelima, udah ngerasa bahagia belum?” aku bertanya pelan ke telinga Dika. Cahaya bulan yang masuk melalui jendela menerangi wajahnya yang agak suram. Aku tidak ingin melihat wajahnya yang seperti itu. Ini hari terakhir kami bisa bersama. Aku tidak tahu apakah besok aku dan dia bisa selamat dari kanker ini.
“Belum,” jawab Dika singkat sembari dia menutup matanya. Raut wajahnya yang pucat dan lelah begitu terlihat jelas dari ujung mataku. “Bas… kalo misalnya gue nggak selamat dari ini, lo mau kan kunjungin makam gue nanti?”
Pertanyaan itu membuat jantungku berhenti satu detakan. “Lo ngomong apaan sih!” seruku dengan nada tidak suka. Aku mengangkat tubuhku dengan gerakan cepat. Dan ternyata ini langkah yang bodoh. Karena tiba-tiba tulang punggungku terasa begitu nyeri. Hanya saja aku tidak mau menunjukan raut wajah kesakitan di depan Dika. “Lo harus berusaha buat tetep hidup Dik. Buat keluarga lo. Dan juga buat… gue.”
Air mata Dika kembali mengalir seperti beberapa ratus menit yang lalu. “Gue selalu ngeyakinin hati gue kalo gue bisa selamat dari ini Bas. Tapi angan-angan itu hilang pas gue tau kalo keyakinan itu hanyalah imajinasi belaka. Gue nggak akan pernah bisa selamat dari ini Bas. Dan lo tau kalo gue bener kan?”
Aku memegang kepala Dika dan menyuruh matanya untuk menatap mataku. “Lo bisa ngelalui ini Dik. Lo harus bisa. Karena gue juga bakalan berusaha untuk hidup buat lo. So, please, berusaha buat gue! Karena gue bakalan berusaha buat lo.” Entah pemikiran darimana, aku langsung mencium bibir hangat Dika. Rasa gula dari obat cair yang dia minum tadi menyeruak masuk ke dalam mulutku.
Dika menarik bibirnya dariku dan menatap mataku yang agak berlinang karena air mata yang hampir keluar. “Bas, keinginan gue yang kelima belum bener-bener gue rasain. Lo mau nggak nolongin gue buat ngerasain kebahagiaan yang sesungguhnya?”
Pertanyaan itu sangat lambat masuk ke telingaku. Aku menelan air ludahku sebelum menjawabnya. “Gue bakalan nolongin lo. Apapun itu. Bilang aja apa yang lo mau biar lo bisa ngerasain kebahagiaan yang sebenernya.”
Dika menaruh pipinya di pipiku. “Apapun boleh?” tanyanya berbisik parau. Aku mengangguk tanda mengiyakan. “Kalo gitu lo mau nggak ngelakuin hal itu sama gue?” Aku tidak perlu bertanya padanya tentang arti dari kalimat ‘ngelakuin hal itu’. Aku sangat mengerti apa arti perkataan Dika tadi.
Lalu semuanya terjadi tanpa pemikiran apapun. Semula kami hanya berciuman. Kemudian entah bagaimana baju kami sudah terlepas semua. Dan tiba-tiba aku sudah memasuki diri Dika. Yang saat ini dia sedang mengerang nikmat di bawahku. Bisikan darinya terus memasuki telingaku. Tetapi tak satupun yang bisa kucerna di otakku. Kecuali bisikan yang satu ini. “Gue cinta sama lo Bas.” Dan saat itulah aku berteriak pada Tuhan untuk memberikan kesempatan kedua kepadaku dan Dika untuk hidup besok. Ya! Aku dan Dika harus hidup besok. Atau paling tidak, jika dia tak selamat. Aku mau mati bersamanya.
***
(Day 6)
Efek obat bius itu akhirnya berhenti. Seluruh badanku terasa sangat panas. Punggungku juga terasa begitu nyeri. Mataku nanar saat kubuka. Lampu berwarna putih yang masuk ke dalam retina mataku rasanya sangat menyilaukan. Nafasku agak gelagapan saat ada seseorang yang memegang tanganku. Apakah aku masih di ruang operasi? Ataukah aku sudah mati? Entahlah. Jika aku mati, aku pasti sudah tidak akan merasakan nyeri di punggungku ini.
“Sayang, kamu udah sadar,” itu suara Mamaku. Nada ke-ibuannya menenangkanku. “Buka matanya pelan-pelan sayang. Nggak usah buru-buru. Mama panggilin dr. Diatmika dulu.” Lalu sosok Mamaku yang tadi duduk di sebelahku, tiba-tiba menghilang.
Akhirnya, setelah dua menit yang panjang aku mencoba membuka mataku, kini dia sudah bisa terbuka dengan lebar. Tetapi baru saja aku ingin melihat tanganku yang di-infus, tiba-tiba ada sebuah tamparan yang mendarat di kedua pipiku. Rasa sakit menjalari kedua belah tulang pipiku. “Hei!” teriak-ku dengan nada tinggi.
“Hei, hei!” cerca seseorang yang berdiri di sebelah kiriku. Aku mengenal suara itu. Suara Dev. “Lo orang paling bajingan yang pernah gue tau!” serunya dengan nada marah yang benar-benar berang. Dia menampar wajahku sekali lagi. “Lo nggak pernah bilang ke kita kalo lo kena kanker tulang. Dan lo juga nggak bilang ke kita kalo lo selama lima hari kemaren lagi kemoterapi.” Sekali lagi Dev menampar wajahku. Rasa panas menjalari mukaku.
“Plus lo ninggalin kita tanpa catatan apapun!” suara Luk yang tegas menjalari gendang telingaku. Tangannya yang kokoh menampar pipi kananku. “Lo tau nggak gue sama Dev kuatir banget. Kita kirain lo diculik sama om-om ganjen.” Luk memukul kepalaku yang tanpa rambut. “Dan pas kita tau kabar lo dari nyokap lo, dia ngasih tau kita kalo lo lagi di operasi. Yang buat gue sama Dev hampir tabrakan pas mau dateng ke sini saking cemasnya.” Sekali lagi Luk memukul kepalaku. “Mana kepala lo botak lagi sekarang!”
Dengusan tajam keluar dari hidung Dev. “Sekarang jelasin ke kita berdua apa maksud lo sama semua ini? Lo bilang lo udah terbuka sama kita berdua? Mana buktinya? Dasar penipu gadungan!” Dev menjitak pelan kepalaku. Aku meringis tetapi tidak mau melawan. Aku tahu, dari semua pukulan yang mereka lancarkan padaku, ada sirat kecemasan dan kebahagian yang terpancar disana. Suara mereka yang parau juga menunjukkan kalau mereka sudah agak lega sekarang.
“Gue nggak mau kalian kuatir,” tuturku parau. kutatap wajah Luk dan Dev dengan hati-hati.
“Dan lo pikir dengan cara lo ngilang gitu, kita nggak kuatir? Apalagi pas denger berita lo lagi meregang nyawa di ruang operasi. Lo pikir kita biasa aja gitu nge-denger berita itu?”
“Sori” ucapku penuh penyesalan. Wajah Luk dan Dev berubah seketika ketika mendengarku minta maaf. “Gue bener-bener nggak maksud buat gitu. Gue pengen kalian bahagia. Nggak mau ngurusin manusia penyakitan kayak gue ini.”
Dev menatapku dengan mulut ternganga lebar. “Lo pikir kita bakalan bahagia ketinggalan momen penting sama sahabat kita yang hampir mati? Lo pikir gue sama Luk bisa hidup tanpa lo? Eh, anjrit!” Dev memukul pucuk kepalaku sekali lagi. “Lo sahabat kita. Dan gue nggak mau kehilangan salah satu dari kalian.”
Aku meringis tetapi tersenyum. “Maaf Luk. Maaf Dev. Gue nggak bakalan nyembunyiin apapun dari kalian mulai sekarang.”
“Lo memang kudu harus gitu mulai sekarang,” ujar Dev lalu dia memeluk pundakku sambil terisak. “Gue bener-bener nggak mau kehilangan lo Bas. Lo dan Luk adalah kedua sahabat gue yang paling brengsek dan paling baik yang gue sayang.”
Luk yang berdiri di sebelah kananku juga ikut nimbrung dalam pelukan ala Teletubies kami ini. Matanya yang merah terlihat begitu sedih. Tapi juga kelihatan agak gembira sekarang. Dia memelukku dengan hangat dan mengelus pelan kepalaku yang tanpa rambut. Selama satu menit yang panjang, akhirnya pelukan kami berakhir. Lalu, entah darimana datangnya ide ini, kami bertiga mulai tertawa dan menyadari tingkah konyol yang barusan kami lakukan tadi.
“Dev,” panggilku pelan. Dev masih dalam balutan tawanya saat menatapku. “Gue mau minta maaf karna pernah ngatain lo pelacur laki-laki.”
Dev menaikan kedua alisnya. “Gue nggak tau lo kesambet setan apa sampe lo sekarang bisa minta maaf sama orang. Tapi, nggak apa-apa kok Bas. Gue juga sadar kok tingkah gue kemaren itu memang kayak pelacur laki-laki. Mulai sekarang gue udah mau ngerubah jalan hidup gue. Ke yang lebih baik, tentunya.”
Pintu terjeblak terbuka. Menampilkan sosok Mamaku dan dr. Diatmika. Senyuman lebar meriah terpampang jelas di wajah dr. Diatmika yang menurutku sangat kebapakan. Dia berjalan cepat ke sebelah kananku dan memegang tanganku. Sentuhan hangat yang diberikan oleh dr. Diatmika bisa membuatku tenang. “Kondisi nak Bastian sekarang udah stabil. Pengangkatan jaringan kanker yang menyerang tulang nak Bastian juga sudah diobati dengan tuntas. Nak Bastian bakalan baik-baik aja mulai sekarang.”
Sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari dr. Diatmika, tiba-tiba Luk dan Dev berpamitan pulang. Karena hari sudah semakin malam. Mamaku juga ingin pergi keluar sebentar. Mau mengambil baju-bajuku di rumah. Jadi hanya aku dan dr. Diatmika yang ada di ruangan ini, bercengkrama tentang hasil operasiku. Dan harus apa saja yang kulakukan agar kanker tulang ini tidak menghinggapiku lagi. Semua penjelasan rinci yang diberikan oleh dr. Diatmika tidak benar-benar bisa masuk ke dalam otak-ku. Karena sekarang yang ada di pikiranku hanya Dika. Apakah dia selamat dari operasinya?
“Nak Bastian mau minum?” tanya dr. Diatmika pelan di sampingku. Menyadarkanku kalau dia masih ada di kamar rawatku ini.
“Nggak dok,” aku menggeleng pelan. Lalu tiba-tiba aku sadar kalau dr. Diatmika mengenal dr. Leo. Dokter pribadi Dika. Dokter yang meng-operasi Dika tadi jam sebelas pagi. Pasti dr. Diatmika tahu tentang perkembangan operasi Dika. “Dok, pasiennya dr. Leo yang di operasi jam sebelas tadi, berhasil selamat apa nggak?”
Jantungku berdegup kencang saat dr. Diatmika menatapku dengan raut wajah sedih. Kumohon jangan berikan aku jawaban yang tidak ingin kudengar, dok! Tetapi tidak. Dia malah memberikanku jawaban mengerikan itu. “Dia nggak berhasil. Kanker otaknya sudah menyerang semua organ di otak besarnya dan di otak kecilnya. Semua fungsi di otaknya sudah benar-benar tidak bisa disembuhkan lagi.”
Rasa-rasanya aku ingin berteriak lalu berlari meninggalkan rumah sakit ini. Berarti Dika sudah tidak ada. Berarti dia sudah pergi meninggalkanku. Badanku gemetaran dan tidak bisa kukontrol. Deru jantungku melemah seketika. Mataku nanar tetapi tak ada air mata yang bisa keluar di sana. Aku ingin marah… ingin mengutuk dr. Leo karena tidak bisa menolong Dika. Aku sangat marah pada Tuhan. Bukan karena dia mengambil Dika. Tetapi karena dia tidak mengajak-ku pergi bersama Dika ke dunia-Nya.
“Oh, iya,” dr. Diatmika yang masih berdiri di sebelahku mengeluarkan sesuatu dari kantung jas Dokternya. “Ini dari Dika.”
Nafasku langsung tercekat ketika melihat kertas karton yang berisi kelima ke-inginan Dika sebelum dia meninggal. Kertas itu bergoyang pelan di tanganku saat aku mengambilnya dari tangan dr. Diatmika. Jantungku yang tadi melemah, kini berdentum-dentum seperti drum. Nafasku memburu saking ingin segera membuka kertas itu. Untung saja dr. Diatmika bisa membaca pikiranku. Karena akhirnya dia meninggalkanku sendiri di kamar rawatku ini.
Ketika bunyi pintu tertutup tegas, barulah aku membuka kertas karton yang terlipat-lipat kecil ini. Tulisan tangan Dika yang saling menyambung membuat linangan air mataku semakin banyak. Membuatku ingat ketika dia menggosokan tangannya di tulisannya ini. Dengan teliti, aku membaca tulisan tangannya yang indah. Hari pertama… ngeliat taman bunga untuk terakhir kalinya. Hari kedua… berenang di pantai. Hari ketiga… main kembang api dan petasan. Hari ke-empat… nari dibawah hujan. Hari kelima… merasakan kebahagiaan.
Lalu dia menambahkan sesuatu dibawah ke-inginannya yang kelima.
Hari ke-enam… lo harus janji nggak nangis buat gue.
Aku meremas kertas itu dengan erat. Dengan sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak keluar. Dia menyuruhku berjanji untuk tidak menangis. Jangan menangis! Jangan menangis! Aku berbatin putus asa di dalam hatiku. Menyuruh mataku yang cengeng untuk tidak mengeluarkan air mata.
Kubenamkan kertas itu di wajahku. Wangi tinta yang masih basah tercium lengket di hidungku. Aku kembali mengangkat kertas itu kedepan wajahku lalu memutarnya. Dan disanalah dia… tulisan panjang dengan banyak tetesan air mata di setiap hurufnya. Aku menyipitkan mataku untuk membaca tulisannya yang sedikit agak berantakan:
Dung Dung Prett Bastian
Maaf ya karena nggak bisa bertahan hidup buat lo. Suer deh, gue udah nyoba buat tetep bisa ada di samping lo. Tapi para malaikatNya nakal nyuruh gue ikut mereka. Gue udah nolak tuh ajakan para malaikat, tapi mereka tetep aja maksa. Jadi, gue sekarang udah nggak bisa ada di samping lo lagi. Maafin gue ya. Tapi lo nggak usah kuatir. Karena dari atas sini, gue bakalan selalu ngejagain lo kok. Ngejagain Bastian gue.
Gue tau lo selamat dari penyakit ini Bas. Karena kalo lo nggak selamat, pasti kita berdua sekarang lagi jalan-jalan di sini. Sambil ngobrol tentang banyak hal. Sambil ngelakuin semua keinginan yang belum bisa gue capai sampe ajal gue datang.
Tapi Bas, di atas itu semua, gue ingin berterima kasih sama lo karena sudah mau nemenin gue ngelakuin semua keinginan konyol yang gue buat. Lo bener-bener orang yang baik Bas. Gue sayang sama lo. Walaupun kita baru kenal selama lima hari. Ato 7200 menit, gue bener-bener ngerasa sayang banget sama lo.
Dan makasih juga karna lo udah mau sayang sama gue.
Sekarang, lo harus hidup bahagia Bas. Karena gue juga bakalan hidup bahagia di atas sini buat lo. Sekarang gue sehat dan aman Bas. Selain itu, gue bakalan selalu nunggu lo di sini. Nunggu lo dateng ke kepelukan gue lagi. Sampai saat itu tiba, gue-lah orang yang pertama kali dateng ngunjungin lo dan berbisik di telinga lo. Kalo gue “Cinta sama lo.”
Kututup kertas itu dengan perasaan getir. Linangan air mataku sudah semakin banyak sekarang. Aku mendekap tubuhku erat. Merasakan kekosongan yang menggerayangi tubuhku. “Cinta sama lo.” Aku juga cinta sama kamu, Dika. Aku juga. Dan aku belum mengatakan hal itu kepadanya. Betapa bodohnya aku!
Jangan nangis! Jangan nangis! Seruku dalam hati. Inget, lo nggak boleh nangis Bas. Kalo lo nangis lo bakalan ngelanggar janji ke-enam yang Dika suruh. Jangan nangis! Jangan nangis! Jangan nangis! Jangan nangis! Jangan nangis!
Tetapi sekuat apapun aku menyuruh diriku untuk tidak menangis. Aku akhirnya roboh juga. Air mataku mengalir dengan lembut di kedua pipiku. Tanganku meremas kertas itu dengan perasaan hampa dan kalut. Tuhan, gue mohon balikin Dika. Tetapi sebesar apapun ke-inginanku, Tuhan tidak akan bisa melakukan hal itu. Aku sekarang benar-benar kehilangan Dika untuk selamanya.
Gue juga cinta sama lo Dik. Saat aku selesai membatin berkali-kali kalimat itu, akhirnya mataku terlelap juga karena lelah.
***
Usapan ringan dan agak sedikit dingin menjalari tulang kepalaku. Mataku yang masih sembap karena habis menangis sangat sulit untuk dibuka. “Sebenernya gue belum dibolehin keluar dari kamar. Tapi karna gue kangen sama lo, jadinya gue dateng kesini.”
Air mataku mengalir deras. Suara itu. Suara yang sudah kurekam di dalam otak-ku. Suara Dika-ku. “Jangan pergi!” kataku, mengangkat tanganku untuk meraih asal suara tersebut. Ingin menggenggam suara itu agar tidak akan pergi dari otak-ku.
“Gue nggak bakalan pergi,” ujar suara itu penuh keyakinan. Walaupun nadanya sedikit lemah. “Gue bakalan selalu ada di samping lo,” tutur suara itu lembut. Lalu tiba-tiba, tangan hangat yang amat kukenal itu menggenggam tanganku. Membuat mataku langsung terbuka cepat.
“Dika?” rapalku seperti berdoa. Kemudian suara itu menyambut panggilanku. Aku memutar kepalaku cepat ke sebalah kanan. Dan melihat Dika yang sedang tersenyum lebar ke arahku. Badannya yang agak sedikit ringkuh terduduk di atas kursi roda. “Lo beneran Dika?” aku gelagapan untuk memegang wajahnya.
“Bukan, ini setannya,” seru Dika sambil tertawa. Tetapi tawanya berhenti saat dia melihat air mata yang mengalir lancar di kedua pipiku. “Kenapa Bas? Lo kenapa nangis?”
Aku sesungukan seperti anak kecil. Tangan kananku masih memegang wajahnya dengan erat. “Kata dr. Diatmika lo udah meninggal,” ucapku perlahan. “Kalo misalnya lo beneran hantu. Gue nggak keberatan lo hantuin Dik.”
Tiba-tiba air mata mengalir pelan di matanya. “Gue nggak meninggal Bastian geblek!” serunya berusaha mencairkan suasan mellow ini. “Dr. Diatmika kurang ajar. Gue masih hidup kok. Nih buktinya kaki gue bisa nginjek tanah. Emang dr. Diatmika bilang apa ke lo?”
“Gue tadi nanya dia, lo meninggal apa nggak? Dan dia ngejawab iya.”
“Lo nanya dia pakek nama gue apa nggak?”
“Nggak. Gue bilang pasiennya dr. Leo.”
Tiba-tiba Dika tersentak di kursinya. Lalu dia menaikan kedua alisnya tinggi-tinggi. “Bukan dr. Leo yang nge-operasi gue tadi.” Suara tangisanku langsung tercekat. “Tapi dr. Rahma.” Dika menghapus air mata yang mengalir di pipi kiriku.
“Terus yang dimaksud sama dr. Diatmika tadi siapa?” tanyaku gelagapan.
Dika menghembuskan nafasnya pelan-pelan. “Handi. Inget nggak cowok pendiem yang pernah gue ceritain dulu. Cowok yang punya kanker otak yang sama kayak gue. Dia yang meninggal. Bukan gue.”
Aku mengerang bahagia dan lega. Dengan gerakan hati-hati aku langsung memeluk Dika. “Terus apa maksud lo sama ini?” aku menyorongkan kertas karton yang berisi keinginan-keinginan yang Dika buat. Serta surat perpisahan yang telah dia tulis dengan sensasi air mata didalamnya.
Dika cengengesan sebelum menjawab. “Yah… itu sih biar keadaan lebih men-dramatisir. Siapa tau gue beneran meninggal. Kan biar lo tau, kalo gue udah berusaha untuk hidup buat lo. Plus biar lo tau kalo gue sayang dan… cinta sama lo.”
Aku tertawa kecil mendengar perkataannya barusan. Jantungku yang semula benar-benar kalut karena sudah berpikir telah ditinggal mati oleh Dika, berubah menjadi sangat bahagia. Aku berseru berterima kasih pada Tuhan karena sudah mendengar doaku untuk memberikan kami berdua kesempatan kedua. “Dari surat ini, lo bener-bener bisa buat gue nangis,” kataku lalu menarik kepalanya lembut. Menaruhnya di pundakku. Kudekatkan mulutku ke telinganya. Ingin memberitahunya hal yang tak sempat kuberitahukan kepadanya. “Gue juga cinta sama lo Dik.”
Tawa renyah Dika menggema di dadaku. Tangannya yang hangat menggenggam kaus pasienku. Dia mendorong sedikit badannya menjauh dariku. Lalu menatap mataku dengan tatapan menenangkan. “Mulai besok, kita akan menjalani hari yang lebih indah dari hari kemarin-kemarin.” Lalu saat bibir kami berdua bertemu, aku sangat percaya dengan apa yang dia katakan barusan kepadaku. Ya! Kami berdua akan menyongsong masa depan kami. Se-indah apapun nanti, seburuk apapun nanti. Selama dia berada di sampingku, aku tidak akan pernah merasa ragu lagi. Tidak akan pernah lagi.
— The End–