Selasa, 20 Desember 2016

Elang Senja dan Langit Biru (Part I)


ELANG SENJA DAN LANGIT BIRU (PART I)

Elang_Senja_Dan_Langit_Biru_Coverr





a fiction by Nayaka Al Gibran featuring Ardhinansa Adiatama
#################################################
CUAP2 NAYAKA
Salam, Fellas…
Niat awalnya, ini adalah sebuah cerita pendek tak lebih dari sepuluh atau dua belas ribu kata. Tapi ternyata menulis bersama Ardhinansa Adiatama begitu mengasyikkan─terutama jika dilakukan di atas tempat tidur sambil berbagi camilan dan sesekali melirik penuh arti satu sama lain setiap kali jari-jemari bersentuhan di atas keyboard─hingga niat awal itu bergeser jauh sekali dan menghasilkan tak kurang dari dua puluh ribu kata. 20.000 kata? Waow…!!!
Jadi, aku yakin, kalau kalian adalah salah seorang PLU, mustahil tidak kenal Ardhinansa Adiatama, maksudku, bukan orangnya, tapi tulisannya. Serius, Fellas, kalau kamu belum kenal Ardhinansa Adiatama, kusarankan kamu tak perlu buang-buang waktu untuk membaca postingan ini yang sudah terkontaminasi coretanku, tinggalkan tab ini dan burulah coretan-coretan Ardhinansa Adiatama yang original, full punya dia dari A hingga Z, lalu jatuh suka-lah. Hal itu dulu terjadi padaku. Kalian pikir kenapa aku mau mengajaknya menulis bersamaku? Tentu saja karena aku dulu jatuh suka pada tulisannya. Maka dari itulah aku menggodanya untuk mau naik ranjang dan mengetik berdua denganku, dengan tujuan yang sudah sangat jelas, memperbagus ceritaku. Hohoho.
Terima kasih yang sangat istimewa kukhususkan buat temanku Yuda @kaktusius Agustian atas kover cantiknya lagi. Ini beneran, Yud, kalau jumpa nanti ingatkan aku untuk membayarimu makan kuaci.
Well, karena Elang Senja Dan Langit Biru terlalu panjang untuk dipublish dalam satu postingan, maka akan kucicil sebagian dulu (aku menyebutnya SIDE A), sebagian lainnya (yang kunamakan SIDE B) akan segera menyusul, tergantung respon di Side A sih sebetulnya. Kalau respon untuk Side A bagus, ya mungkin akan kupublish sisanya. Kalau sebaliknya, mungkin Side A ini sendiri bakal kumusnahkan dari permukaan blog T___T
Akhirnya, semoga kalian menikmati membaca Elang Senja Dan Langit Biru seperti aku (entahlah dengan Ardhinansa Adiatama) menikmati ketika menulisnya.

Wassalam
Nayaka Al Gibran

Note :
Buat Ardhinansa Adiatama (jika kamu kebetulan sedang tidak merasa terlalu ganteng untuk datang ke blogku), ada kejutan buatmu di Side B (kalau respon pembaca memutuskan Side B diposting). Kupikir Elang dan Langit butuh sedikit sentuhan Bali. Tapi, sentuhan Balinya tidak seperti yang kamu bayangkan.
#################################################

PROLOGUE
Aku masih ingat bagaimana warna langit ketika hari cerah. Biru. Aku masih ingat warna mendung, warna awan-awan kelabu mengandung hujan yang sebelumnya putih kapas itu. Di antara keduanya, aku lebih senang mengingat warna langit yang biru─meski di masa-masa gelap ini aku juga mulai menyukai irama yang ditimbulkan rintik hujan di atap dan di kaca jendela rumah kami. Bagiku dulu, langit biru itu bagai pembawa khabar gembira, ia seakan berbicara menjanjikan satu hal padaku : bahwa esok langit juga akan secerah hari ini. Saat itu, berpikir demikian saja bisa membuatku semangat menjalani hari hingga ke petang. Dan ketika esoknya kudapati langit kembali biru cerah, kupikir langit dan warna birunya yang indah itu sudah jujur menepati janjinya padaku. Lalu aku memerhatikan mendung, dan bagaimana langit kehilangan warna birunya. Aku benci hari hujan, dulu. Aku tidak suka ketika langit bermuram durja dan memperlihatkan kemurkaannya. Dan ironisnya, di masa-masa gelap ini, kadang kudapati diriku mensyukuri keadaanku saat ini. Aku tidak perlu melihat warna langit ketika murka lagi. Meski itu artinya, aku juga tidak bisa mengagumi langit biru lagi…
─Elang Senja
.
.
Aku selalu menyukai senja, kalian tahu kenapa? Karena itu tandanya akhir dari segala aktifitas, istirahat, jeda, sebelum akhirnya besok akan menjalani aktifitas sehari-hari lagi. Well, gak nyambung juga sih sebenarnya analoginya. Intinya, senja dekat dengan malam, dekat dengan sepi, ketenangan. Pemikiran yang agak idiot karena Jakarta sama sekali jauh dari ketenangan walaupun itu di malam hari. Aku hanya kurang menyukai pagi hingga petang, karena di rentang waktu ini, orang-orang bisa melihat bajuku yang sama sekali tidak bermerk, sepatuku yang walau dibilang cool, tapi sama sekali tidak cool. Bajuku mungkin dijahit langsung oleh ibuku yang kebetulan membeli kain borongan di tanah abang, untuk dijadikan seragam seisi anggota keluargaku. Berlebihan. Aku tak semenyedihkan itu. Inti dari omongan tak jelasku ini? Tidak ada! Apa gunanya cerita banyak paragraf ini, kalau semuanya akan aku tumpahkan di sini?
─Langit Biru
***
Oma mengusir Dallas. Dari tempatku berada di sofa ruang tivi yang setengah jam lalu dinyalakan Mbak Nuna, sayup-sayup bisa kudengar cicit mengiba Dallas yang memohon agar dia tidak dipecat Oma. Sebenarnya, aku kasihan pada Dallas, tapi aku juga harus setuju dengan Oma. Pria itu sudah tak mungkin terampuni. Efek samping evolusi kedisiplinan dan etos kerja modern, istilah Oma.
“Nyonya Besar, saya janji gak akan mengulangi kesalahan ini lagi. Tolong jangan pecat saya, saya sangat butuh pekerjaan ini, tolong…”
Aku menolehkan kepalaku ke arah ruang depan. Kubayangkan Oma mengibaskan lengan keriputnya di depan hidung Dallas dan pria itu mungkin bisa jadi akan sesak dengan aroma minyak gosok Oma. Mbak Nuna baru saja mulai memijat lengan dan kaki Oma tepat ketika Dallas datang terlambat lagi hari Minggu ini. Kenapa aku yakin Dallas akan sesak napas? Karena satu waktu dia pernah mengumpat tentang minyak gosok Oma saat dikiranya aku tak cukup dekat untuk mendengar umpatannya. Kukira dia berhutang padaku karena mulutku tidak ember memberitahukan hal itu pada Oma yang pasti akan membuatnya dipecat lebih segera dari hari ini.
“Saya dan Elang sudah cukup menolerir keterlambatanmu akhir-akhir ini.” Suara tua Oma yang bergetar tidak kehilangan ketegasan dan wibawanya sama sekali saat menghadapi Dallas yang terus memelas minta dikasihani. “Ini bukan yang pertama kalinya, Dallas. Bukan yang pertama kalinya.”
“Nyonya Besar, saya janji gak akan terlambat lagi mulai hari ini.” Ternyata Dallas tidak jadi sesak napas dan pingsan, dia masih mengiba yang kuyakin pasti percuma. Oma tidak pernah mengubah keputusannya, tidak pernah.
Mbak Nuna sepertinya sedang mengunyah keripik, atau kerupuk, bunyinya nyaring masuk ke kupingku. Aku bangun dari sofa.
“Den Elang mau ke mana?” Lenganku sudah dipegang Mbak Nuna.
“Ke tempat Oma. Gak apa-apa, aku bisa sendiri.” Tanganku dilepaskan secepat ia dipegang.
Oma masih berdebat dengan Dallas yang segera akan menjadi mantan pegawainya sesaat lagi sementara aku menyentuh dinding dan menuntun kakiku menuju ruang depan. Aku bermaksud menghentikan drama pemecatan ini sesegera mungkin, karena repetisi Dallas mulai terdengar tak nyaman di telingaku.
“Elang!” mendadak saja kedua tanganku sudah dipegang seseorang. Kupikir Dallas sudah hendak menangis. Ya ampun, apa-apaan dia? Apa dikiranya dunia bakal kiamat hanya kerena seorang nenek-nenek bau tanah hendak membuat hilang mata pencahariannya? “Elang, jangan pecat aku, please, tolong katakan pada Nyonya Besar kalau aku bisa jadi asisten yang baik buatmu, tolong, Elang… aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ini…”
Aku tersenyum kecut mendengar isak samar dalam ucapan Dallas.
“Aih, janji palsu…,” cibir Oma dan lalu kudengar langkahnya melewatiku dan Dallas. Oma membuka laci, suara beliau mengaduk-ngaduk isi laci nyaring kedengaran. “Tenang saja, kamu diberhentikan dengan pesangon, atas permintaan cucuku. Kalau ikut mauku, jangan harap ada pesangon.”
Saat inilah tangis Dallas pecah. Dia masih mengiba padaku.
“Maaf, Mas Dallas… bukan aku yang ngegaji, Mas. Jadi aku gak punya suara buat nyegah Oma. Duit jajan siomay soreku saja masih minta sama Oma.”
“Saya bisa jadi tukang kebun, Nyonya Besar… Elang, aku bisa jadi supirmu, atau apapun… kumohon…”
Ya ampun. Aku mulai jengkel. Apa dia kira aku butuh supir? Apa yang mau kulihat di luar sana? Ke mana aku ingin pergi dengan keadaanku yang seperti ini? Dallas benar-benar sudah putus asa, harusnya dia sadar kalau pengalaman kerjanya bersamaku hanya berisi rumah-kamar-perpustakaan-pekarangan.
Dan kuyakin Oma juga mulai senewen. Arisannya yang maha penting bersama wanita-wanita hebat seusianya akan segera digelar dan beliau belum pun sempat mengecat ubannya. Ritualnya, pijat dulu baru ngecat uban. Dan pagi ini, karena keterlambatan Dallas yang mulai sering, Oma harus mengurus keperluanku lebih dulu sebelum mempermuda dirinya beberapa bulan.
“RENDRAAAAA…!!!”
Di tempatku berdiri, aku terlonjak saat teriakan Oma menggaung dan seakan memantul-mantul di dinding ruangan.
Aku mendesah. “Mas Dallas gak mau diseret, kan? Tolong ambil amplopnya dan pergi baik-baik, Mas. Saat Oma mecat Pak Halim, kami pasti akan ngontak Mas Dallas buat jadi tukang kebun, atau nanti kalau Mas Wili minta berhenti jadi supir, janji!” kuangkat dua jariku.
“Tidak akan pernah ada lowongan apapun untuk pegawai yang tidak bisa menghargai waktu di rumahku, Elang! Jangan janjikan apapun!”
“Yah, Oma… aku kan hanya sedang berusaha terlihat baik. Lagipula, siapa juga yang mau mecat Pak Halim atau Mas Wili, bisa-bisa tanaman di pekarangan kita mati semua kalau Pak Halim dipecat dan mobil Oma mogok semua kalau Mas Wili berhenti kerja.”
“Tidak perlu berbaik-baik segala sama orang yang tidak menghargai kebaikanmu, Nak!” sergah Oma lalu suara sandal kayunya kembali melintas. “Ini, terima sebelum perempuan tua tukang mecat ini berubah pikiran dan amplop ini masuk kembennya.”
“Ada apa, Bu?”
“Gak ada apa-apa, Bang Rendra, balik ke pos aja. Ini udah selesai kok,” jawabku begitu mendengar suara satpam rumah kami.
“Ajak Dallas keluar juga!” perintah Oma tegas. “Asam uratku bisa jadi asam sunti kalau dia tidak segera enyah dari sini!”
Tak ada lagi suara sampai aku mendengar bunyi daun pintu yang dibanting hingga berdebam. Oma pasti mendorongnya dengan segenap jiwa dan raga. Ajaib sekali rheumatiknya tidak kambuh ketika beliau melakukan hal itu.
“Nuna, di mana cat rambutku kau simpan…?!?” teriak Oma kemudian.
DIINN… DIIIINNNN
“Oma, sepertinya Oma Soetedjo sudah di luar,” ujarku begitu mengenali suara klakson mobil di halaman.
“Ladalah, baru saja aku dibuat naik darah sama anak muda yang tidak bisa tepat waktu sekarang malah dibikin makin naik darah lagi oleh orang tua bau keranda. Kapan tua bangka itu akan datang terlambat sekali saja?” Sandal kayu Oma kembali mendekati pintu. “Soetedjo, ubanku belum diwarnai!” teriak Oma, lalu… “kau beli rambut palsu baru lagi dari Miriam? Bukankah katamu yang terakhir kali Miriam memberimu rambut palsu tiruan?”
Aku baru tahu kalau ada rambut palsu yang bukan asli. Kugelengkan kepala beberapa kali dan berbalik untuk kemudian mulai meraba-raba di dinding. Dalam perjalanan menuju sofa kenyamananku, aku bertanya-tanya, berapa kali lagi aku harus ganti asisten sampai ada mukjizat untuk mataku? Pertama kami punya Rikas─yang berhenti karena kuliahnya selesai dan harus kembali ke Kalimantan, lalu ada Julian─yang berhenti karena mendapatkan pekerjaan tetap sesuai ijazahnya di sebuah firma, selanjutnya Panji─yang berhenti untuk mengurus perkebunan teh calon mertuanya di Bandung, dan baru saja Dallas dipecat karena mulai sering tidak tepat waktu. Begitu sulitkah untuk setia menjadi asisten orang buta? Kini, setelah aku sudah kehilangan asisten hingga empat kali, aku mulai serius mempertanyakan hal itu. Sulitkah untuk bertahan menjadi asisten seorang cowok buta? Kalau menjadi asisten saja sudah demikian sulitnya, lalu, apa yang akan mereka katakan jika mereka yang jadi orang butanya?
***
Aku membiarkan Om-Entahlah-Aku-Lupa-Namanya-Ini untuk terus mengerjai kejantananku di bawah sana. Dia menjanjikan dua ratus ribu untuk menghisap penisku. Sudah, jangan merendahkanku dengan komentar “Penismu hanya seharga dua ratus ribu?” Tidak akan mempan! Seberapa banyak  dari kalian yang mengobral diri gratis lalu esoknya gak jadi dipacarin malah ditinggal pergi? Well, maaf bung, enggak bermaksud untuk membuka luka lama kalian, sungguh! Hanya saja, sudah mendapat dua ratus ribu─yang lumayan untuk sekedar buat nongkrong di starbuck guna mencari gadun yang siap menghidupiku, aku juga mendapat service oral yang, yah, not bad-lah.
Oke, kebiasaanku memang sedikit buruk. Aku sering menggunakan uang kiriman dari orang tuaku untuk kebutuhan nongkrong di tempat elite. Well, itu semua aku sebut dengan investasi. Aku tidak mungkin mencari calon gadunku di warteg, kan? Sama saja bohong! Hasilnya sejauh ini? Aku pernah jadi kucingnya om-om Kelapa Gading, namanya Gathan. Cukup loyal, namun hanya bertahan tiga bulan sebelum aku dilabrak istrinya.
“Bagaimana? Service Om memuaskan, kan?” Si Om─yang kebetulan namanya masih belum aku ingat─memamerkan senyum, yang aku yakin sering dia gunakan untuk memikat banyak brondong. Terutama yang ganteng sepertiku. “Sekarang boleh dong Om dibagi kontaknya?” lanjutnya lagi dengan nada genit. Dia pikir dengan teknik oralnya yang tidak seberapa itu, aku akan tertarik? Aku memandangi si om atas bawah sebelum aku tersenyum ramah agak dipaksakan. Setelannya jelas menunjukkan bahwa dia tidak akan mampu membawaku jalan-jalan ke luar kota apalagi ke luar negeri. Merk jam tangannya dengan gamblang merefleksikan bahwa dia hanya satu tingkat di atasku. Pegawai kantoran biasa, hopeless untuk dijadikan sugar daddy.
“Thanks untuk dua ratus ribunya, Om, see you.” Aku keluar dari bilik toilet, mengabaikan tatapan curiga lelaki yang tengah mencuci tangannya di wastafel saat melenggang pergi.
And now, what? Pulang ke kosan? Ah, masih terlalu sore. Namun, aku juga sudah tidak ada yang mau dikerjakan.
Aku tengah berjalan gontai menuju kos-kosan lumayan berkelas yang terletak tidak jauh dari mall tempat biasanya aku mencari uang jajan ini, ketika mataku terpaku pada selebaran yang terpasang agak terpaksa di sebuah tiang listrik. Well, biasanya aku tidak akan tertarik. Paling-paling sedot tinja, atau mahasiswa yang menawarkan jasa les privat. Aku tak butuh disedot, aku juga tak butuh diprivat, aku butuh duit!
Namun, gaji besar yang ditawarkan─yang tadinya kukira sebagai deret nomor telepon─langsung mengusikku. Aku memandang ogah-ogahan selebaran tersebut sebelum secepat kilat merenggut lepas selebaran itu dari tempatnya menempel, hitung-hitung untuk mengurangi sainganku jika seandainya selebaran itu tetap di sana dan dipelototi mata lain.
Dengan tawaran gaji sebesar itu, aku benar-benar tidak peduli dengan apa yang akan menjadi pekerjaanku. Kalau ternyata nanti mencurigakan, minta-minta uang, tinggal pergi saja. Kalau nanti pekerjaannya berat, langsung resign saja. Yang penting usaha dulu, begitu kata emak. Lagipula, persyaratannya tidak sulit. Aku hanya perlu menghubungi nomor ini untuk diberi tahu kapan dan di mana aku akan di-interview.
Walaupun aku harus mengorbankan waktu Sabtu Mingguku yang biasanya aku pakai untuk mencari calon sugar daddy yang tepat, namun gaji yang besar ini sangat memancing rasa dahagaku. Aku masih bisa mencari si calon sugar daddy─yang entah kenapa akhir-akhir ini kualitasnya semakin menurun─sepulang kuliah. Seperti hari ini, yang ngomong-ngomong berakhir dengan kegagalan. Oya, aku mendapatkan dua ratus ribu. Terima kasih sudah mengingatkan.
Dan disinilah aku, tiga hari kemudian. Di sebuah restoran yang agak norak untuk ukuranku, walaupun sepertinya diperuntukkan untuk kelas atas. Sebagian besar dindingnya berwarna ungu muda, dengan pijar lampu antik temaram dari atas. Lebih mirip rumah bordil. Mungkin, sekali-kali aku harus mencari calon gadunku di sini.
Ada beberapa lampu gantung yang dibentuk mirip lentera. Lalu beberapa kursi yang menghadap meja bartender. Lalu, empat meja panjang dengan kurang lebih belasan kursi mengitarinya, tepat setelah kursi di depan meja bartender berada. Dan di sekelilingnya ada meja dengan dua atau empat kursi. Penataannya bagus, hanya cahayanya yang temaram membuat tempat ini agak sedikit mesum. Atau mungkin tujuannya agar romantis. Nah, pasti itu tujuannya.
“Selamat datang di La Mare, bisa saya bantu, Mas?” Mungkin karena dari tadi aku celingukan tidak jelas, akhirnya salah satu pelayan restoran ini menegurku. Koreksi, aku tidak celingukan, aku hanya tengah mengagumi keindahan dekorasi restoran ini. Atau, sibuk mencari kejelekannya dalam kasusku tadi.
“Yah, saya mau bertemu dengan Ibu Soetedjo? Ibu Saraswati?”
Pelayan itu tersenyum sebentar, “Mari ikuti saya.”
‘Mari, ikuti saya?’ Halo? Tak adakah yang lebih formal daripada itu? Rileks, Ngit, mereka hanya berusaha untuk sopan dan ramah.
Pelayan tersebut membawaku ke sebuah ruangan kecil, agak masuk lebih dalam dari tempat aku berdiri tadi. Di sini, nuansa warnanya sudah tidak didominasi oleh ungu muda lagi, namun putih gading. Terkesan lebih eksklusif  lagi. Pelay, wait, waiter? pramusaji? Aku tidak ingin menggunakan kata yang sama berulang-ulang kali. Oke, pramusaji yang masih belum capek menyunggingkan senyumnya itu membukakan sebuah pintu untukku.
“Tunggu saja di sini, nanti kamu bakal dipanggil.” Aku mungkin terlihat kebingungan, karena selanjutnya sang pramusaji mengajukan pernyataan yang diselimuti oleh pertanyaan, “Kamu yang akan di-interview oleh Ibu Saraswati untuk menjadi asisten Mas Elang, kan?” Aku mengangguk pelan. Pramusaji tersebut menyunggingkan senyumnya sekali lagi sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.
Oh, jadi pekerjaanku menjadi asisten tho? Agak mencurigakan gaji sebesar itu hanya untuk menjadi seorang asisten. Ternyata menunggu selama lima belas menit itu tidak menyedihkan. Yah, karena aku hampir saja teriak-teriak di ruangan ini. Atau, memecahkan vas cantik dengan bunga anggrek berwarna ungu muda. Aku berani bertaruh kalau pemilik restoran ini pastinya adalah janda.
Dan, hampir saja aku memperkosa Mas Pramusaji saking senangnya karena dia muncul, lagi. “Mari, Mas.”
Aku mengabaikan senyum ramahnya. Menunggu lima belas menit memang tidak menyedihkan, namun membuat moodku berantakan. Aku dibawa ke sebuah ruangan kerja yang lumayan luas. Luas untuk bermain futsal, luas untuk bermain kasti, atau sekedar orgy sekampung. Yang terakhir hanya bercanda, tidak usah dibawa terlalu serius.
Seorang lelaki seusiaku bertampang tidak lebih ganteng dariku baru saja meninggalkan ruangan, sainganku, dia memberi tatapan tidak bersahabat ketika melewatiku dan Mas Pramusaji. “Ibu Saraswati, ini…” Si Pramusaji menatapku bingung. Nah kan! Salah siapa dari tadi tidak menanyakan namaku?
“Langit Biru,” kataku memperkenalkan diri.
“Kau membawa surat lamaran kerjanya?” Well, bagaimana ya aku harus menjabarkan Bu Saraswati yang lebih pantas disebut Eyang ini. Eum, gaul man! Tipe sosialita begitulah, hanya dandannya agak terlalu berlebihan untuk usianya.
“Ini, Bu,” kataku sambil menyerahkan surat lamaranku bersama CV, SKCK, keterangan sehat bebas dari segala penyakit.
“Pernah bekerja sebelumnya?”
“Belum.” Eh, by the way, si mas pramusaji ternyata udah pergi toh.
Si Eyang Saraswati, aku akan mulai menyebutnya begitu di dalam hati, memperhatikanku atas bawah. “Pernah terlibat kriminal?”
“Well, kalau mencuri hati termasuk kriminalitas, saya mungkin bisa jadi penjahat kelas berat, Bu.” Eh, si eyang melotot. “Kidding, joking.” Lagipula lu kan bisa lihat surat dari kepolisian tuh di situ. Bebas dari tindak kriminal! tambahku dalam hati.
“Oke, nanti aku akan menghubungimu jika kau terpilih. Sekarang kau boleh pergi.”
Hah? That’s it?
“Euum, terima kasih Ibu Saraswati, untuk waktunya,” ucapku basa-basi. Mungkin, aku sudah gagal di awal. Aaah, masa bodohlah. Masa depanku toh tidak tergantung diterima atau ditolaknya aku dalam pekerjaan ini.
***
Hanya butuh waktu tak sampai seminggu bagi Oma untuk menemukan pegawai baru pengganti Dallas untuk jadi asistenku di hari Sabtu dan Minggu─dua hari dalam sepekan di mana Oma harus absen dari mengurusku demi mengaktualisasikan dirinya sebagai sosialita uzur bersama rekan-rekannya yang tidak kurang uzur darinya. ‘Wili sudah menyebarkan beberapa selebaran yang Oma cetak sejak hari Senin kemarin, kalau sampai Sabtu ini kamu belum punya asisten juga, Oma akan pasang iklan di koran,’ begitu kata Oma ketika tiga hari lalu kusinggung tentang pencarian asisten pengganti buatku. Dan sore Jumat kemarin, Oma pulang mengabarkan kalau beliau sudah selesai mewawancarai sepuluh calon asistenku yang baru di restoran Oma Soetedjo dan sudah memilih salah satunya untuk mulai bekerja hari ini.
Maka, di sinilah aku sekarang. Duduk di tepi ranjang dengan piyama entah berwarna dan bercorak seperti apa di awal pagi, menunggu asisten baruku bekerja di hari pertamanya. Kuharap kali ini aku mendapatkan seseorang yang bekerja dengan hatinya, bukan semata-mata mengejar gaji besar yang dijanjikan Oma untuknya setiap bulan. Kadang aku suka berpikir kalau gaji yang diberikan Oma terlalu besar, mereka cuma bekerja delapan hari selama sebulan, dua belas jam setiap satu hari kerja. Namun ketika aku menempatkan diriku di posisi mereka─yang harus menjadi mata dan tangan dan kaki orang buta selama delapan kali dua belas jam setiap bulannya, aku berhenti berpikir kalau Oma menggaji mereka secara berlebihan.
Pendengaranku diusik percakapan rendah dan derap langkah-langkah samar dari luar kamar. Kutelengkan kepalaku, mencoba mendengar percakapan itu lebih seksama.
“…daftarnya ada sama Nuna, wanita yang tadi membukakan pintu untukmu. Silakan pelajari nanti, di situ sudah tertulis sangat detil dan jelas segala hal terkait pekerjaanmu.” Itu suara Oma.
Lawan bicaranya yang kuduga adalah asisten baruku tidak merespon apapun.
“Elang jarang ke luar rumah, seluruh aktivitasnya berpusar di dalam rumah dan pekarangan. Tapi sesekali kalau hari sedang cerah dan dia sedang ingin, kau bisa membawanya ke taman di kawasan perumahan, atau inisiatif tempat lain yang menurutmu menyenangkan. Harusnya itu akan mempermudah pekerjaanmu. Yang perlu dingat adalah jam makan dan jam istirahatnya. Kau memang akan membacanya di daftar, tapi tak ada salahnya aku mengingatkan.” Langkah-langkah itu berhenti di luar pintuku. “Elang sarapan jam delapan, satu jam dari start jam kerjamu. Makan siang jam dua belas tiga puluh, makan malamnya aku yang mengurus karena jam kerjamu berakhir pukul tujuh.”
“Bagaimana dengan jam istirahatnya?”
Untuk sejenak, di tepi ranjang, aku terpegun. Asisten baruku punya suara bariton yang khas, hal yang tidak dimiliki oleh empat asistenku sebelumnya. Dulu aku suka mendengar suara Rikas ketika membaca untukku, kupikir nanti aku juga pasti menyukai suara asisten baruku ini ketika membaca buatku.
“Hanya tidur siang di jam setengah dua dan bangunkan dia jam empat sore. Pastikan dia mendapatkan vitaminnya sebelum tidur siang, Nuna akan memberitahu semuanya jika kau tidak memahami daftarnya.”
“Wow, wanita bernama Nuna ini sepertinya tahu segalanya ya… adakah yang tidak diketahuinya?”
Sebentuk seringai muncul di wajahku mendengar respon bernada cemooh itu. Kubayangkan Oma melotot pada lawan bicaranya.
“Ehem, maaf, saya hanya bercanda…”
Sekarang aku tersenyum. Lalu pintu kamarku terbuka, bunyi kereketan engselnya yang belum diminyaki mengisi jeda beberapa detik.
“Elang, ini Langit─”
“Siapa?” potongku sambil mengernyit. “Apa Oma baru nyebut, Langit?”
“Iya,” jawab Oma singkat.
“Hemm, nama yang aneh,” gumamku demikian samar di antara rongga gigi yang kuyakin tak bakal bisa terdengar kuping orang lain.
“Setidaknya namaku bukan dari spesies burung pemangsa seperti nama milik orang lain.”
Aku mengatupkan mulut, kaget kalau ternyata gumamku tidak sesamar yang kuperkirakan dan untuk sejenak merasa kesal dengan sindiran halusnya. Hari ini dia mengatakan namaku sebagai Burung Pemangsa, esoknya bisa jadi dia akan menambahkan kata lain, semisal Pemakan Bangkai dan semacamnya. Sialan. Lalu Oma berdeham, aku paham gelagat. Sebelum Oma menceramahi pegawai barunya dan memberi kesan seram kepada si pegawai langsung di hari pertamanya, belas kasihanku lebih dulu mengambil alih. “Oma tidak ke panti? Bukankah harusnya saat ini Oma sudah dipijat Mbak Nuna?”
“Ah, iya,” ujar Oma. “Baiklah, kutinggalkan kalian berdua.”
Suara berkereketan kembali terdengar ketika pintu ditutup. Kemudian keheningan terjadi selama nyaris semenit yang terasa bagai akan terjadi seumur hidup. Aku bangun dari tepi ranjang dan menghadapkan mukaku ke tempat kuperkirakan manusia bernama Langit-Entah-Apa itu berada.
“Tolong periksa kamar mandi…”
Samar aku mendengar suara tawa tertahan jauh di kananku. Sialan, kapan dia berpindah ke sana. Aku merubah posisi kepalaku.
“Ehem, akan kulakukan. Oh, apa aku perlu menuntunmu ke sana, menelanjangimu lalu memasukkanmu sekalian ke dalam bak?”
Aku mengira dia sedang bertanya karena tidak mengerti. Tapi nadanya terdengar begitu tidak mengenakkan bagiku, dan pilihan kata-katanya kasar sekali. Sedikit, aku merasa direndahkan dalam kalimatnya, dia sedang mengolok-olokku. Bagaimana bisa Oma memilihnya untuk bekerja di sini? Kurasa sekali ini Oma menjatuhkan pilihan yang teramat tidak tepat.
“Tidak perlu,” kataku sambil menindih kesal di hati. Nadaku pasti ketus. “pastikan saja air showernya hangat.”
“Bagaimana dengan odol, sampo atau sabun mandi?”
“Kamu hanya perlu menggantung handukku pada gantungan di kamar mandi dan, ehem, pakaian dalamku… ada di lemari.” Tak ada tanda-tanda pergerakan, dia masih berdiri di tempatnya. “Aku bisa membedakan bau sampo dengan bau sabun mandi dan gak akan keliru memakai facial foam sebagai pasta gigi.”
“Cool! Apa kemasan produk mandimu memakai huruf braile?”
“Periksa saja sendiri!”
“Apa itu ada di daftarnya Nuna, memeriksa peralatan mandimu?”
Aku diam sesaat, memandang ke jurusan di mana kuperkirakan manusia bernama Langit-Entah-Apa itu masih berada. “Tahukah, untuk ukuran orang yang baru bekerja, kamu gagal membuat atasanmu terkesan di hari pertama…”
Kupikir aku sudah memukulnya telak, tapi ketika kudengar suaranya berteriak dari dalam kamar mandi, aku sadar kalau diriku baru saja berbicara pada dinding. Aku ingin tahu, bagaimana dia bisa bergerak tanpa kusadari? Seharusnya aku merasakan derap langkahnya, atau setidaknya merasakan udara yang berubah arah ketika ditabrak sosoknya saat dia melintas. Kupikir, asisten baruku ini sebangsa siluman.
“Tuan, obat kumurmu nyaris habis!”
***
Aku memperhatikan kamar Elang dengan seksama, sambil menunggunya selesai mandi. Kamar, mencerminkan kepribadian seseorang. Begitulah yang aku baca pada sebuah buku yang aku lupa judul dan pengarangnya. Kalian tanya kamarku? Agak berantakan, yang artinya adalah, pemiliknya orang yang ganteng dan suka tantangan. Sangat tepat, kan? Oke, aku hanya mengarangnya saja.
Kamar Elang ini, rapi. Mungkin karena Elang termasuk orang yang menyukai kedisiplinan, teroganisir, dan tertata. Atau, lebih memudahkannya untuk mengambil sesuatu. Siapa tahu? Dia kan buta. Ah, sayang sekali di usianya yang masih muda dia tidak bisa melihat indahnya dunia, terlebih lagi tidak bisa menikmati kerupawanan wajahku. Aih.
So many books. Fiction sih, lebih banyak. Koleksi lengkap The Maze Runner, Hunger Games, Divergent, semua novel yang sebagiannya bersampul seperti filmnya. Pegel kaga tuh bibir kalau Elang pengen dibacain itu cerita? Oke, asal jangan minta di dongengin Harry Potter saja atau Lord of The Rings. Don’t be stupid, Langit! Bisa jadi itu dua buku udah kelar dia baca bertahun-tahun lalu. Itu kan buku jadul!
“Langit, kamu di mana?” Well, well, Tuan Muda sudah beres mandi, Bung, waktunya bekerja!
Aku tidak bergerak dari tempatku duduk, hanya ingin memastikan apakah si Tuan Muda ini bisa bergerak hingga keluar kamar mandi. “Here Elang. Kenapa? Ingin aku menggosok punggungmu?”
Wajahnya cemberut begitu keluar dari kamar mandi. “Aku sudah selesai.”
Oke, Elang hanya memakai pakaian dalam dan celana boxer pendek yang kupersiapkan tadi. Abaikan, dia sama sekali bukan tipeku. Kulit putihnya? Ah, banyak yang punya! Bibirnya yang berwarna bagus? Punyaku lebih bagus! Tapi aku takjub, dia berhasil mengenakan pakaian dalamnya tanpa terbalik, padahal tadinya aku sengaja membalik bagian dalam boxer itu untuk berada di sebelah luar. Salah satu keisengan orang ganteng.
“So? Mau pakai baju apa?” Aku bergerak pelan menuju almari, dan mencoba melihat koleksi pakaian milik Elang. “Kameja? kaos? bermuda? jins?” What the fuck, semua item di dalam lemarinya dikeluarkan produsen fashion branded. Bocah ini benar-benar orang buta beruntung sekaligus malang. Beruntung punya sandang papan pangan yang wah tapi malang karena tidak bisa melihatnya.
Kupandang Elang yang berdiri di dekat ranjang. Aku suka cara Elang yang selalu mengira-ngira di mana keberadaanku. Mimik mukanya lucu. Wait, ini bukan bentuk pelecehan terhadap orang buta ya, ini compliment!
“Yang nyaman saja, toh aku tidak akan ke mana-mana.”
“Teet, boring answer!” kataku pelan, kutinggalkan almari yang pintunya sudah kupentangkan lalu menuju tempat di mana Elang berdiri. Aku beberapa senti lebih tinggi darinya ternyata. “Rambutmu belum kering benar.” Aku merebut handuknya, membantu mengeringkan rambutnya yang agak gondrong.
“Hey, kamu gak seha─”
“Pernah berpikir untuk potong rambut? Sudah terlalu panjang,” tukasku cepat. Sepertinya, si Eyang dengan cucunya punya masalah yang agak sama dengan temperamen. Elang lebih kalem memang, tapi kalau tua juga pasti seperti eyangnya.
Elang secara spontan meraba-raba rambutnya, “Masa sih?”
“Jadi, pakai kaos dan celana pendek saja, ya?” kataku sambil berjalan kembali ke depan almari lalu menarik sehelai kaos putih dan sehelai bermuda warna kopi susu dari dalamnya. Kulit telapak tanganku iri dengan kualitas bahan kedua helai pakaian itu.
Elang menggeram pelan, tidak heran namanya Elang, dia sangat mewakili sebagai predator.
“Kamu sangat ahli dalam mengganti topik pembicaraan, ya? Dan tahukah? Sama sekali tidak membuatku terkesan.” Elang menatap tempat yang dia pikir adalah tempatku berada. Yah, aku memang berada di situ semenit tadi. Tapi kini aku sudah pindah, di belakangnya.
“Well, masih banyak kesempatan untuk membuatmu terkesan,” kataku santai sambil mulai memasukkan lengan kaos ke tangan Elang. Bocah ini sepertinya cukup terkejut merasakan keberadaanku yang ternyata sudah di belakangnya. Ah, lembut sekali kulit tangannya.
“Aku bisa sendiri.”
“Aku akan membantumu, walaupun ‘membantumu berpakaian’ mungkin tidak ada dalam daftarnya Nuna. Ah, tapi aku asisten yang proaktif. Eh, sudah pakai deodoran, kan?” Aku mengangkat tangannya dan menciuminya sebentar, dalam jarak yang aman. “Sepertinya sudah.”
Elang berdecak, pelan, namun masih bisa aku dengar. “Aku bisa saja memecatmu, karena tingkahmu yang menyebalkan!”
“Dan merepotkan eyangmu lagi?”
“Oma!” potongnya setengah berteriak.
“Oke, dan merepotkan omamu lagi? Kamu kira mudah apa melakukan banyak pekerjaan untuk orang setua omamu itu? Kamu harus dewasa, Elang, ckckck. Kamu tidak lupa kalau omamu sudah tua, kan?” Aku mengabaikan omelan Elang dan mulai membantunya memakai celana pendek. Mengabaikan sedikit getaran aneh, di atas tengkukku. “Dan sekarang, kita ngapain? Eh, Elang, kamu tidak memakai CC Cream atau sebangsanya itu, kan?”
“Tidak.”
“Eyeliner?”
“Tidak, terima kasih.”
Aku menoleh ke arah jam persegi yang berada di atas plang pintu kamar Elang, “Waktunya sarapan, Anak Manis. Lebih suka sarapan di sini, atau di luar?”
“Di luar saja.”
Aku tersenyum sebelum akhirnya kurangkul bahu Elang. Orang yang aku rangkul terlihat kaget walaupun tetap agak jaga image. Lucu ya ini orang, bikin gemes.
“Ngapain kamu?” tanyanya kemudian.
“Membantumu menuju meja makan.” Aku menjawab kalem.
Elang, menggeram lagi. Aku akan terbiasa nanti, “Aku bisa sendiri.”
“Aku tahu itu Elang, tapi menunggumu meraba-raba dinding untuk menuju ke meja makan akan memakan waktu yang lama. Lagipula aku sudah kelaparan.” Perkataanku itu bukan menghina ya, hanya mengatakan fakta saja.
“Siapa bilang kamu sarapan di sini? Di daftar cuma tercantum makan siang. Harusnya kamu membaca dan memahami daftar itu terlebih dulu.”
“Ha? Jadi aku tidak mendapat sarapan? Sudahlah, aku kan sudah bilang, aku asisten yang pro aktif. Kalau Mbak Nunamu itu tidak membuatkan sarapan untukku, aku akan masak sendiri di dapurmu. Percayalah, aku adalah calon koki handal.”
“Coba saja kalau kamu bisa meyakinkan Mbak Nuna untuk memercayakan wajan dan kompornya padamu. Tapi aku meragukan itu…”
“Apa kamu sedang menantangku?”
“Apa untungnya buatku?” Elang balik bertanya lalu mulai bergerak lamban menuju arah pintu.
Aku mengeratkan rangkulanku dan berjalan bersamanya. Ah, mendapat uang besar ternyata semudah ini. Apa sih sulitnya menjaga Elang? Toh, sepertinya ini anak adem ayem aja. Bukan tipe yang banyak maunya. Ah, Zara, akhir bulan ini, Papa coming!!!
***
Kalimat Langit pagi tadi terus mengiang di kepalaku. Laki-laki itu bertingkah menyebalkan sepanjang hari pertamanya bekerja. Hampir seluruh ucapannya terdengar kasar di telingaku dan membuatku harus menindih kesal serta keinginan untuk menyuruh Oma memberhentikannya langsung hari ini juga. Tapi, ucapannya tadi pagi itu terus menggangguku.
Kamu kira mudah apa melakukan banyak pekerjaan untuk orang setua omamu itu? Kamu harus dewasa, Elang. Kamu tidak lupa kalau omamu sudah tua, kan?’
Aku benci mengakui kalau laki-laki sialan bernama Langit-Entah-Apa itu benar sepenuhnya. Selama ini Oma sudah sangat kelelahan mengurusku. Meski tidak pernah dikatakan, aku yakin Oma capek. Oma harus membagi waktu mengawasi perusahaan peninggalan Papa─yang diwarisi dari Opa, bersama Om Rafli─sahabat dekat almarhum Papa yang kini jadi orang kepercayaan Oma, dan mengurus cucunya yang buta. Tanpa mengurusku saja, sebenarnya Oma sudah cukup kesulitan, seperti kata Langit, Oma sudah tidak muda lagi. Ulang tahunnya yang ke-65 baru sebulan yang lalu. Seharusnya di usianya sekarang, Oma beristirahat dan menikmati hari tuanya tanpa sebarang kesibukan apapun. Aku pernah ingin menyarankan Oma keluar dari perkumpulan sosialnya dan menggunakan hari Sabtu dan Minggunya untuk beristirahat di rumah tanpa satu pun aktivitas, hanya bermalas-malasan sambil menonton drama Turki atau apapun sampah yang disuguhkan televisi. Tapi, kupikir, kehidupan sosial yang dimilikinya itu adalah satu-satunya penghiburan buat Oma, satu-satunya saat di mana Oma bebas jadi diri sendiri bersama teman-teman manulanya. Maka, aku tak pernah menyarankannya untuk membuang saja kehidupan sosialnya.
Sudah kuputuskan, aku akan mempertahankan Langit semenyebalkan apapun sikap dan ucapannya. Tak akan ada lagi pemecatan, tak akan ada lagi wawancara dan perekrutan asisten baru sampai aku mati atau ada mukjizat untuk mataku atau Langit yang mati atau mengundurkan diri. Sebelum salah satu dari empat kemungkinan itu terjadi, maka tak ada lagi ‘merepotkan Oma yang tua’.
“Belum tidur?”
Aku kaget dan menoleh ke pintu. Terlalu asyik dalam lamunan hingga tidak menyadari ketika Oma masuk. Harusnya aku mendengar bunyi kereketan pintu seperti biasanya. Oh, tentu saja aku tak akan mendengar bunyi sialan itu lagi, siang tadi Langit mau berbaik hati meminyaki engselnya sebelum aku naik ke ranjang untuk tidur siang. Apa yang dikatakannya saat itu? ‘Aku khawatir bunyi-bunyi ribut ini akan mengganggu istirahatmu,’ satu-satunya kalimat manis yang berhasil dikatakannya untukku sepanjang hari tadi.
“Ini Elang sudah mau tidur, Oma,” jawabku sambil beringsut lebih ke tengah ranjang. Kurasakan tekanan di ranjang, Oma tentu sudah bergabung dan duduk bersamaku.
“Bagaimana Langit Biru? Apa dia banyak menolong?”
Jadi, namanya Langit Biru? Hemm, tidak seburuk yang kubayangkan. Aku masih bisa mengingat masa-masa ketika diriku dapat menangkap warna biru di langit. Itu adalah masa-masa terang penuh cahaya. Harus kuakui, aku suka nama lengkap asisten baruku. Namanya indah seperti langit yang sedang cerah.
Kalau mau jujur, aku ingin menumpahkan segala kekesalanku yang sudah kutumpuk sepanjang hari tadi pada Oma. Tapi aku sudah berkomitmen, tak ada lagi pemecatan. “Dia sangat tahu dan paham apa pekerjaannya, Oma. Aku menyukainya,” bohongku.
“Ah, syukurlah. Padahal Oma sempat berpikir kalau telah salah memilihnya jadi asistenmu. Anak itu terlalu blak-blakan dan suka bicara tanpa berpikir dulu. Oma sudah menangkap hal itu di hari mewawancarainya─”
“Tapi Oma memilihnya, kan?” potongku, “apa yang membuat Oma memilihnya?”
Oma meletakkan tangannya di atas kepalaku, dan mendadak aku rindu tangan ibuku. “Keceriaan dan semangatnya, Elang. Oma pikir, dia berbeda dengan para asistenmu terdahulu. Langit Biru punya sesuatu yang tidak dimiliki mereka. Dia punya personaliti yang sedikit liar dan tidak tertebak. Asisten-asistenmu dulu terlalu kaku dan serius, tapi Langit Biru ini tidak tidak demikian.”
Apa menyebalkan juga termasuk kelebihannya yang Oma tangkap? Hatiku berteriak.
Oma diam sejenak. “Dan selera humornya.” Dapat kudengar cekikikan samar Oma. “kamu tahu jawabannya di hari wawancara saat Oma bertanya apakah dia pernah terlibat tindak kriminal?”
Aku menggeleng, bukan karena memang Oma tidak pernah menceritakan prosesi wawancara itu secara rinci padaku sehingga aku tak tahu-menahu tentang proses wawancara Langit. Aku menggeleng karena aku tak mau tahu dan tak peduli. Aku hanya terlalu sopan untuk menjawab Oma dengan kalimat ‘gak peduli dan gak mau tahu’. Tangan keriput Oma membelai kepalaku. Rasanya mendamaikan.
“Katanya, kalau mencuri hati termasuk kejahatan, dia pastilah penjahat kelas kakap.” Lalu Oma tertawa lepas. “Lucu sekali.”
“Narsis sekali,” lanjutku sama sekali tidak ingin tertawa. “Orang macam apa yang memberi jawaban bercanda seperti itu pada saat wawancara lowongan kerjanya?” Sedetik kemudian aku sadar kalau jawabannya sudah kuketahui sendiri : orang menyebalkan bernama Langit Biru.
“Mungkin dia merasa dirinya tampan.”
Aku terdiam.
Kurasakan Oma beringsut turun, tangannya meninggalkan kepalaku. “Oma baru sadar, rambutmu mulai gondrong. Mungkin sudah saatnya dipotong.”
Kini Oma terdengar sangat mirip Langit. “Selamat malam, Oma.”
***
Aku tersenyum simpul ketika melihat Om Rudi, gadunnya Faisal itu baru saja keluar dari gerbang kosan. Aku menyapanya sebentar, dan agak menghindar. Aku memang dalam target menemukan lelaki kaya untuk bisa mengurus kebutuhan konsumtifku yang tidak bisa aku atasi hanya dengan uang kiriman dari orang tuaku, namun menggoda milik teman bukanlah style-ku. Walaupun aku tahu, dari cara Om Rudi menatapku, jelas sekali dia menginginkanku. Aku yang tidak menginginkannya. Sesederhana itu.
“Gimana hari pertama lo kerja?” tanya Faisal, orang yang tepat menempati kamar di depan kamarku. Faisal keluar hanya dengan mengenakan boxer tipis, kejantanannya membayang di baliknya. Shit, kapan terakhir kali penisku mendapatkan service?
Aku memutar anak kunci, “Fun, lo?”
“Lo ada duit kaga, Ngit?”
Aku masuk ke dalam kamar, dengan Faisal mengikutiku di belakang. Menyalakan lampu, AC, exhouse, kemudian mengambil air minum dingin dari dalam kulkas, dan menghabiskannya dalam satu kali tegukan, “Bukannya gadun lo baru aja dari sini?”
“Dia kaga bawa duit. Katanya dia lagi penghematan untuk operasi cesar bininya ntar pas lahiran.”
“Pejuh lo kaga dibayar?” tanyaku cuek sambil melepaskan semua bajuku hingga hanya tersisa celana boxer pendek tipis yang mana adalah celana dalamku.
“Ini bukan masalah gue dikasih duit atau kaga, Ngit! Gue udah terlanjur sayang ama dia, gimana dong?”
Aku tersenyum sinis, karena aku tahu dengan sangat pasti bahwa di luar sana, brondongnya Om Rudi bukan hanya Faisal. “Ya, siapa tahu lo kaga dikasih duit karna duitnya udah abis dipake buat beliin iPhone enam plus buat brondi barunya.”
Faisal terdiam sesaat, “Ah, lo mah! Intinya lo ada duit kaga?”
“Lo butuh berapa?”
“Seratus aja deh, buat ngajak makan cewek gue nih.” Well, beda denganku yang memang gay, Faisal mungkin biseksual. Another straight turn into gay, something like that-lah. Dan dia tipeku. Kulit coklatnya yang rata itu kadang bikin ser-seran.
“Yakin seratus, cukup?”
“Kalau di McD cukuplah, Malam Minggu nih!”
“Uang bensin? Atau kalau cewek lo minta belanja macem-macem?”
“Ada, lagian Anissa mah kaga matre. Gue bawa makan ke warteg aja dia udah happy.”
Aku tersenyum sebentar, enaknya menjadi Anissa. Bisa memeluk tubuh Faisal sesuka hati, membaui wangi tubuhnya, meraba pantatnya, eh, lha kok jadi melantur.
Aku mengambil celana jeansku yang tadi sudah aku gantungkan, merogohnya, kalau tidak salah, aku tadi mengantongi dua lembar uang lima puluh ribuan. “Nih!”
“Thanks, Ngit. Lo best friend gue banget deh, asli!!”
“Gue gak butuh ucapan terima kasih lo, yang gue butuh adalah duit gue balik jadi seratus lima puluh!”
Faisal nyengir sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada bidangnya yang berwarna kecoklatan. Jauh berbeda sekali dengan Elang yang berkulit putih pucat, gimana gak pucat kalau jarang terkena sinar matahari? “Gimana kalo gue bayarnya pake ngisep lo aja?” Faisal berkata dengan santai. Dan untuk sesaat, aku benar-benar dibuat berdebar oleh perkataannya. Aku sama sekali tidak keberatan tentu saja.
“Gue biasanya dibayar, bukan malah bayar. Semprul!!!” Kataku setelah bisa kembali menguasai jantungku yang sempat berdebar tidak karuan.
Faisal tersenyum sambil kemudian berjalan menuju pintu, “By the way, body lo makin jadi aja, Ngit, butuh berapa gadun tuh buat biaya gym sama perawatan tubuh lo?”
“Taik babi lo!!” Perkataanku disambut tawa renyah Faisal.
Aku mengunci pintu kamar kosku sebelum akhirnya merebahkan tubuhku di atas ranjang. Malam ini rasanya aku malas mandi. Bukan karena capek bekerja, karena mengawasi Elang adalah pekerjaan yang sangat mudah.
Elang, sayang sekali anak semanis itu harus berdiam diri di rumah. Tidak bisa menikmati rasanya digilai para cewek seandainya dia masuk SMA. Atau dilirik om-om mesum di jalan. Hahaha.
Drrrt Drrrt, aah, iPhone 5S-ku bergetar cantik. Ada panggilan dari Ibu ternyata.
“Iya, Bu, halo.”
Ellah, Le piye kabarmu, Nak? Sehat? Waras tho? Kiriman Ibu sampe ora tekan akhir bulan?”
Aku tersenyum sebentar. Walaupun aku konsumtif, aku pantang menyusahkan orang tuaku. Aku tidak pernah minta uang tambahan. Prinsip saja, bahwa kebutuhanku membeli barang-barang branded bukanlah kewajiban orang tuaku. Kewajiban orang tuaku adalah biaya kuliah. Titik. “Cukup kok. Ibu gimana, sehat? Bapak? Semua sehat kan, Bu?”
Podho waras kabeh, adikmu terpilih debat Bahasa Inggris opo ngono mewakili kabupaten. Lha, sasi ngarep iki meh panen mbako, Le! Balik ora?”
“Enggak, Bu, jadwal kuliah lagi padet. Ntaran aja ya Langit pulangnya?” I was lied, dan aku bisa mendengar desah kecewa ibuku. Namun aku berusaha tidak terlalu menghiraukannya. Jujur saja aku paling males pulang kampung. Kangen keluarga sih pasti, tapi kangen kampung? Mungkin tidak, atau mungkin hanya satu persen. Entahlah, aku kurang suka dengan kampungku. Bau tembakau dimana-mana. Dan aku paling benci asap rokok. Ironisnya, setiap tahun sawahku selalu memanen banyak tembakau untuk kemudian dijual ke entah siapa, urusan bapakku. Aku tidak tertarik.
Yowes, jangan lupa, makan yang teratur, jangan begadang, yo, Le yo, sing bagus dewe.” Ini nih, gimana aku enggak bisa enggak merasa ganteng kalau dari kecil selalu dibilang ganteng? Bukan hanya oleh ibuku, asal tahu saja. Jadi, ada yang bilang kalau ganteng itu relatif. Dalam kasusku, gantengku itu mutlak. Ya, seperti kalian juga bakal bilang kalau Mario Maurer itu ganteng. Samalah seperti kasusku.
Inggih, Bu,”
Yowesiki Ibu ues diparani Bu Tarjo, meh ono kumpulan RT. Sing ati-ati yo, Le.”
Inggih, Bu.” Klik.
Lagi-lagi aku jadi teringat  Elang, ke mana orang tuanya? Walaupun aku dan keluargaku terpisah jauh, aku masih memilikinya. Ibu dan bapakku, aku bisa menemui mereka kapan saja aku mau. Elang? Padahal usianya masih sangat muda. Wajahnya juga manis. Eh, kenapa aku jadi membayangkan wajahnya yang cemberut? Gak bener ini, gak bener! Tidur ah, besok musti kerja lagi!
Eh, ngomong-ngomong soal iPhone 5S milikku ini, ini juga salah satu peninggalan dari Om Gathan. Aah, padahal dia begitu loyal. Sayang sekali istrinya cepat tahu, menyebalkan.
***
Hari ini terjadi sama menjengkelkannya seperti hari kemarin. Langit datang tepat waktu dan masuk ke kamarku tanpa kuketahui. Aku punya pikiran buruk tentang kenapa dia mau repot-repot meminyaki engsel pintuku kemarin : agar hari ini dia dapat masuk ke kamarku tanpa kusadari dan lalu bisa mengagetkanku.
Aku kaget. Ya, tentu saja. Orang buta mana yang tidak kaget bila dikejutkan saat dia tengah terbengong-bengong dalam kebutaannya? Yang diperbuat manusia menyebalkan itu adalah, berteriak tepat di telingaku.
“HARI INI AKU SUDAH SARAPAN…!!!”
Itu ulahnya saat pagi. Ketika siang, dia punya ulah baru lagi. Lelaki ini benar-benar sedang bermain-main dengan batas kesabaranku.
“Kenapa kamu butuh vitamin-vitamin ini?”
“Dengan menjadi buta, aku sudah cukup tidak sehat. Vitamin membantuku menjaga kesehatanku.”
“Oh, kupikir kamu berpikir kalau vitamin-vitamin ini akan membuatmu bisa melihat lagi. Ternyata kamu tidak sebego yang kukira.”
“Apa kamu selalu bicara kasar seperti itu pada semua orang?”
“Tidak juga. Hanya pada lawan bicaraku saja, dan tidak seluruh penduduk bumi pernah jadi lawan bicaraku, kan? Jadi, tidak pada semua orang. Lagipula, baru kamu yang bilang bicaraku kasar. Menurutku, kamu harus banyak bergaul, cobalah keluar sesekali dan bicara pada orang-orang. Aku yakin kamu akan melihat bagaimana yang dibilang kasar itu…,” katanya dengan penekanan berbeda pada kata ‘melihat’. “Ya ampun… aku lupa, kamu kan buta ya, mana bisa melihat…” Lalu dia menertawakan omongannya sendiri sementara aku mendumel dalam hati.
Namun, kejadian saat sore mengacaukan penilaianku buatnya. Saat itu kami sedang membaca di pekarangan, tepatnya, Langit yang membaca dan aku mendengarkan. Kami sampai pada penggerebekan Lena dan Alex di 37 Brooks dalam buku pertama trilogi Delirium─Oma bilang kover novelnya cantik. Dia hampir menyelesaikan sisa pekerjaan yang ditinggalkan Dallas terkait buku itu.
“Aku pengen makan somay.”
“Aku enggak suka somay.”
“Kamu gak suka bukan berarti aku juga gak boleh memakannya.”
“Maksudku, aku enggak akan menraktirmu makan somay.”
“Aku gak minta ditraktir.”
“Baguslah.”
Kurogoh sakuku dan kusodorkan uang jajanku padanya. “Bisa tolong beritahu aku ini uang pecahan berapa?”
“Kenapa aku harus memberitahumu?”
“Karena aku buta, apa kamu buta gak bisa melihat kalau aku buta?” Rasanya menyenangkan bisa sinis seperti ini padanya.
“Itu uang seratus-ribuan.”
Aku terdiam lama. Tentu saja aku tahu kalau uang yang kupegang adalah uang seratus ribu. Oma selalu memberiku pecahan yang sama sejak kami memperkerjakan asisten, uang jajanku jika aku sedang ingin jajan. Sering kali kukembalikan penuh jika aku tidak memakainya atau sesekali mengembalikan sisanya dan akan diganti dengan lembaran seratus ribu lain keesokannya. Uang jajan ini hanya berlaku di akhir pekan, hari asistenku bekerja. Jadi, kenapa aku ingin tahu jika aku memang sudah tahu? Tentu saja, aku mau tahu apakah lelaki menyebalkan yang jadi asistenku ini adalah orang jujur atau tidak. Tadinya kuperkirakan dia akan menjawab bahwa uang yang kupegang adalah pecahan lima ribuan atau sepuluh ribuan. Kukira dia akan bohong karena aku orang buta. Tapi dia jujur, dan kejujurannya membingungkanku. Dia menyebalkan, tapi dia jujur.
“Belikan kita somay dengan uang ini.”
Lalu kejadian saat petang membuatku marah, bukan padanya, tapi pada keadaan, dan takdir.
“Kata Nuna─”
“Apakah merepotkan memanggilnya Mbak Nuna? Dia lebih tua darimu.”
“Kata Nuna, kamu buta sejak papa mamamu meninggal dalam kecelakaan. Apa itu benar?” tanyanya tanpa mau repot-repot mengindahkan perkataanku. Dan aku tak sanggup menjawab pertanyaannya.
Langit Biru, adalah satu-satunya manusia paling tidak berperasaan yang kujumpai selama hidupku yang sudah tujuh belas tahun ini. Orang lain yang berperasaan tidak akan bertanya begitu. Orang lain yang masih punya sisa-sisa perasaan dalam dirinya tidak akan mengungkit-ungkit kematian orang tuaku dan bagaimana cara mereka meninggal.
“Katanya, matamu kena serpihan kaca atau apalah dalam kecelakaan itu. Berarti, sebelumnya kamu enggak buta?”
Dan kini dia mengungkit-ungkit bagaimana aku memperoleh kebutaanku. Harusnya dia berhenti mengoceh. Orang berperasaan tidak akan bicara lagi karena mereka akan peka terhadap kediamanku. Tapi, Langit Biru terus mengoceh. Itulah mengapa kukatakan dia tidak berperasaan sama sekali.
“Pasti berat ya, menghadapi kebutaan setelah sebelumnya bisa melihat.”
Aku ingin Tuhan merenggut juga pendengaranku saat ini.
“Kalau disuruh milih, aku lebih suka buta sejak lahir.”
Tapi dia benar. Langit Biru benar. Kalau bisa memilih, aku juga akan memilih buta sejak lahir. Menghadapi kebutaan dengan tidak pernah tahu rupa dan warna dunia sama sekali sejak awal pasti lebih mudah. Jika Kau buta sejak lahir, maka satu-satunya warna yang kau kenal adalah hitam. Kau tidak akan merindukan hitam jika kau tak pernah kehilangannya. Sampai mati ia akan tetap jadi satu-satunya warna yang kau kenal. Aku tidak buta sejak lahir, dan satu-satunya warna yang tidak hilang dariku adalah hitam, sementara begitu banyak warna lain yang pernah kukenal kini tak ada lagi. Mudahnya, kau tak akan merasa kehilangan apapun saat orang yang sama sekali tidak kau kenal dan tidak pernah masuk ke hidupmu pergi. Kita tidak bisa merindukan orang asing.
“Bagaimana menurutmu?”
Pertanyaannya seakan mencungkil semua kemarahanku dari seluruh jaringan dan sel yang ada di tubuhku. “Menurutku, Bedebah, kamu gak tahu apapun tentang menjadi buta. Jadi tutup mulutmu yang kotor itu dan pulanglah ke duniamu yang terang benderang di sana!”
Hening menggantung lama di kamarku. Lelaki itu pasti kaget dengan responku yang kasar. Dia pasti tidak pernah mengira kalau anak buta rumahan sepertiku kenal pada kata ‘bedebah’ dan tahu cara mengucapkannya dengan baik dan benar, dengan intonasi yang tepat. Kurasa, aku berhasil mengejutkannya sekali ini.
Kugerakkan serampangan kedua tanganku ke depan untuk merampas pakaianku dari tangannya. Berkali-kali percobaanku hanya menggapai udara kosong dan membuatku nyaris terjerembab karena kuatnya tenaga yang kusalurkan ke kedua tanganku. Aku punya pikiran buruk kalau dia sengaja menjauhkan pakaianku.
“Berikan bajuku dan pergilah. Jam kerjamu selesai!” raungku.
“Kalau kamu bisa melihat, kamu akan tahu kalau pakaianmu kuletakkan di atas ranjang sejak tadi.”
“Keluar!” bentakku.
Kudengar pintu ditutup dengan tenaga berlebih.
Kurenggut handuk yang menggantung di bahuku dan kulempar entah ke mana. Kemudian, aku jatuh terduduk di lantai. Kutekuk kedua lututku ke dada. Sedetik kemudian, aku mulai menangis.
***
Namanya Harris, dan kita berkenalan lewat Grindr. Hari ini sepulang kuliah, aku berjanji akan menemuinya di salah satu mall yang terdapat fasilitas ice skatingnya, tahu dong? Well, aku memang tidak memasang foto dengan wajah. Hanya leher hingga perut saja. Tetap saja, yang mengajak kenalan banyak. Salah satu yang merepotkan adalah aku harus memprioritaskan pesan mana yang harus kubalas, bukan sombong, yah namanya juga seleksi alam, ya kan?
Dan kenapa aku tertarik dengan si Harris ini? Gaya bicaranya yang santai dan berpengetahuan luas. Dan walaupun foto yang dia pakai palsu, seenggaknya dia teman bicara yang asik. Kita belum pernah bertemu, by the way. Ini adalah kali pertama aku akan menemuinya. Kita chat di Grindr hari Senin─demi Tuhan, aku ingin menghilangkan rasa menyesal akibat berbicara keterlaluan dengan Elang Minggu kemarin─lalu tuker-tukeran nomor handphone, dan ini hari Rabu, aku akan menemuinya.
[Km dimana? Pakai baju apa?] Ini WhatsApp dari Harris yang baru saja masuk
[Masih di bawah, ini lagi liat baju ama sepatu. Pakai kaos putih] balasku cepat. Aku suka warna putih, apalagi kaosku ini. Agak tipis dan pas badan, sehingga kadang putingku terbayang jelas. Well, memang itu tujuanku. Aku masih menunggu hingga sekitar lima menit sebelum satu pesan kembali menggetarkan handphoneku.
[Pake topi merah, sama celana jeans ya?] Begitu bunyi pesannya.
[Yes, I am. Lo dmna?]
[Ntar aku samperin]
Aku enggak pernah mengira bahwa si Harris ini better than foto yang dia gunakan sebagai profilnya di WA ataupun Grindr. Yah, memang foto Grindrnya palsu, sedangkan foto WA yang dia pakai berjemaah dengan banyak orang. Mana aku tahu, dia yang mana? Siapa tahu dia malah yang motret, benar tidak?
Putih, sedikit lebih pendek dariku, mungkin setinggi Elang. Hanya saja kulit Elang lebih putih dan halus, aku pernah menyentuhnya soalnya. Yah, kenapa aku harus membandingkan Harris dengan Elang? Apa hubungannya?
“Kamu ganteng juga ya,” kata Harris setelah kita selesai berjabat tangan. “Lebih ganteng daripada fotonya di whatsapp,” lanjutnya sambil tersenyum ramah.
You look great too, I mean melebihi ekspektasi gue.”
“Emang, kamu ngebayanginnya gimana?” Harris memakai aku-kamu, yang agak sedikit risih di telingaku. Berbeda dengan perasaanku ketika Elang yang bicara seperti itu, bukan karena Elang spesial, tapi karena dia bosku. Dia bosku, ya!
“Om-om setengah baya gitu-lah.”
“Parah kamu! I’m just turn thirty years old lagi.”
“Udah merried?” tanyaku langsung.
Harris menggeleng, “Mau makan di mana? Aku yang traktir.”
Well, well, well,
. . .
Ini hari Jum’at, Harris menjemputku di kampus. Yah, dia bilang dia sudah menyiapkan kejutan untukku di apartmentnya. Aku tahu ini masuk dalam golongan modus halus. Lihat saja, nanti dia akan menyuruhku menginap, lalu dia mulai bakal grepe-grepe. Trik lama, klasik!
“Lo semua ini yang masak?” Apartmentnya tipe studio, dan terkesan baru saja dirapikan, interesting. Perabotannya pun ringkas, khas bujangan.
“Kamu suka semur gak?”
Aku mengangguk. Aku menyukai hampir semua masakan, sepanjang aku tahu bahan-bahan apa yang terkandung di dalamnya. Aku kurang menyukai jajanan di pinggir jalan. Bukan karena gengsi atau gimana, aku hanya tidak tahu apa saja yang terkandung dalam makanan yang mereka jual. Bisa saja baksonya mengandung boraks, atau siomaynya ternyata kenyal karena formalin. Tempe gorengnya renyah karena digoreng dengan plastik. Semua itu bisa saja terjadi, aku menyayangi tubuhku, jadi maaf, say no to jajanan di jalanan.
Aku tidak seperti Elang yang menyukai siomay.
Aku tidak seperti Elang yang entah kenapa sering sekali menangis dan gampang jengkel. Yah, karena gampang jengkel itulah, aku malah sering menggodanya. Mukanya lucu sih.
Sebenarnya, waktu itu, aku ingin minta maaf langsung padanya. Atas bicaraku yang kurang ajar. Aku akui, aku sudah sangat keterlaluan. Hanya saja gengsi menahanku. Aku hanya mampu melihatnya meringkuk di lantai di kaki ranjang tanpa bisa berbuat apa-apa. Jika menurutkan hati, aku ingin menenangkan tangisnya, membujuknya. Tapi kukira, kenapa Elang baru menangis setelah aku berpura-pura keluar dengan membuka dan menghempaskan daun pintu adalah, karena dia tak ingin dilihat siapapun sedang menangis. Tapi aku di sana, melihatnya.
Aku akan melindunginya, itu pasti. Yang diperbolehkan mengusilinya hanyalah aku. Kalau ada orang lain yang iseng padanya, akan merasakan bogem tanganku cenut-cenut di pipinya. Tapi, hari itu dia berhasil mengejutkanku dengan menyebutku ‘Bedebah’. Aku jadi bertanya-tanya dari mana dia mempelajari kata itu?
“Hei!” Harris menepukkan tangannya pada pundakku, “Ngelamun aja.” Aku tersenyum tipis. Kenapa di saat aku bersama Harris, calon potensial sugar daddyku, aku malah sibuk memikirkan Elang?
“Sorry, lagi hang nih otak karna kuis tadi siang di kampus.”
“Ya udah, selesai makan, kamu mandi aja dulu. Atau mau berendam? Aku ada aroma therapi, biar kamu bisa relaks.” Nah kan? Mulai nih jurus modusnya keluar satu persatu.
“Iya, boleh.” Istilahnya, lo jual gue beli. Udah lama juga aku tidak berhubungan seks.
Setidaknya, Harris tidak berbohong dengan aroma therapy yang dia singgung tadi. Memang enak, dan sepertinya mahal. Aaah, coba aku bisa berendam berdua begini bersama Elang. Aku lihat ada bathub juga di kamar mandi bocah itu, walaupun terlihat jarang dipakai. Mungkin kapan-kapan aku akan mengajak Elang memakai bathub itu bersama-sama di saat bersamaan. Otakku mulai error.
“Hei,” Harris tiba-tiba masuk. Modus kedua, dia ingin melihatku telanjang. “Euum, airnya kurang hangat atau aroma therapynya enggak kamu suka?” Dia desperate ingin melihatku keluar dari bathub atau bagaimana?
“Pas kok, gue suka wanginya. Hanya ingin berendam agak lamaan biar makin relaks.”
“Aku bisa bantu pijat, eeum bukan apa-apa, hanya biar kamu tambah santai.” Modus ketiga, biar bisa grepe-grepe. Aku akan ikuti permainannya si Harris ini.
“Oke, aku bersih-bersih dulu ya, sebelum lo pijat.”
Harris tersenyum, namun belum beranjak dari tempatnya berdiri, maka aku dengan cuek keluar dari bathub, membersihkan badanku sebentar dengan hujan air shower sebelum mengeringkannya dengan handuk dan melilitkannya di pinggangku.
“Mau di mana dipijatnya?”
“Terserah lo,” jawabku singkat. Geli sendiri dengan tingkah Harris yang keblingsatan. Well, I know that I am attracted.
Harris menggaruk-garuk kepalanya, sementara aku berjalan semakin mendekatinya. “Oke, di kamarku aja. Ehm, ayo.”
Dia grogi ternyata.
Aku melepas handukku dan berbaring telungkup di atas ranjang. Tak butuh waktu lama hingga aku merasakan Harris juga bergabung denganku di atas. Awalnya, Harris betulan memijat, dan not bad. Hingga tangannya sering sekali pura-pura tanpa sengaja menyentuh testisku lewat belakang. Aku orang yang gampang terangsang jujur saja, jadi juniorku di bawah sudah meronta-ronta.
Tidak lama kemudian, Harris memintaku untuk telentang. Well, dia melihat penis ereksiku dengan jelas sekarang. Dan, aku salut dia masih agak konsen memijat kaki depanku. Walaupun, sewaktu bagian paha atas, dia berkali-kali menyenggol si junior.
“Gede ya?” Komentar itu akhirnya keluar juga dari bibir Harris.
“Well, boleh diisep kok,” jawabku santai. Harris menatap wajahku sebentar, sebelum akhirnya melahap kejantananku di bawah sana. Aku melirik jam tangan yang berada di atas meja di samping ranjang. Jam sepuluh malam, kalau malam ini aku harus lembur, besok aku pasti agak terlambat kerja. Ah, sudahlah, nikmati saja surga dunia ini selagi masih bisa.
***
Senin.
Mbak Nuna memasakkan nasi goreng kampung buatku. Aku ingat warnanya tentu pucat dan penuh irisan wortel bentuk dadu, dan mungkin irisan kulit cabe warna merah. Dulu Mama sering membuatkannya untukku. Mbak Nuna adalah asisten rumah tangga professional, dan tukang masak yang baik, tapi, aku ingat kalau nasi goreng kampung buatan Mama rasanya lebih enak. Aku teringat Langit yang tidak diizinkan menggunakan dapur oleh Mbak Nuna di hari pertama kerjanya dan aku terpaksa berbagi omeletku dengannya.
Selasa.
Oma mengajakku ke salon langganannya. ‘Sementara Oma meni pedi, kamu bisa dipotong rambutnya’, begitu kata Oma ketika aku sedang meresapi setiap pijakan gas dan tarikan rem mobil yang dikendarai Mas Wili saat membelah kemacetan Jakarta. Syukurlah aku buta, jadi tak perlu melihat pemandangan mobil-mobil yang mengular di setiap traffic light. Saat sudah di salon dan diselimuti jubah potong rambut, aku menolak rambutku dipotong hanya karena tidak ingin membenarkan kalimat Langit tiga hari lalu, Pernah berpikir untuk potong rambut? Sudah terlalu panjang.’ Jadi, banci salonnya melepaskanku saat kukatakan kalau aku berubah pikiran, lalu dia─banci itu─berbaik hati menggandengku ke sofa tunggu.
Rabu.
Oma dan Mbak Nuna menonton Asian Next Top Model di tivi kabel. Aku mengemil taro di sofa kenyamananku, meringkuk seperti janin dengan stoples di perut. Kata Mbak Nuna : Rambut Nicole terlalu dibuat keriting untuk pemotretan minggu ini, padahal minggu lalu tidak begitu. Oma Menjawab : Iya, dan eyelinernya sewarna tanah, tampak seperti seseorang baru saja melempari matanya dengan lumpur. Aku berhenti mengunyah dan ingatanku kembali ke hari Sabtu saat Langit dengan menyebalkannya bertanya apakah aku butuh eyeliner?
Kamis.
Aku sedang duduk menikmati angin sore di kulitku dan Taylor Swift─aku tahu nama ini dari Mbak Nuna─di kupingku ketika tiba-tiba Bang Rendra mengejutkanku. Den El mau somay? itu ada di gerbang, katanya. Aku ingin, tapi ingatan mendadak tentang somay kelebihan saus cabe─tentu saja dilebihkan bukan tanpa disengaja─yang kuminta dibeli Langit di hari ke-2 dia bekerja melunturkan minatku. Aku menjawab Bang Rendra dengan gelengan.
Jumat.
Aku sedang mandi dan menjatuhkan botol sabunku ke ubin. Perlu waktu hampir semenit─sambil meraba-raba ubin─bagiku untuk menemukannya. Saat sudah menemukan dan memegangnya di telapak tangan. Olok-olokan Langit buat peralatan mandiku mengiang di kepala tanpa sempat kuhalau. Apa kemasan produk mandimu memakai huruf braile? Aku membaling botol sabunku dan berteriak pada Oma yang menunggu di kamar kalau aku sudah selesai mandi.
Sabtu.
Sejak pagi, aku sudah mempersiapkan diri untuk ditanyai Oma tentang mengapa Langit tidak datang hari ini. Bayanganku, pertama-tama Oma pasti akan merepet panjang lebar tentang pentingnya waktu dan disiplin sebelum akhirnya sadar kalau sudah jauh terlambat bagi Langit untuk disebut datang telat ketika dia tak kunjung muncul. Aku yakin, setelah cekcok hari Minggu lalu, Langit tak akan datang lagi hari ini. Aku memanggilnya ‘Bedebah’ hari Minggu lalu, dan menyuruhnya pulang sebelum jam kerjanya habis. Kalau pun dia datang, kemungkinan pasti dengan maksud meminta bayarannya untuk telah menjadi asistenku selama dua hari, dan dia bisa datang kapan saja setelat apapun sesukanya untuk alasan itu. Aku memang sudah bertekad tidak ingin merepotkan Oma lagi, dan aku menyesal tak bisa menepatinya untuk waktu yang lama. Oma pasti akan segera mencetak selebaran lagi hari Senin nanti lalu mewawancarai beberapa orang di hari Rabu. Ketika hari Sabtu datang, aku akan mendapatkan asisten baruku.
Tapi semesta tidak setuju denganku.
“Bukankah Sabtu lalu aku menyarankanmu potong rambut?”
Aku terlonjak dalam gunungan bed cover di atas ranjangku saat suara bariton itu membuyarkan pikiranku. Aku rindu bunyi kereketan pintu kamarku lagi, meski ribut, setidaknya ia membuatku punya sedikit privaci.
“Rambutmu persis rambut singa.”
“Kamu tidak digaji untuk mengkritik penampilanku.”
“Hanya karena kamu buta bukan berarti orang lain juga gak bisa melihat bagaimana berantakannya dirimu.”
Kupingku panas. Aku sudah siap mendebatnya lagi ketika kusadari bahwa itu hanya akan memberi peluang baginya untuk kian membullyku dengan kata-katanya. Kubebaskan diriku dari jeratan bed cover dan menapak di lantai. Kurasakan kalau Langit melintas di depanku.
“Tapi kupikir-pikir, biarkan saja rambutku gondrong sekalian. Mungkin dua minggu lagi aku bisa mengepangnya untuk mengatasi kebosanan kita berdua selama aku bekerja.”
“Kalau kamu bosan bekerja untukku tinggal minta berhenti saja pada Oma.”
“Oh, Boy… rileks. Ke mana perginya selera humormu?”
“Aku tidak punya waktu buat meladeni humormu,” aku mengambil jeda singkat untuk bernapas. “Dan humor tidak dapat membuatku bisa melihat lagi.”
“Enggak diragukan lagi,” responnya cepat. “So, mau pakai kolor warna apa hari ini? Item, putih atau merah?”
Aku tak menjawabnya. Yang membingungkan, mengapa dia tidak merasa kecanggungan sedikitpun hari ini? Padahal kejadian saat terakhir kami berinteraksi sangat tidak bisa dibilang menyenangkan. Sikapnya hari ini seperti kami tidak pernah adu mulut sebelumnya.
“Showernya sudah kuperiksa, pakaian dalam dan handukmu sudah ada di tempat biasa.”
“Aku gak akan bilang terima kasih.”
“Terima kasih tidak bisa diuangkan, jadi aku enggak butuh.”
Lenganku dipegangnya lalu diseret ke arah kamar mandi─setidaknya aku mengira begitu. Saat dia melepaskanku, pergelanganku perih. Aku ingin melayangkan tinju serampangan ke arahnya, tapi alih-alih melakukan itu aku malah mulai meraba-raba kenop pintu kamar mandi sambil berusaha agar tidak mengusap pergelangan kiriku yang perih.
“Omong-omong, itu handle pintu kamarmu.”
Itu katanya tepat saat aku menemukan handle pintu yang segera kukenali sebagai pintu kamarku.
“ADA APA SIH DENGANMU…!!!” amarahku mendidih sudah.
“Hanya agar kamu tahu dan sadar, bahwa kamu butuh aku dua hari selama seminggu, mulai minggu lalu, mulai sekarang, dan sampai seterusnya.” jawabnya santai. “Jadi, mulailah menyukaiku!”
Kalimat yang terakhir itu bernada memerintah. Dipikirnya siapa dia berani memerintahku? “Aku ingin membetot lidahmu!”
“Untuk bisa melakukannya, terlebih dahulu kamu perlu tahu di mana letak lidahku, dan sebelum tahu letak lidahku, tentu saja kamu perlu bisa melihat dulu.”
Aku tak akan menang.
***
“Hei, Baby Doll.” Aku mengusap-usapkan bulu yang aku cabut dari kemocengnya Nuna─semoga perempuan itu tidak menyadarinya─ke pipi Elang.
“Ini jam tidur siangku, bisa tidak kamu tidak menggangguku?”
Aku diam sebentar, memangnya kenapa kalau untuk sehari saja dia tidak tidur siang? Dia kan bukan anak-anak lagi! “Main yuk!”
“Main saja sendiri. Aku buta, ingat? Mau mengajakku bermain apa? Petak umpet?” Elang menjawab dengan nada sinis yang pas takarannya, sambil membalikkan tubuhnya memunggungiku. Aku jadi agak sedikit kesal, apa salahnya sih main-main sedikit? Aku kan juga tidak bilang harus petak umpet. Lagipula, mau ajak bercanda Nuna, dia orangnya terlalu pakem. Sedangkan di sini tidak ada video game atau semacamnya. Benar-benar bisa mati bosan aku kali ini.
Maka aku naik ke ranjang, dan tidur bersisian dengan Elang. Aku baru saja mau memejamkan mataku ketika sang empunya kasur, langsung mencak-mencak. Dia memang seharusnya ikut meditasi bersama Budha deh agar emosinya bisa lebih dikendalikan. “Turun!!” Perkataan itu keluar dari bibir Elang disertai tendangan kakinya di pinggangku, meleset sedikit saja kakinya pasti mengenai selangkanganku. Aku jatuh bebas dari atas kasur. Menyebalkan!
Aku berdiri, lalu menatap Elang yang entah kenapa sudah memejamkan matanya lagi sebelum akhirnya aku keluar kamar.
Handphoneku berdering tepat ketika aku akan mengusili Nuna yang tengah menonton sinetron impor dari Turki. Panggilan dari Harris, well ini memang malam Minggu sih.
“Hi, Ngit,” sapanya renyah dari ujung sana.
Aku tersenyum masam sedikit. “Hi.”
“Malam ini kamu free gak? Aku mau ngajak kamu nonton. Mau gak?”
“Emang ada film bagus?”
“Ada Maze Runner yang kedua itu, lagi tayang.”
Aku berpikir sebentar, aku pulang jam tujuh, mungkin sampai di kosan jam setengah delapan─kalau tidak macet parah, apa langsung saja ya?
“Mau ketemu di mana? Gue bisanya di atas jam delapan.”
“Oke, ntar aku WA tempatnya.”
“Sip, see you.” Aku langsung mematikan sambungan telepon. Harris sepertinya menjadi semacam terobsesi terhadapku. Well, tidak masalah sih untukku. Toh aku single dia single juga kan? Eh, kalaupun dia sudah beristri juga tidak masalah. Hahaha.
“Itu sinetron apa sih? Gak jelas gitu.” Aku berkata sambil duduk di samping Nuna, secara reflek tanganku meraih camilan yang dari tadi sibuk diembat mulutnya Nuna.
“Hush, ini lagi seru-serunya!!”
Aku diam saja. Toh tujuanku ke sini memang hanya mengincar camilannya saja. Cukup lama, kita berdua hanya saling berdiam diri. Aku sibuk ngemil sambil membalas pesan Grindr dari beberapa orang, menanggapi guyonan mesum Harris di WA, serta menikmati DP BBM milik Faisal yang baru saja diganti. Aah, hot!
Sebuah film, kalau tidak salah Eating Out, Flooping Second pernah ada dialog yang bilang, “What is with gay guys wanting to suck everyone’s dick?” Pernah berpikir, is that true? Bahwa semua gay bakalan horny kalau lihat kontol? Well, in my case, it doesn’t fit. Aku gak bisa sembarangan horny hanya karena titit. But most of gay does, I guess.
“Jujur, saya suka lho sama kamu, Ngit!”
“Terima kasih. Tapi aku gak tertarik berpacaran dengan rekan kerja.”
Nuna tertawa ngikik sebentar, mengingatkanku pada kuda di musim kawin, “Bukan suka seperti itu! Sejak ada kamu, Den Elang itu kayaknya jadi lebih semangat gitu lho, Ngit.”
“Just feels so good to help.
“Artinya apaan, Ngit?”
Aku menghembuskan nafas tertahan, “Terima Kasih.” Aku melirik jam tanganku, “Well, time to wakie wakie si Tuan Muda.”
Nuna melongo lagi.
“Terima kasih untuk camilannya, Nuna.” Aku memberikan senyum yang paling menawan.
Nuna dengan polos melongok ke toplesnya, yang by the way, hanya berisi remah-remahan. Oopsy, oopsy, my bad. “Kurang asem kamu, Ngit!!”
Agaknya senyuman menawanku gak mempan di Nuna. Aku tak akan repot-repot memakainya lagi kelak.
***
Sabtu dan Minggu berikutnya dan berikutnya lagi, aku tidak sekalipun membiarkan Langit mengasariku lewat kata-kata. Kuberi tahu jurus jitunya : bicara seperlunya dan diam saat dia mulai menyebalkan. Aku bahkan tidak memintanya membaca untukku meski beberapa kali dia pernah mengusulkannya. Aku akan langsung menjawab ‘sedang tidak ingin membaca’ jika dia menawarkan diri untuk mulai mengawali perjuangan Lena dalam buku kedua lanjutan Delirium. Tapi Langit tidak mudah menyerah, atau dia memang tidak akan menyerah sama sekali.
“Kamu mau membaca?”
“Aku sedang gak pengen membaca.”
Lima menit kemudian…
“Kamu mau membaca?”
“Aku sedang gak pengen membaca.”
Lima belas menit setelahnya…
“Kamu mau membaca Pandemonium?”
“Kamu gak akan nyerah, ya?”
“Lelaki pantang menyerah,” ujarnya. “Aku takut kalau tiba-tiba penisku lenyap jika aku menyerah.”
Wajahku pasti memerah, karena kata ‘penis’ dalam kalimatnya sedikit berhasil membuatku jengah.
“Kamu mau membaca?”
“Berapa umurmu tahun ini?” aku mengalihkan pembicaraan ke topik yang terlintas begitu saja di kepalaku.
“Aku sudah menuliskannya dalam CV-ku ketika melamar jadi asistenmu, kamu bisa lihat di sana.” Tik tok, tik tok, tik tok. “Yah, aku lupa. Kamu kan gak bisa melihat.” Sudah kuduga jawabannya akan seperti ini.
Alarm di kepalaku menjerit-jerit. Saatnya mendiamkan diri.
“El…”
Aku terpegun mendengar nada lembutnya ketika melafaskan dua huruf pertama namaku. Hal yang belum pernah terjadi.
“Kenapa namamu Elang Senja?”
Rasanya sudah lama sekali sejak seseorang menanyakan mengapa namaku Elang Senja. Terakhir kali ada Gustav, teman sebangku di kelas satu SMP yang penasaran dengan namaku. Ah, teman… aku bahkan sudah lupa seperti apa rasanya punya teman. Saat semua warna dan rupa dalam duniaku hilang, aku juga kehilangan temanku satu persatu.
Dulu, di masa-masa awal kebutaanku, Gustav dan beberapa teman SMPku masih sering berkunjung ke rumah, membawa serta cerita dan gelak tawa. Tapi seiring hari berganti menumpuk minggu lalu bulan kemudian tahun, mereka satu per satu menyerah dan tak pernah datang lagi. Aku tahu itu bukan sepenuhnya salah mereka. Percayalah, saat kau cacat, hal terakhir yang kau butuhkan adalah dikasihani oleh orang-orang di sekitarmu. Dan sayangnya itulah persisnya yang dilakukan teman-temanku. Maka sedikit demi sedikit, aku membangun tembok tak kasat mata di antara kami. Jadi, salahku jika kemudian mereka menjauh sebelum benar-benar pergi.
“Hey…”
Aku kembali lagi ke beranda. Pasti Langit sudah beringsut lebih dekat ke kursiku. Aku bisa membaui aroma cologne bercampur keringat yang menguar menembus pakaiannya untuk kemudian berbaur bersama udara yang kuhirup. Aromanya enak. Aku tak bisa untuk tidak menyukainya. Lalu dengan serta merta aku menyadari satu hal, hidungku menangkap adanya perbedaan. Sampai hari Minggu kemarin, aroma yang kukenal dari Langit bukan seperti ini. Maksudku, tidak seenak ini. Bukan berarti dulu Langit bau─Langit pasti tipe pria yang sangat peduli pada penampilan, dan aroma tak sedap pastilah cela dalam penampilannya. Kemarin-kemarin dia sudah wangi, tapi sekarang lebih wangi lagi. Dia pasti mengganti cologne-nya dengan yang lebih mahal, dengan gaji dari Oma yang diterimanya penghujung minggu lalu. Tidak diragukan lagi. Tapi, mengapa aku merasa kehilangan wanginya yang dulu?
“Ibuku memberiku nama Langit Biru karena aku lahir di hari Minggu yang cerah. Menurut cerita, langitnya biru bersih tanpa gumpalan awan putih sampai ke sore…”
Kutangkap tawa samar tertahan dari Langit, dia pasti sedang mengenang saat-saat ibu atau ayahnya bercerita tentang kelahirannya padanya. Itu pasti salah satu kenangan menyenangkannya bersama orang tuanya. Aku juga punya banyak ingatan dan kenangan tentang papa mamaku dan obrolan-obrolan kami.
Kupalingkan kepalaku ke kiri, tempat Langit berada. Aku sangat berharap dapat melihat ekspresinya kini. Langit sangat jarang bahkan tidak pernah membicarakan dirinya sejak jadi asistenku. Bukan berarti aku sangat sering bercerita tentang diriku padanya, tidak. Namun tentu Langit tahu lebih banyak tentangku ketimbang aku tentangnya. Kubayang dia sehari-hari mengorek info dari Mbak Nuna sementara aku tidur siang.
“Jadi, kenapa kamu bernama Elang Senja?”
Aku kecewa. Kupikir dia akan bercerita panjang lebar tentang dirinya, tapi alih-alih mendengar kisah hidupnya dia malah mengembalikan lagi objek percakapan itu padaku dalam tempo begitu singkat.
“Apa burung elang ikut membantu proses kelahiranmu?”
Well, dia mulai menyebalkan lagi. “Mama suka sekali pada sunset…” Ini bagaikan membuka duka lama. Tapi jika aku tidak memberinya jawaban saat ini, esok dia akan merecokiku dengan topik yang sama lagi.
“Aku suka senja…”
Hening.
“Maksudku, bukan kamu, tapi senja, sunset. Jangan ge-er.” Dia berdeham, “Dan dari mana nama depanmu berasal?”
“Papa…” Kuhela napas panjang, “Papa begitu terobsesi pada satwa, khususnya burung. Aku pernah dihadiahi ensiklopedi spesies burung saat ultahku yang kelima.” Sejenak, ingatanku dipenuhi gelak tawa dan balon-balon yang meletup, diiringi koor hymne selamat ulang tahun dan kelibat kue tart dengan lima lilin menyala di atasnya, dan ensiklopedia itu.
Ada yang mendorong-dorong otot di sudut mataku. Aku tak ingin menangis, tidak di depan Langit. Kalau aku sampai menangis dan dia melihatnya, hanya Tuhan yang tahu olok-olokan apa lagi yang akan dia katakan untukku, aku yakin tentu lebih jahat dari sekedar ‘selain bisa nangis apa kamu bisa menstruasi juga?’
“Tapi…,” ujarku sambil menghirup udara banyak-banyak untuk melegakan tenggorokanku yang sudah tercekat. “Untung saja elang. Bisa kamu bayangkan kalau sampai Papa milih kasuari, beo, atau perkutut?”
Langit tertawa pendek. “Perkutut Senja, tidak begitu buruk kok.”
Tawanya sejenak membuatku lupa bernapas normal. “Jam berapa sekarang? aku mau mandi.”
Dan begitulah percakapan kami berakhir.
***
“Kamu punya mata yang sangat bagus Ngit.” Heh? Apa Harris bilang tadi? Mata? Malah mengingatkanku pada Elang. Apa dia baik-baik saja saat aku sedang tidak berada di sana? I mean, eyangnya kan sudah agak tua. Siapa tahu sudah mulai pikun or something. Lagipula kombinasi yang dipilihkan oleh Eyangnya selalu buruk. Celana pendek biru dengan kaos merah? Yang benar saja, aku pernah memergokinya, demi Tuhan!
“Hey, malah ngalamun!”
“Enggak, I just wondering, is that legal flirt on public?”
Harris tertawa renyah, enak sekali di telinga. Aku jarang mendengar Elang tertawa, dia ngomel-ngomel melulu setiap hari.
I like you, Ngit! You are different.”
“Apanya yang beda? Gue sama kayak homo kebanyakkan, lebih bejat malah. Kapan coba gue keluar duit kalau lagi jalan ama elo?”
“Well, itu kan karena tanggung jawabku buat jaga kamu.”
Aku menyendok dessertku, panacotta something sambil menahan senyum, “You said something cliche just like FTV.” Aku menatap Harris, “But appreciated that!”
“Aku cuman pengen hubungan kita lebih serius, Ngit. Aku pikir, kita udah beberapa kali jalan bareng, gak ada salahnya kan kalau kita saling tahu satu sama lain lebih dalam lagi?”
“Nope.”
“Nah, berarti kita in relationship nih?”
Aku tersenyum, “Gak. I am tired of the relationship things, like ‘hold me, let’s spend the rest of our lives together.’ Or guilt, because I am finding someone new, and dump you.”
“Friends with benefits? Correct?” Harris berkata sambil menaikkan salah satu alisnya.
Aku sedikit melongo, dengan cara yang cukup manly tentu saja.
“Aku kira kamu suka film action atau gimana gitu. Well, cukup memberi alasan kenapa kemarin kamu ketiduran sewaktu nonton Scorch Trials.”
“Menguntungkan karena memberi kesempatan buat elo untuk grepe-grepe selangkangan gue sampai film berakhir. Point plus, jangan menilai buku dari covernya, ya kan?”
Harris mengangguk, “Ouch, you didn’t sleep, did you?
Little bit, filmnya membosankan.”
“Karena bukan film komedi romantis? Padahal kata orang-orang itu lebih bagus dari yang pertama lho.”
Giliranku yang sekarang tertawa tertahan, “Maze Runner? That movie is disaster! Destroy all my imagination when I read the book.” Aku sekarang menyeruput kopiku, “ FYI, aku gak tidur waktu nonton semua film Hunger Games. Dan itu bukan komedi romantis, ya! Jadi bukan masalah genre filmnya, ini tergantung bagus atau tidak, filmnya!”
“Liam is attractive,” Harris berguman. I love this guy, he’s funny.
“Believe it or not, I watched that movie because Katniss. I like her character. Dan Jennifer memerankannya dengan apik,” kataku. Harris berdecak sambil menatapku secara intens, “What?” Tanyaku. Grogi kan, ditatap lama seperti itu.
“Kamu beneran pinter ya, mengalihkan topik pembicaraan.” Harris tersenyum.
“Elang juga bilang begitu,” timpalku lancar. Aku tidak menyadari kesalahanku hingga melihat senyum Harris yang memudar. “Elang, well, my boss,” koreksiku, agak gugup.
“Bos? Kamu kerja? Part time?
“Something like that.” Aku tersenyum, “You know, it’s so hard kalau cuman ngandelin kiriman dari orang tua to have to pay my own supplies, jalan-jalan, gym and something else.”
“You need somebody to take care of you?”
Shit! Is that so obvious? Atau di jidatku ada tulisan gede banget, AKU COWOK MATRE?
Aku diam. Well, mengutuki diriku sendiri tepatnya. Malam ini mulutku bergerak dengan sendiri sepertinya. Berapa lama aku dan Harris saling kenal? Belum ada satu bulan, dan sekarang aku secara terang-terangan mengatakan bahwa yang aku butuhkan bukanlah pacar, melainkan sugar daddy. Well, terkutuklah aku! I am ruined this! Padahal, Harris adalah salah satu sugar daddy potensial. He’s charming, single, funny, and hot! And capable to take care of myself. Damn it!
“I’ll do it.”
Aku melongo, “Ha?” Melongonya masih manly.
“Gak percaya? Kita bisa shoping sebentar, ada beberapa tempat yang masih buka kok jam segini.”
Aku tersenyum masam. Apa aku tengah memutuskan sesuatu dengan benar kali ini? Atau aku akan terlibat sesuatu yang complicated nantinya?
Aaaaaargh, sejak kapan Langit Biru jadi mikir seribu kali sewaktu diajak shoping? Sejak kapan? Ini shoping lho, Ngit, shoping!!
“Lain kali aja, Ris, gue mau balik.” Aku memang idiot.
***
Kejadian membingungkan terjadi di penghujung bulan ketiga Langit bekerja. Siapa bisa mengira kalau dia sanggup bertahan hingga sejauh ini. Hubungan kami tidak serta merta berubah baik meski dia sudah hampir penuh bekerja untukku selama dua belas minggu. Dia masih tetap Langit, pria nyebelin yang tidak pernah berpikir dulu sebelum bicara, arogan, kasar, tidak berperasaan, kurang ajar dan suka meninggikan dirinya dengan cara merendahkanku. Selalu ada ketegangan tak kasat mata saat kami sedang bersama. Aku tahu dia juga pasti tahu tentang itu. Tapi, kejadian hari ini membingungkanku.
Kami sedang di taman ketika percekcokan itu terjadi.
Share:

0 komentar: