Sabtu, 13 Agustus 2016

Pirate of Love


Pirate Of Love Cover

Pirate Of Love
Oleh : Nayaka Al Gibran

Hampir setiap hari ketika matahari memproyeksikan bayangan orang-orang tepat di bawah pijakan kaki sendiri, mereka akan duduk berjejer membentuk setengah lingkaran di hadapan lelaki tua yang kerap dipanggil Oldman itu. Oldman, yang oleh sebagian orang di pemukiman kumuh pinggiran kota itu dianggap setengah waras sudah cukup senang bila mereka membawa sekerat roti tawar dan secawan susu untuknya, namun lebih sering mereka hanya membawa salah satunya saja, seperti hari ini.
“Ah, kupikir kalian tidak akan datang.”
“Kami juga berpikir begitu tadinya, Oldman…” seorang gadis belia langsung mengambil tempat paling dekat dengan Oldman, dua gadis seusianya mengikutinya duduk, langsung di atas tanah.
“Rotimu.”
Lelaki muda yang berbadan paling tinggi di antara mereka mengulurkan roti tawar pada Oldman yang diterima dengan tangan keriputnya yang gemetar, langsung dipatahkan menjadi dua bagian dan satu bagian diantaranya disuapkan ke mulut sedang sisanya diselipkan ke balik jubah lusuhnya. Ia mengunyah perlahan, seperti ingin merasakan tekstur roti itu lebih lama dalam mulutnya.
Kini di hadapan Oldman sudah berkerumun delapan muda-mudi yang tampak seusia, dua atau tiga belas tahun, paling tua mungkin empat belas tahun, anak-anak pinggiran dengan pakaian lusuh dan tampang dekil, siap mendengarkan ocehannya. Bagi muda-mudi itu, Oldman yang dianggap gila oleh kebanyakan orang di pemukiman mereka memiliki banyak kisah menarik untuk diceritakan. Dan itulah alasan mengapa mereka masih mau datang ke tempat tunawisma tua itu berada, demi mendengarkan ceritanya.
“Jadi, apa kisahnya hari ini, Oldman?” gadis belia yang duduk paling dekat dengan si lelaki tua bertanya.
Oldman terbatuk satu kali lalu meraba-raba ke balik terpal yang menjadi alas hidupnya di pojokan bangunan reot yang difungsikan sebagai gudang peralatan oleh pemiliknya. Ia menemukan apa yang dicarinya, botol air minumnya. Setelah membasahi kerongkongannya, ia berusaha memfokuskan pandangan tuanya yang kian mengabur ke sosok si gadis yang baru saja bertanya dan kemudian mendesah lelah.
“Ah, Isabel, kau selalu terburu-buru. Tidak bisakah bersabar membiarkan pria tua ini menikmati secuil kenikmatan dunia yang masih bisa dicecapnya?”
Gadis belia berambut ikal kemerahan itu tidak bernama Isabel, tapi tak peduli apapun namanya, Oldman akan memanggil semua anak perempuan yang ia jumpai dengan nama Isabel atau Isabella, sebagaimana ia juga akan memanggil anak lelaki manapun dengan sebutan Joseph. Tak ada yang tahu mengapa, tak ada yang ingin tahu bagaimana sejarahnya hingga Oldman begitu memfanatikkan Isabel dan Joseph. Dan tak ada yang pernah keberatan dengan kebiasaannya tersebut.
“Apa aku sudah pernah menceritakan tentang Valarie?”
“Gadis buta yang punya Vegasus bernama Alexa? Ya, Oldman, kau sudah pernah menceritakannya.” Isabel yang lain menjawab cepat.
“Oh, bagaimana dengan Orange Lady?”
“Kau sudah pernah mengisahkannya hingga dua kali, kisah yang tragis, kami tidak ingin menangis lagi,” Joseph menjawab.
Oldman terbatuk, “Ah… tentang Aquamarine?”
“Duyung perempuan buruk rupa.” Muda-mudi itu mulai gusar.
“Sudahkah aku bertutur tentang Penelope dan Rosalie?”
“Aku tidak ingin hidup seperti Penelope dan Rosalie, mereka terlalu bodoh mau bertahan menjadi pelacur dengan segala perlakuan kasar itu…”
“Hemm… ternyata kalian sudah tahu semuanya.”
“Another story, Oldman!” protes Isabel.
“Cerita yang lain?”
Tiga Isabel dan lima Joseph mengangguk serempak, pandangan dan air muka mereka terlihat menuntut.
“Hemm… Aku khawatir tidak memiliki cerita yang lainnya lagi, Isabella…”
Muda-mudi itu siap-siap kecewa.
“Tapi…” dan mata mereka kembali tampak bersemangat, “aku masih ingat sebuah cerita hebat, yang belum pernah kuceritakan pada anak manapun di dunia…”
“Kami yang pertama?” tanya salah satu Joseph.
Oldman mengangguk. “Ya, Joseph, kau dan Isabella yang pertama.”
“Cerita hebat seperti apa? Apakah tentang perang?” Isabel kembali bertanya.
“Sayangnya bukan, Isabella. Tapi yang ini jauh lebih hebat dari cerita perang.” Muda-mudi itu berbinar. “cerita ketika zaman bajak laut, para perompak yang gagah, masih jaya dan menguasai seluruh lautan.”
Hening sesaat.
“Apa akan indah? Atau mungkin menyedihkan seperti cerita Savannah dari Utara?”
Oldman terkekeh, lalu terbatuk-batuk. “Tergantung seperti apa kalian memandangnya nanti…” lalu ia merenung sejenak, “ya, mungkin akan ada beberapa bagian yang seram, tapi tenang saja, aku akan melewatkan bagian tersebut jika kalian tak ingin mendengar.”
“Kami ingin mendengar semuanya,” cetus Joseph yang lain.
“Apa akhir ceritanya bahagia?” Isabel bertanya lagi.
Oldman tersenyum, untuk sedetik matanya yang sudah dijajah rabun seakan tersaput gelembung air. “Kita akan lihat…”
Matahari di pemukiman kumuh itu baru saja tergelincir dari titik tegak lurusnya ketika Oldman memulai kisah bajak lautnya.
*
James Earl Claybourne tidak berpikiran sama sekali kalau buah bibir yang beberapa kali sempat mampir ke telinganya tentang bajak laut yang kerap menimbulkan petaka di lautan akan bersinggungan dengan kehidupannya. Begitupun, ia menganggap tak beralasan dan terlalu mencemaskan hal yang mustahil terjadi ketika ayah dan ibunya memberi ingat dirinya dua hari lalu ketika ia siap berlayar menuju Perancis, negeri tempat ia akan menunjukkan kebolehan yang dimiliki pria muda Claybourne, salah satu kuru bangsawan yang disegani di Britania, di negeri angkuh itu.
‘Di antara banyak bajak laut tak bertata krama di luar sana, Jim… aku berdoa pada Tuhan agar kau tidak sekalipun berpapasan dengan kapal milik Tristan Kovack. Karena jika itu terjadi, mungkin kita tidak akan pernah bertatapan lagi…’
Itu ucapan ibunya ketika James memeluk sang ibu di dermaga saat kapalnya siap mengangkat jangkar. Sedang sang ayah, dengan tersirat mengingatkannya tentang mengapa ia sangat perlu untuk tidak sering-sering berdiri di anjungan, atau bersantai di dekat buritan, di luar kabinnya, juga―tentu saja―untuk menghindari kapal Tristan Kovack yang menurut kabar bisa muncul mendadak seperti mencuat keluar dari laut tanpa disadari.
‘Mungkin kau sudah banyak mendengar tentang betapa anehnya perilaku Tristan Kovack selama ini, Jim. Tapi di saat seperti ini, aku merasa perlu mengingatkanmu lagi, bukan karena berharap kalian akan berpapasan, Tuhan tahu betapa aku tidak suka memikirkan kemungkinan itu, namun apapun bisa terjadi di lautan sana. Kau masih muda, meski tidak pernah mendengar secara langsung, tapi aku tahu bahwa seluruh putri-putri bangsawan di sini membicarakanmu, bahkan gadis-gadis di lingkungan kerajaan, membicarakan dalam arti yang bagus. Dan jika mereka membicarakan dirimu sedemikian berhasratnya, aku yakin Tristan Kovack juga akan setuju dengan apa yang gadis-gadis itu bicarakan jika ia sampai melihatmu. Jadi jangan remehkan ini, Nak… semakin jarang kau meninggalkan kamarmu, maka semakin kecil kemungkinan Tristan Kovack menemukan dirimu.’
Ucapan sang ayah terdengar serius sementara beberapa peti berisi gerabah perak, keping-keping logam mulia dan pakaian-pakaian bagus dinaikkan ke kapal. Semua itu, kata sang ayah―tentu saja, untuk berjaga-jaga jika kapal yang dinaiki putranya berpapasan dengan kapal perompak manapun, peti-peti itu bisa menjadi penyelamat seluruh nyawa di kapal. Oh, well, James memang pernah mendengar keanehan perangai bajak laut sialan bernama Tristan Kovack itu. Tapi bajak laut bodoh mana yang tidak mau menerima peti-peti berharga yang disiapkan ayahnya itu? Bahkan bajak laut yang memiliki ketertarikan aneh kepada pemuda tampan seperti Tristan Kovack pun tentu tidak akan menolak diberikan peti-peti itu. Demikian James beranggapan, jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dan petuah ayah ibunya itu tampak begitu konyol di mata James hingga ia ingin tertawa saja, namun demi kesopanan, ia hanya mengangguk. James tetap berkeyakinan kalau perjalanannya ke Perancis akan seindah yang dibayangkannya selama ini. Satu yang disesalkannya adalah tentang Anne de Vlerre yang tidak bisa dibawanya serta, gadis belia pujaan hatinya itu akan melewati masa penantian yang tidak sebentar sampai ia kembali lagi ke Inggris. James berjanji akan segera menulis surat setibanya ia di Perancis dan akan terus melakukannya untuk gadis itu setiap bulan.
Namun James harus kecewa, perjalanan dari negerinya ke Perancis tidak seindah yang diangan-angankannya.
Bermula dari badai yang mengombang-ambingkan kapalnya hingga nyaris tenggelam malam tadi, badai yang memporak-porandakan tiang kapal tanpa ampun, mengacaukan tali-temali, merobek beberapa layar, menggenangkan lambung kapal hampir setinggi lutut, bahkan nyaris memutuskan nyalinya sendiri untuk meneruskan pelayaran. Setelah semua hal menakutkan itu, pagi ini, dengan baju kusut dan rambut berantakan James berdiri di anjungan, untuk pertama kalinya memerhatikan kekacauan yang diakibatkan badai semalam. Kapten kapal, Sir Nicholas, sudah memerintahkan awak kapal untuk melempar jangkar, kapten paruh baya kepercayaan ayahnya itu juga sudah mengeluarkan perintah untuk mengeringkan dan menambal lambung kapal dan sekarang dengan tampang lelah sedang mengawasi beberapa anak buahnya memperbaiki layar yang rusak.
“Seberapa parah kondisi kapal kita untuk dapat kembali berlayar, Sir Nicholas?”
Kapten kapal itu terlihat kaget mendengar suara di belakangnya. Ia buru-buru berbalik menghadap anak majikannya. “Oh, Duke of Claybourne muda, anda tidak seharusnya berada di sini…”
James selalu merasakan keengganan yang hampir bisa disebut sebagai kemuakan setiap ada orang yang memanggilnya dengan gelar kebesaran sedemikian rupa. Gelar itu masih milik ayahnya. “Tolong, Nicholas, cukup Jim saja. Kau bukan orang lain lagi bagi ayahku.”
Sir Nicholas tampak ragu sejenak sebelum ia menggamit lengan James dan setengah menyeretnya meninggalkan anjungan utama. “Baiklah, Jim, sesuai yang ayahmu pesankan padaku, kau tidak boleh berkeliaran sampai ke sini. Demi kebaikan kita semua, kembalilah ke kabinmu. Aku akan menyuruh Raffael mengantar sarapanmu…”
“Oh, tolong, Nick, jangan katakan padaku tentang hal konyol itu lagi. Aku sudah kenyang mendengarnya sebelum naik ke kapal.” James menyingkirkan tangan Nicholas dari lengannya, “Kamarku luas hingga nyaris mengambil setengah bagian kapal, tapi jika sudah dua hari di sana tanpa memandang langit, kau akan merasa betapa membosankannya ruangan itu.” James balik badan, siap untuk kembali ke tempatnya semula berdiri. “untuk sepuluh menit saja, setelah itu kau bisa menyuruh Raffael mengantarkan apapun.”
Nicholas menghela napas panjang sambil memerhatikan anak majikannya mengabaikan perintah halusnya. “Setelah sepuluh menit ke depan, pastikan dirimu sudah tidak lagi berada di sini, Jim.”
“I will…”
Siapa yang tahu apa yang bisa diakibatkan oleh waktu selama sepuluh menit itu?
*
“Oldman, apa Duke Claybourne itu sangat tampan?”
Salah satu Isabel menginterupsi Oldman yang mulai bersandar ke dinding di belakangnya. “Bayangkan pemuda paling tampan yang bisa dipikirkan kepalamu, Isabel, maka begitulah Jim ini.”
“Mengapa dia harus ke Perancis?” Isabel yang lain lanjut bertanya.
“Karena Raja Inggris mengutusnya sebagai hadiah kehormatan untuk Raja Perancis.”
“Apa yang akan dilakukan Jim di sana?” kali ini Joseph.
“Memperindah seluruh ruangan di Istana Perancis, itu adalah bakat yang tidak dimiliki banyak pria muda di zaman tersebut.”
“Lalu, apa yang terjadi setelah sepuluh menit?” Joseph yang sama lanjut bertanya.
“Hal yang tak pernah terlintas dalam kepala seorang James Earl Claybourne…”
*
James baru saja selesai berpakaian ketika Raffael mengetuk pintunya. Mengabaikan untuk meminyaki rambutnya, James memilih untuk menunda menyelesaikan agenda merapikan dirinya dan menyambut sarapannya terlebih dahulu dengan rambut masih berantakan.
“Kenapa kau mau bekerja di kapal di usia semuda ini, Raffael?” James bertanya pada bocah sepuluh tahun yang mulai menata sarapannya di atas meja.
Raffael, yang memiliki bola mata secemerlang venus memandang tuan kapalnya sekilas di sela-sela tangan cekatannya mengatur piring dan mangkuk. “Ayahku meninggal setahun yang lalu, Tn. Claybourne.” James menyesal telah bertanya. Tapi anak bernama Raffael sepertinya tipe pribadi yang extrovert, ia tidak berhenti menjawab sampai di situ. “Ibuku seorang buruh cuci biasa. Yang disayangkan adalah, ayahku memberinya satu anak laki-laki dan empat anak perempuan yang bahkan belum bisa mencuci pakaian mereka sendiri. Upah yang diterima ibuku sangat jauh dari cukup untuk memberi makan bahkan sebagian dari kami…” Raffael diam sejenak, “Aku anak laki-laki tua di keluargaku, ibu dan saudara-saudara perempuanku membutuhkanku lebih dari diriku sendiri membutuhkan diriku…”
James memandang anak di depannya yang masih terus menata makanannya. Sejauh ini sudah beberapa kali Raffael mengantar makan untuknya, tapi baru pagi ini mereka terlibat percakapan. “Duduklah, dan makan bersamaku.”
Raffael berhenti dari pekerjaannya dan mendongak, cawan terakhir yang hendak diletakkannya ke atas meja berhenti di udara. “Tn. Nicholas akan punya alasan bagus untuk memecatku jika itu kulakukan, Tn. Claybourne.”
“Tidak jika aku yang memecatnya lebih dulu.” James menarik kursi buat dirinya sendiri lalu duduk, setelahnya ia menjangkau cawan dari tangan Raffael dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan anak itu. “Duduklah, Rafy.” James melirik anak yang masih mematung di depannya, “Boleh kupanggil kau Rafy?”
“Itu panggilan yang bagus, Tn. Claybourne.”
“Tidak ada yang memanggilmu demikian sebelumnya?”
“Ibu dan saudaraku memanggilku Rafe.”
“Baiklah, Rafe, mulai saat ini kapanpun aku harus makan di kapal ini, kau juga akan ikut makan bersamaku. Dan itu dimulai dari saat ini, sekarang duduklah!”
Raffael terlihat terkejut. “Tn. Claybourne, aku ti…”
“Atau kau lebih suka bekerja di tempat lain? Aku bisa menyuruh Nicholas meninggalkanmu ketika ia berlayar kembali ke Inggris. Mana yang lebih kau sukai? Makan bersamaku atau menjadi gelandangan di Perancis?” James ingin tertawa melihat betapa pucat pasinya wajah anak di depannya. Sungguh, demi malaikat di surga ia sama sekali tidak punya niat untuk menyuruh Nicholas melakukan apa yang baru saja diutarakannya jika Raffael bersikeras menolak.
“Mungkin aku akan merusak selera makan anda, Tn. Claybourne.”
“Selama kau tidak memuntahi meja, hal itu tidak akan terjadi.”
Dengan canggung, Raffael menarik kursi dan duduk. Selanjutnya, James menyadari kalau anak di depannya tidak benar-benar bisa menggunakan sendok dan garpu dalam masa bersamaan.
James berdiri dan memutari meja, “Seharusnya benda ini akan menjadi mudah untuk digunakan sekaligus jika kau memegang mereka dengan cara yang benar, Rafe.” James merasakan tangan Raffael sedingin es ketika ia mengajari anak itu cara menggunakan garpu dan sendok secara bersamaan.
Lalu bunyi terompet membahana nyaring di seantero kapal. James batal menyuap potongan daging ke dalam mulutnya. Sayup-sayup ia mendengar kehebohan di luar kamarnya. Beberapa saat kemudian kapalnya mulai bergerak. Sepertinya Nicholas baru saja memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat jangkar. Apa kondisi kapal mereka sudah berhasil dipulihkan? James bertanya-tanya. Ia menahan keinginan untuk keluar mengecek dan setengah hati meneruskan sarapannya. Namun belum pun sempat menelan daging kunyahannya, terdengar bunyi ledakan di kejauhan dan beberapa detik kemudian kapal yang ditumpanginya bergetar hebat seperti baru saja dihantam sesuatu yang besar, dan kuat.
Raffael berteriak ketika kapal oleng beberapa derajat ke sisi kanan. James sontak berdiri dan menahan benda-benda di atas meja agar tidak meluncur jatuh, meski tidak sepenuhnya berhasil.
Pintu kamar terbuka, di sana berdiri Nicholas dengan tampang pias.
“Apa yang baru saja menabrak kapal kita, Nick?” James bertanya tak sabar.
“Kita diserang.” Jawaban Nicholas terdengar seperti halilintar di siang bolong. “Apapun yang akan terjadi, Jim, jangan tinggalkan kamarmu. Berpikirlah untuk sembunyi…” lalu ia memandang Raffael yang sedang menahan piring agar tidak menyusul beberapa gelas yang sudah bergulingan di lantai kapal. “Berdoalah, Nak, dengan sungguh-sungguh.”
“Nicholas…!” James berteriak memanggil, tapi kapten kapalnya sudah menutup pintu.
James menyadari kalau pintu kamarnya dikunci Nicholas dari luar. Untuk sesaat ia saling berpandangan dengan Raffael yang bibirnya mulai gemetar, entah karena sedang melaksanakan perintah Nicholas untuk berdoa atau karena anak itu sedang berada dalam ketakutan yang amat sangat. Dan James tidak bisa memungkiri kalau saat ini ia juga sedang takut.
Kapalnya diserang di tengah lautan.
Bajak laut.
Tentu saja.
Mereka berpapasan dengan salah satu kapal bajak laut.
Tapi bajak laut yang mana?
Nicholas menyuruhnya sembunyi.
Tristan Kovack.
Kenapa ia perlu sembunyi kalau bukan Bajak Laut Tristan yang berpapasan dengan kapalnya?
Raffael terpekik ketika sekali lagi suara letusan membahana dan terdengar lebih dekat yang langsung diikuti dengan kapal yang bergetar hebat dan kemiringan yang makin parah hingga mereka berdua harus merelakan semua benda di atas meja jatuh berhamburan. Jika tadi saat serangan pertama kapalnya masih bisa bergerak meski tidak cepat, setelah serangan kedua ini, James menyadari kalau kapalnya benar-benar berhenti. Di tengah-tengah lautan yang maha luas.
Ucapan ayah ibunya menjelang keberangkatannya dan semua desas-desus serta kabar tentang keganasan bajak laut yang pernah didengarnya selama ini terngiang bertindihan di kepala James, ia mulai dibungkus kengerian.
Lalu James bergidik ketika di atas kapalnya, tepat di luar kamarnya, keributan hebat mulai terjadi. Suara pedang yang saling beradu ditingkahi letusan senapan. James membayangkan kalau Nicholas dan anak buahnya sedang terlibat bentrok langsung dengan para bajak laut. Kenapa Nicholas tidak menawarkan peti-peti itu? James bingung menemukan jawaban untuk pertanyaannya sendiri.
“Tn. Claybourne, anda harus sembunyi.” Raffael berseru ketika keributan di luar makin menjadi-jadi.
James tersadar. “Kita berdua harus sembunyi, Rafe. Setauku bajak laut tidak membuat pengecualian untuk anak-anak.” James baru saja memutuskan kalau bajak lautlah yang sedang menyerang kapalnya.
“Tidak, kalau anda sembunyi, mereka akan mengira bahwa ini kamarku jika mereka sampai mendobrak kemari. Kalau mereka tidak menemukan satupun orang di dalam kamar megah ini, mereka akan terus mencari dan kita berdua pasti akan ditemukan.” Raffael menanggalkan kostum luar pelayannya, menjejalkannya ke bawah kolong tempat tidur James lalu membuka lemari pakaian James dan segera menemukan apa yang dicarinya. Syal bagus berumbai-umbai benang emas segera dililitkan ke lehernya. “Maafkan aku untuk kelancanganku ini, Tn. Claybourne…” Raffael selesai menyampirkan mantel beludru milik James ke bahu kurusnya dan terakhir menutupi kepalanya dengan topi hitam berhias bulu burung tiga warna.
James tidak yakin dengan rencana pengantar makanannya itu, dua benda yang sedang dikenakan Raffael untuk menyamar―kecuali syal rumbai emas―sangat jelas terlihat kebesaran untuknya. Siapapun yang melihat Raffael pasti akan langsung tahu kalau apa yang dikenakan anak itu adalah pakaian milik orang lain.
“Tn. Claybourne, tunggu apa lagi? Lekaslah sembunyi.”
Saat Raffael mengingatkan dengan berbisik nyaring, James baru menyadari kalau keributan yang berlangsung beberapa menit lalu di atas kapalnya sudah mereda dan sekarang digantikan dialog-dialog serta suara tawa dan sesekali bentakan kasar yang hanya bisa didengar James sayup-sayup dari kamarnya. Apa Nicholas berhasil mempecundangi bajak laut itu? Apa peti-peti itu berhasil membujuk mereka? Atau sebaliknya, kapalnya sudah berhasil ditaklukkan dalam waktu tak sampai tujuh menit. Dari tawa-tawa asing di luar sana, kemungkinan terakhir adalah yang paling mungkin terjadi.
James merinding. Sekarang ia sungguh-sungguh berharap kalau bukan Bajak Laut Tristan Kovack yang sedang berada di atas kapalnya.
“Tn. Claybourne, apa yang anda tunggu? Tidakkah anda sadar kalau mereka sedang memeriksa seluruh sudut kapal?”
Samar-samar James bisa mendengar suara hentakan sepatu di lantai kapalnya, makin lama makin kentara. Ada seseorang yang sedang menuju ke kamarnya. Tidak menjawab Raffael, ia berjuang melawan kemiringan dan mendorong lemari buku yang berdiri di samping lemari pakaian ke arah pintu, untuk itu ia harus mendorong benda tersebut melintasi ruangan. “Rafe, bantu aku.”
Raffael mengerti dan segera membantu James mendorong lemari buku ke arah pintu. Tidak cukup dengan itu, James mendorong meja makannya juga. Di saat-saat seperti ini, James menyesal mengapa ia tidak memiliki sepucuk senjata pun.
“Sekarang sembunyilah, Tn. Claybourne!”
James menimbang-nimbang antara kolong tempat tidur dan lemari pakaiannya. Sedetik kemudian ia sudah melesat ke dalam lemari pakaian, berdiri dengan keringat dingin yang mulai memercik di pelipis. James bersembunyi sementara seorang anak kecil menjadi tameng untuk nyawa pengecutnya. Sungguh memalukan, terlebih itu dilakukan oleh pria berdarah biru seperti dirinya. Dari celah pintu lemari, James bisa melihat bahu Raffael gemetar. Anak itu, tentu saja, sangat takut, tapi demi melindungi tuannya ia harus bertindak berani. James menggigit bibirnya, saat ini ia merasa sedang berada di titik terendah hidupnya.
BRAAAKKK
Lemari buku dan meja nyaris tumbang. Dengan kemiringan sedemikian rupa, tentu saja tidak perlu usaha keras untuk membuat kedua benda itu menjauh dari pintu. Namun pintu yang masih berada dalam keadaan terkunci sedikit memperlama usaha mendobrak yang sedang dilakukan siapapun bajingan di balik pintu tersebut.
BRAAAAKKKK
James menahan napas ketika untuk sekali lagi si pendobrak beraksi. Meja meluncur kembali ke tengah ruangan disusul lemari buku yang tumbang kemudian.
BRAAAAAKKKKK
Pada dobrakan ketiga, pintu terpentang menganga. Raffael sampai terlonjak di tempatnya berdiri gemetar.
Dari celah pintu lemari, James menemukan seorang lelaki tinggi besar dengan brewok meranggas sangar berdiri pongah di ambang pintu. Sepucuk senapan melintang di dadanya. Apa dia bangsatnya yang bernama Tristan Kovack, atau dia salah satu dari sekian deret perompak yang merajalela di lautan bumi ini? James merasa sendi-sendi kakinya hilang seketika ketika orang di ambang pintu membentak Raffael dengan gelegar suara mengerikan.
“DIMANA PRIA ITU, BOCAH?!?”
Raffael tidak menjawab.
“ATAU KAU LEBIH SUKA AKU MENCARINYA SENDIRI, HAH?!?” moncong senapan menyasar kepala Raffael.
“Ti-tidak ada orang lain di kamar ini se-selain aku…”
James setengah mati berharap pria menyeramkan di ambang pintu percaya pada keterbataan ucapan pelayannya.
Senapan dikokang. “Oh, sayang sekali, bocah, sepertinya kau lebih suka aku mencarinya sendiri.”
“Not today, Frankenstein, sudah cukup senapanmu menyalak hari ini. Ayo, berbelaskasihanlah pada anak malang itu.”
Satu sosok melangkah keluar dari balik badan besar pria yang dipanggil dengan Frankenstein tersebut. Dari celah pintu lemari pakaiannya, James memerhatikan dengan keringat yang mulai meluncur. Ia menerka kalau pria yang baru saja muncul di kamarnya itu adalah bos si pria besar bersenapan yang masih bersiaga di ambang pintu, kalaupun bukan bos, tentu jabatan si pria besar bersenapan berada di bawah pria yang baru saja muncul, terbukti ia tidak jadi membuat lubang di kepala Raffael.
Pria kedua berjalan tegap dengan langkah lebar mendekati Raffael dan berdiri satu langkah di hadapan anak itu. Sebelum kembali bersuara, pandangannya mengitari kamar dan berhenti lama ketika menatap lemari. Tatapan tajamnya seakan mampu menembus dinding baja dan melihat apapun yang ada di baliknya dengan jelas. James merasakan jantungnya meluncur ke perut dan masih di sana sampai pria itu menunduk memfokuskan pandangannya pada Raffael.
“Siapa namamu, Nak?”
“Raffael. Kapal ini milik ayahku.” Di dalam lemari, James bersyukur kali ini Raffael berhasil menjawab tegas.
Pria di depan Raffael terlihat mengulum senyum. “Ah, ternyata kau yang masih muda lebih berani daripada tuanmu yang bersembunyi layaknya tikus pengecut.”
Di persembunyiannya, James merasakan darahnya mendidih. Seumur-umur, belum ada yang berani menghinanya sedemikian rendahnya.
“Aku satu-satunya tuan di kapal ini,” tukas Raffael.
“Tristan, hajar saja bocah pembohong itu!” pria tinggi besar di ambang pintu bersuara lantang.
Di dalam lemari, darah James seperti tersirap. Ia tidak mungkin salah dengar. Pria tinggi besar bertampang seram baru saja memanggil pria kedua yang lebih rapi dengan sebutan Tristan. Tristan Kovack. Ternyata yang sedang berada di atas kapalnya benar-benar bajak laut itu. Kini James memfokuskan pandangan sepenuhnya pada sosok di depan Raffael.
Selama ini, orang-orang hanya membicarakan perangai Tristan Kovack, keganasannya terhadap kapal-kapal malang yang menjadi korbannya, tapi tidak pernah membicarakan seperti apa tampangnya. Dan James harus mengakui kalau sosok Tristan Kovack sama sekali jauh dari kesan bajak laut sangar yang selama ini dibayangkannya sebagai pria dengan sebelah mata tertutup, rambut kusut menjela hingga dada, kumis melenting dan jambang keriting awut-awutan. Tristan Kovack sama sekali tidak seperti itu, jika tidak melihatnya di lautan tetapi di bandar atau tempat lain selain di tengah lautan, James pasti akan mengira kalau pria itu adalah bangsawan kaya raya. Ya, Tristan Kovack memang mengenakan topi lebar dengan pinggiran tergulung di bagian depan, lengkap dengan gambar tengkorak dan tulang bersilang, tapi di atas kepalanya, properti itu tampak sangat elegan. Kedua tangannya utuh, tidak tersambung besi berpengait seperti yang selama ini disangkakan orang-orang. Satu yang cocok dengan bayangan James adalah, Tristan Kovack memiliki tubuh jangkung dan kulit kecoklatan hasil tempaan sinar matahari.
Dengan tatapan tajam dinaungi alis tebal lurus dan rahang persegi serta bulu tipis disekitar dagu dan di bagian atas mulutnya, James harus mengakui kalau Tristan Kovack adalah pria yang menawan, amat sangat menawan untuk ukuran seorang bajak laut.
Sedetik kemudian, James merinding ketika mengingat perilaku aneh Tristan Kovack. Ia mulai mencemaskan nasibnya bila bajak laut itu sampai menemukannya.
“Baiklah, Frankenstein, aku juga tidak begitu suka pada kebohongan, terlebih bila dilakukan oleh anak-anak demi melindungi seorang pengecut.” Tristan Kovack mundur beberapa tindak, “kuserahkan anak bernama Raffael ini padamu.”
Sebenarnya, disebut sebagai pengecut oleh Tristan Kovack hingga dua kali sangat membakar amarah James, namun rasa takut mengalahkan amarah itu. James kian berdebar ketika melihat seringai di wajah pria sangar yang mulai meninggalkan ambang pintu untuk mendekati Raffael, dengan senapan siap ditembakkan. James tidak bisa melihat wajah Raffael karena pelayannya itu membelakanginya, tapi James yakin kalau Raffael pasti sedang pucat pasi. Siapapun pasti akan begitu jika berhadapan dengan situasi dimana batas antara hidup dan mati hanya berjarak satu letusan peluru saja.
*
“Oh, Tuhan…” Isabel berambut pirang lurus menutup mulutnya dengan kedua tangan, “Apa ia akan menembak Rafe?”
Oldman merenung pada salah satu pendengarnya itu. “Bagaimana menurutmu, Isabella? Apa Frankenstein akan membunuh anak itu?”
“Aku yakin Rafe akan menjadi tokoh yang bertahan,” yang menjawab adalah Joseph pembawa roti.
“Mengapa kau bisa seyakin itu?” Oldman memandang Joseph yang baru saja bersuara.
Joseph mengedikkan bahu, “Aku hanya yakin saja.”
“Menurutku, James tidak akan membiarkan teman mudanya itu dibunuh bajak laut.”
Oldman tersenyum mendengar ucapan Isabel yang duduk paling dekat dengannya. “Teman muda…” ia menggumam kepada dirinya sendiri. “apa yang membuatmu berpikir kalau James tidak akan membiarkan Rafe dibunuh, Isabella?”
“Entahlah, kurasa James sudah menganggap Rafe sebagai temannya sejak ia meminta Rafe untuk sarapan bersamanya. Dan… seorang teman pasti tidak akan membiarkan temannya mati demikian mudah di hadapannya.”
Oldman tersenyum. “Bagaimana dengan teman yang rela berkorban demi melindungi temannya? Tidakkah kau berpikiran kalau Raffael sudah siap berkorban ketika ia memutuskan untuk tidak ikut bersembunyi dengan James?”
Isabel terdiam. “Mungkin saja James yang akan berkorban demi Rafe, dengan menyerahkan diri sebelum Frankenstein menarik pelatuk senapannya.”
Oldman kembali tersenyum. “Yah, kau bisa jadi benar Isabella… tapi mungkin juga salah…”
*
Ucapan Raffael mengiang di telinga james, membuat dadanya berdentuman dan nuraninya bergolak. Sementara itu, orang bernama Frankenstein kian mendekati si malang Raffael. James memejamkan matanya.
‘Ibuku seorang buruh cuci biasa…’
‘Ayahku memberinya satu anak laki-laki dan empat anak perempuan… ‘
‘Upah yang diterima ibuku sangat jauh dari cukup untuk memberi makan bahkan sebagian dari kami…’
‘ibu dan saudara-saudara perempuanku membutuhkanku lebih dari diriku sendiri membutuhkan diriku…’
James tidak akan memaafkan dirinya sendiri seumur hidupnya yang mungkin hanya akan bertahan sampai Tristan Kovack memerintahkannya melompat ke laut, jika sampai membuat Raffael mati demi menyelamatkannya. Ya, memang selalu ada kemungkinan bagi Raffael―bahkan semua awak kapalnya, juga dirinya sendiri―untuk mati di atas kapal ini sejak sekarang, namun James tidak mau menjadi penyebab kematian bagi Raffael dan orang-orangnya itu, tidak jika itu terjadi demi melindungi dirinya.
Jadi, inilah yang James harus lakukan, melangkah menentukan nasibnya yang hanya Tuhan saja yang tahu akan menjadi seperti apa di tangan seorang Tristan Kovack. James yakin dengan pasti bahwa dirinya akan bernasib sama dengan banyak pemuda korban Tristan Kovack yang pernah diceritakan orang-orang di daratan, namun ia masih berharap Tuhan mau berbelas kasih dengan memberinya sebuah pengecualian, sebuah keajaiban.
James membuka mata bertepatan dengan seringai menakutkan di wajah Frankenstein.
“JANGAN GANGGU ANAK ITU, BEDEBAH… BUKAN DIA YANG KALIAN INGINKAN…!!!
Gelegar suara James menggema dalam kamar, pintu lemari nyaris terlepas karena ditendangnya ketika melangkah keluar.
“Tn. Claybourne, anda gegabah sekali.” Raffael berseru pada tuan mudanya.
“Menyingkirlah Rafe, jangan korbankan dirimu pada bangsat-bangsat ini. Bagaimanapun, mereka akan menemukanku.”
James menangkap seringai yang nyaris berupa senyum dikulum di wajah Tristan Kovack, pria itu berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, sangat santai, seakan dirinya sudah sering berhadapan dengan situasi seperti ini. Oh ya, tentu saja ia sudah tidak asing dengan situasi serupa ini.
“Hemm… Tn. Claybourne, ternyata kau tidak sepengecut yang kusangkakan.” Sekarang Tristan Kovack tersenyum sinis, ia pasti tahu nama belakang James dari seruan Raffael.
“Manusia rendah sepertimu tidak berhak bicara padaku!”
Dan Tristan Kovack terbahak kencang, diikuti Frankenstein kemudian. James mendidih sudah, ingin saja ia menerjang pria di depannya, menghajarnya hingga mati. Tapi senapan yang masih siaga di tangan Frankenstein membuatnya harus berpikir dua kali.
“Nanti akan kubuktikan langsung padamu, Claybourne muda, kalau aku punya hak daripada sekedar bicara atasmu!” Tristan Kovack menatap James dengan tatapan tajamnya.
James seperti disiram air es, air es yang langsung dicairkan dari es abadi di kutub. Ia menggigil membayangkan maksud dari kalimat dingin Tristan Kovack.
“Persilakan Tn. Claybourne ke kapal kita, Frank…” Tristan Kovack berbalik setelah mengeluarkan perintah dan siap melangkah meninggalkan kamar.
“Aku tidak akan naik ke kapalmu!”
“Jika kau kesulitan, Frank, aku tidak akan keberatan kalau kau membawa Tn. Claybourne ke kapal kita dengan cara diseret setengah pingsan.” Tristan Kovack tidak berbalik sama sekali ketika berkata, bahkan ia tidak menolehkan kepalanya. Kalimatnya memang ditujukan pada Frankenstein, tapi James tahu kalau kalimat itu juga ditujukan buatnya, lebih ditujukan buatnya.
“Aku yakin dia akan pingsan hanya dengan satu kali hajaran.” Frankenstein maju untuk mendekati James, ia melewati Raffael. Tristan berjalan ke pintu, yakin sepenuhnya kalau Frankenstein bisa menangani James sendirian.
“Tn. Claybourne, lari…!!!”
Semua terjadi sangat cepat. Raffael melompat ke punggung Frankenstein dengan piala di tangan. Ia memungut benda itu dari lantai tanpa sempat disadari orang-orang di dalam kamar itu. Tadinya piala itu berisi anggur. Sangat cepat pula, Raffael menghantamkan piala itu batok kepala Frankenstein hingga pria itu terhuyung-huyung dengan pelipis berdarah.
James terbeliak, tidak menyangka kalau Raffael nekat melakukan tindakan tak terduga itu.
Tristan berbalik tepat di ambang pintu. Sama seperti James, ia juga terlihat tak percaya.
“Bocah keparat, kau akan merasakan akibatnya!” Frankenstein mengangkat senapannya.
Raffael terkesiap, tak ada jalan untuk sembunyi.
“Tidak, Rafe…!” James berlari.
DOR
“Arrgghhh…”
PAMM
James tersungkur setelah dihantam gagang senapan Frankenstein. Ia menerjang pria itu tepat pada waktunya, sayangnya harus dibayar dengan bogeman. Tapi setidaknya Raffael selamat dari hajaran peluru.
Tunggu.
James ternganga dengan mulut berdarah. Lima langkah di depannya, Raffael sedang meringis sambil memegangi bagian pergelangan kaki kirinya yang berdarah. Senapan itu tidak sepenuhnya meleset dari menyasar sosok Raffael, sebutir peluru kini bersarang di kaki bocah itu. Tapi Raffael sudah cukup beruntung, tadinya senapan di tangan Frankenstein tepat menyasar dadanya. Usaha James, meski tidak sepenuhnya berhasil, setidaknya sudah menyelamatkan nyawanya untuk kali ini.
“Rafe…” James merangkak mendekati Raffael, merobek lengan kemejanya dan dengan sigap melilitkan robekan itu ke pergelangan kaki kiri Raffael.
Bunyi kokangan senjata kembali terdengar, membuat tengkuk James kembali dingin.
“Frankenstein, cukup.”
James menoleh pria di ambang pintu. Untuk sejenak mereka saling bertatapan. Kebencian menyertai tatapan James. Kebencian yang makin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian Tristan Kovack menyeringai padanya.
“Kali ini kau selamat bocah, tapi jangan harap keberuntunganmu berulang hingga dua kali!” ancam Frankenstein sambil mengistirahatkan senapannya. Luka di pelipisnya tak digubris sama sekali.
“Demi kebaikanmu sendiri Tn. Claybourne, naiklah ke kapalku. Aku tidak yakin bisa mencegah pria bengis ini lebih lanjut jika kau tetap bersikeras menolak.” Tristan Kovack menunjuk Frankenstein lalu berbalik dan mulai melangkah.
Frankenstein memegang lengan atas James dan menariknya dengan kasar untuk berdiri.
“Biarkan aku menolong anak ini…”
“Kau bahkan tidak bisa menolong dirimu sendiri saat ini, Bangsawan!”
“Tidakkah kau lihat? Dia tak bisa berjalan, biarkan aku membantunya.”
“Kau juga tidak berada dalam posisi bisa tawar-menawar, Claybourne!” sengit Frankenstein.
“Tn. Claybourne, tak apa, aku bisa sendiri…”
“Frank, biarkan dia menolong anak itu.” Tristan Kovack bersuara dari lorong.
James merunduk untuk memapah Raffael, anak itu berjalan terpincang-pincang. Frankenstein mengawal mereka dari belakang.
James kaku begitu tiba luar, kapalnya hancur-hancuran. Tiang-tiangnya tak ada lagi yang berdiri tegak, tak ada layar yang terkembang, secara keseluruhan, kapalnya siap tenggelam. Yang paling menyedihkan adalah keadaan Nicholas dan anak buahnya, mereka tak berdaya di bawah intimidasi anak buah Tristan Kovack, semuanya lesu dengan wajah babak belur, beberapa ada yang meringis dengan luka di lengan atau kaki. James menghitung dengan cepat dan merasa lega tidak menemukan satu mayat pun dari awak kapalnya.
James bertatapan dengan Nicholas beberapa saat yang berada dalam keadaan tangan terikat ke belakang dan tali membelit mulut. Selain Nicholas, beberapa orang bawahannya juga berada dalam keadaan yang sama. James mengalihkan pandangan dari Nicholas ketika kapten kapalnya itu menunduk seakan menyesal. Sekarang ia memandang peti-peti yang mulai dipindahkan para perompak ke kapal mereka, peti harta yang disiapkan ayahnya. James memerhatikan kapal besar nan megah namun terkesan menyeramkan dengan banyak layar hitam dan bendera bajak laut berkibar di ujung tiang utama yang bersisian dengan kapalnya. Demikian besarnya kapal itu hingga membuat kapal James yang sudah setengah karam tampak seperti sebuah perahu nelayan.
“Kau sudah mendapatkan peti-peti itu, mengapa tidak bebaskan saja kami?”
Dan semua perompak terbahak kencang mendengar ucapan James yang ditujukan pada Tristan.
“Maksudmu, membebaskan mereka untuk tenggelam bersama kapal ini?” Tristan Kovack menyeringai, “Mengapa kau tidak memberi kesempatan kepada orang-orangmu untuk hidup lebih lama? Mereka bisa menjadi budak di kapalku ketimbang bunuh diri dengan bertahan di kapal ini.”
Menjadi budak. James mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Ia memandang Nicholas, kapten terhormat berdedikasi yang dimiliki ayahnya dan sudah dianggap bagai kerabat, membayangkan orang-orang seperti Nicholas menjadi budak membuat James berduka.
“Kumohon, aku meminta belas kasihanmu, Tristan…” untuk pertama kalinya James menyebut nama depan bajak laut itu. Tristan memandang James dengan pandangan tak terbaca. “Kau boleh membawaku, tapi bebaskan mereka saat kapalmu berlabuh di dermaga paling dekat dari sini.”
Para perompak kembali terbahak.
“Aku memang sudah berniat membawamu, Tn. Claybourne, sejak melihatmu melalui teleskopku tadinya, aku memang sudah berniat membawamu.” Tristan mendekat pada James, “sepuluh menit melihatmu di sini sudah lebih dari cukup bagiku memutuskan untuk mencurimu dari kapalmu, Tn. Claybourne.”
Seringai Tristan membuat James bergidik. Ayahnya benar. Seharusnya ia tidak pernah mendekati anjungan, bahkan seharusnya ia tidak pernah melewati pintu kamarnya sekalipun selama pelayaran. James telah melakukan dua kesalahan fatal. Kesalahan pertamanya adalah, satu kali berdiri di anjungan, dan kesalahan keduanya adalah dengan membiarkan kesalahan pertamanya berlangsung hingga sepuluh menit. James menyesali tindakannya sendiri.
Sekarang Tristan membungkuk ke arah James, untuk membisikkan kalimatnya. “Kau meminta belas kasihanku, Tn. Claybourne, maka kau akan mendapatkannya.”
James kaku sementara napas Tristan menghembus kulit wajahnya. Pria itu masih berdiri terlalu dekat dengannya beberapa saat kemudian sebelum berbalik pada para perompak anak buahnya.
“Bawa orang-orang itu ke kapal dan kurung mereka! kita akan lihat nasib apa yang akan diputuskan Tn. Claybourne terhadap mereka nantinya, menjadi tahanan… atau menjadi budak di Black Sail!” Tristan berseru memberi perintah.
Dan para perompak bersorak-sorai sambil mulai menggiring Nicholas dan orang-orangnya.
James melihat Raffael diseret seorang perompak. Mereka menyeberang melewati papan yang diletakkan sebagai jembatan antara kapalnya dan kapal Tristan. Semua orang masuk ke Black Sail melalui pintu kecil di bagian atas lambung kapal bajak laut itu. James memandangi kapal ayahnya sebelum Frankenstein mendorongnya untuk berjalan mengikuti Tristan. Mereka jadi orang terakhir yang menyeberangi papan.
*
Oldman menatap para pendengarnya, tersenyum pada Isabel di dekatnya lalu beralih memandang Joseph yang memberinya roti. “Joseph, kalau kau berada di posisi James, apa kau sanggup mengajukan pengorbanan dirimu demi orang-orang yang pada posisi sebenarnya adalah bawahanmu dan tidak benar-benar kau kenali?”
Joseph yang ditanya terlihat berpikir, “Tapi pada kasus James, berkorban atau tidak berkorban, peruntungan orang-orang di kapal itu bahkan peruntungannya sendiri sudah tentu buruk.”
Oldman tersenyum sambil menggeleng, “Tidak, Joseph… bukan itu intinya. Kau harus melihatnya dari sudut pandang James, bukan dari fakta bahwa mereka semua adalah tawanan yang bebas diperlakukan sesuka Tristan. James memikirkan nasib orang-orangnya, bahwa pada dasarnya Tristan hanya menginginkannya. Kau harus melihat dari sisi dimana James berusaha untuk membebaskan orang-orangnya dan memposisikan dirinya sebagai penjamin untuk mereka, terlepas dari usahanya berbuah hasil yang diharapkan atau tidak sama sekali. Bukankah lebih baik, mengorbankan kehidupan satu orang demi membebaskan banyak kehidupan lainnya?”
“Oldman, kau tidak segila yang orang-orang katakan. “ Joseph yang duduk paling ujung sebelah kiri menukas.
Oldman terkekeh, “Pada dasarnya, semua manusia itu gila, Joseph. Kita bisa memilih menunjukkannya atau memendamnya…”
“Jadi, kau menunjukkannya pada orang-orang itu dan memendamnya dari kami?” Isabel berambut ikal kemerahan bertanya.
“Aku tidak mengatakan demikian, Isabel…”
“Apa yang akan dilakukan Tristan pada James?” Joseph yang sedari tadi mendiamkan diri bermaksud mengembalikan Oldman dan teman-temannya ke cerita.
“Hemm… mungkin kalian tidak mau mendengar bagian itu…”
“Jangan lompatkan alurnya, Oldman…”
“Iya, jangan lompatkan!”
Oldman terkekeh, “Ah, aku khawatir tidak mengingat semua detilnya…”
*

selengkapnya kunjungi http://www.algibrannayaka.wordpress.com
Share:

0 komentar: